Oleh: Herlianto A
Sumber: Ktawa.com |
Selama beberapa hari keliling di
sekitar kampus-kampus Jogjakarta, saya menemukan pembangunan dan tradisi yang tak
jauh beda dengan di Kota Malang, atau bahkan dengan daerah lainnya. Yaitu,
pembangunan warung kopi beserta tradisi ngopi itu sendiri. Rasanya, sudah
puluhan hingga ratusan hektar lahan persawahan habis dikonversi menjadi “cafe”
di kota berbudaya ini, setali tiga uang dengan di kota dingin. Meski tanpa
dipupuk, tapi cafe begitu cepat tumbuh dipersawahan.
Para penghuninya juga sama: yaitu
sebagain besar mahasiswa mulai dari semester muda hingga tua yang masih terkendala tugas akhir (skripsi)
dan tes TOEFL untuk lulus, bermasalah dengan dosen pembimbing dan kajur.
Parahnya lagi si do’i juga menuntut segera menikah. Ada juga beberapa dari
kalangan pekerja, tapi sangat sedikit jumlahnya. Pengopi mahasiswa memiliki
perbedaan antara mahasiswa tua dan muda. Para tetua lebih tahan ngopi hingga
dini hari bahkan pagi, pulang lalu tidur hingga sore. Pesan minumnya juga
betul-betul kopi hitam, yang rasanya didominasi pahit ketimbang manis, lalu
dipadukan dengan rokok.
Sementara mahasiswa baru,
terkesan lebih cemen. Pukul 21.00 sudah terlihat gelisah, pukul 20.00 matanya
mulai memerah dan berair. Pukul 23.00 sudah nguap-nguap, seperti mau nelan. Di
jam ini biasanya mereka give up, dan pamit pulang. Tentu si tetua masih
mengejeknya: “aktivis jam segini kok sudah ngantuk,” kata yang tua. Mahasiswa
muda ini cenderung tidak merokok atau merokok tapi “selow”. Kalau tetua habis
sebatang, bakar lagi, bakar lagi, ngasap terus seperti knalpot, sembari
mengupas sebab ketimpangan miskin-kaya, hukum yang tak pernah tegak, politik
agama, hingga hutang negara yang ribuan triliun dalam bingkai nomenklatur
populer yang memusingkan dan body language yang wow gitu. Dan,
biasanya kalau rokoknya habis, tetua bilang ke yang muda: “rokoknya masih ada”
sembari mengocok-ngocok bungkus rokok. Di bakar lagi.
Semetara yang muda, mau habis
sebatang saja cukup lama. Nyedotnya pelan-pelan, nyemburkan asapnya juga sangat
sopan tidak pake dibulat-bulatkan, nyemburkannya ke bawah bukan ke atas atau ke
depan. Sehingga sebungkus rokok bisa bertahan hingga dua hari. Kalau tetua dua
bungkus sehari habis. Yang muda juga cenderung diam dan banyak mendengarkan si
tetua, sembari mengangguk-angguk. Kadang juga bertanya dikit-dikit, sekedar
memancing obrolan. Adapun minuman yang muda juga tidak harus kopi hitam, bisa
teh anget, es jeruk, atau kopi susu tapi yang tidak pahit.
Selain perbedaan ini, mahasiswa
muda dan tua memiliki kesamaan, yaitu suka lama-lama merunduk melihat smartphone
miliknya. Bentar-bentar Hpnya diusap, lalu mengklik beberapa notifikasi yang
membanjirinya, lalu mereka senyum pada gadgetnya sendiri. Atau malah tak
bisa dihentikan karena ngegame, ngopi sambil ngengame. Ini yang barangkali tida
ditemukan saat ngopi di era-era 2008 ke bawah. Ada juga yang browsing
mencari sumber-sumber informasi untuk kebutuhan pengetahuan, dan tugas. Mencari
teks-teks primer dan klasik dalam bentuk pdf, dan sumber-sumber
internasional lainnya.
Yang lebih kreatif lagi juga ada
dalam memanfaatkan era internet of thing ini. Yaitu, mereka yang
memanfaatkan internet untuk ngisi blog atau web yang bisa digoogle-adsenkan,
sehingga menghasilkan dolar untuk kebutuhan beli makan dan rokok. Atau dengan
jualan di market place tertentu secara online dengan model dropship,
alias tak ada barang, hanya jualan gambar. Setelah ada pesanan baru dicarikan
barangnya, lalu kirim ke pemesan. Tentu ini juga memudahkan rupiah mengalur ke
dompetnya.
Atau sebatas menjadi freelancer,
yaitu menulis untuk mengisi web orang lain baik di Indonesia maupun luar
negeri. Cara ini juga dilakukan dan lagi-lagi bisa mendatangkan rupiah dan
dolar, tanpa harus ikut bekerja pada orang lain, hidupnya sedikit lebih mandiri
ketimbang dikejar-kejar majikannya. Nah, untuk kreatifitas ini, kesannya mahasiswa
muda kelihatan lebih piawai dengan segala pernak-pernik gadgetnya,
sementara mahasiswa tua terpaku pada menjadi buruh setelah kuliah, apalagi
mahasiswa yang masih berlabel peninggalan reformasi. Ampun suhu!.
Hanya saja pertanyaan pentingnya,
lebih banyak mana antara yang ngopi sambil berdiskusi, memanfaatkan internet
demi kreatifitas usaha dan pengetahuan, dan yang menggunakannya untuk ngegame? Observasi
sementara saya mengatakan, baik di Kota Malang maupun di Jogja, lebih banyak
yang sibuk bermain game, lalu browsing, dan baru diskusi. Kalau Anda tidak
setuju silahkan survei sendiri, dan hasilnya nanti bisa dishare. Hehe.he.he…..
0 Komentar