Oleh: Herlianto A
Sumber: Chirpstory.com |
Semua orang saat ini sepakat bahwa PKI itu jahat. Tokoh-tokohnya
dianggap bajingan dan blater. Makanya kepala mereka diseret hingga
tergelatak tak berdarah. Sebagian lagi dihabisi dengan timah panas yang
ditembuskan ke dadanya. Pengikutnya “haram” menjadi bagian negara, ajarannya
diamputasi. Begitu memang konsekuensi yang harus diterima oleh penjahat. Namun
mengapa empat puluh tahun lebih PKI sudah dihabisi, tapi persoalan di negara
ini kian mencekam? Demikian tanya seorang kepala satpam pada saya.
Korupsi merata dari desa hingga ke pusat, imbuhnya. Lihat! Ratusan
ekor kepala desa, ratusan ekor kepala daerah, dan ratusan ekor birokrat lainnya
menghabisi uang negara untuk keluarga dan kelompoknya. “Nggak tahu malu,”
kesalnya. Kesenjangan dialami masyatakat dari RT-RT pelosok desa hingga ke ibu
kota. Isu rasis dijadikan senjata dan dianggap wajar untuk kepentingan kelompok
dan golongannya. Penganut agama seperti sedang “sakau” atas dalil-dalil, dan
lupa atas kemanusiaan dirinya. “PKI dibilang anti agama, tapi mereka membenci
atas nama agama,” tuntutnya.
Aset-aset negara—yang mestinya untuk rakyat—dinikmati imperialis
selama puluhan tahun. Pertanyaannya lagi, kata dia, jika PKI sebagai penjahat
telah dimusnahkan mengapa kejahatan dan kebiadaban masih merajalela? Siapa
sebetulnya yang biadab? Siapa sesungguhnya yang penjahat? Dan siapa yang
benar-benar bejat? Tapi yang saya tahu, jawabnya pendek, setelah empat bulan
Suharto berkuasa gunung emas di Papua diserahkan ke Freeport. Kekayaan lainnya
juga dijual.
Menyadari ini dia, merasa begitu malu pada PKI. Hingga suatu hari
memesan ratusanm stiker dipasang gambar lambang palu arit, lalu dibawahnya
bertuliskan “Oh PKI Aku Malu Padamu”. Stiker ini dengan inisiatifnya sendiri
direkatkan di beberapa tempat umum di kawasan Gresik. Agar semua orang
menyadari apa yang dia juga sadari. “Andai bung Karno tak dihianati, bangsa ini
sudah jaya,” sesalnya lagi.
Tak lama setelah pemasangan stiker itu intel kepolian dan tentara menyambangi
rumahnya. Aparat tersebut diterima dengan baik, disuguhkan minuman, makanan dan
gambar presiden Sukarno dihadapannya. Dengan soft intel mengintrogasi
maksud penyebaran stiker palu arit yang menakutkan itu, tak lupa mengorek dari
mana talangan dananya. Dia tegaskan bahwa semua itu adalah inisiatif dan biaya
sendiri. Dan menyatakan siap menghadapi segala konsekuensi hukum dari apa yang
diperbuat. “Jika saya ingin ditangkap, silahkan tangkap. Dan jika ingin
ditembak, silahkan tembak di tempat terbuka di alun-alun Gresik dan tak usah
tutup mata saya, agar dapat melihat moncong senapan kebiadapan itu,” begitu
tantangnya pada intel. Sang Intel itu kemudian tak banyak mengorek lagi.
Itulah sesobek cerita seorang satpam tentang kegelisahannya
menjalani hidup di negeri ini hingga di usianya yang ke 56. Mendengar ceritanya
yang cukup heroik dibanding anak-anak cemen masa kini, saya curiga satpam ini
bukan sekedar satpam. Muncul banyak asumsi dikepala: apa jangan-jangan anak
tokoh PKI, atau orang kiri lainnya, bisa juga cebongers atau kampreter yang
menjelma dengan wajah lain, padahal keduanya sama-sama nggak tahu malu. “Dimana-mana
saat ini, sistem yang ada adalah munafik dan munafik yang disistemkan, yang
kita amati sebetulnya kejahatan namun berbaju kedinasan dan kewenangan,”
celetuknya lagi. Wuih..! penggunaan istilah yang “cetar” dan cukup menohok.
Saya mencoba mengorek profil dirinya. Rupanya kelahiran Blora
bertetanggaan dengan novelis hebat Pramoedya Ananta Toer. “Rumah saya dekat
dengan Pram, adik kenal Pram kan?” tanyanya. Sekolahnya tidak sampai SMA
tapi saya yakin dia adalah seorang pembelajar, cerita sejarahnya okey, tak
perlu buka “Dalih Pembunuhan Massal” karya John Roosa.
Namun sayang beberapa pertanyaan
penting tentang dirinya tak dijawab. Barangkali saya terlalu dini untuk
mengetahui asal-usul dirinya. Mungkin suatu saat dipertemuan-pertemuan selanjutnya,
pertanyaan itu akan terjawab. Tapi okelah, siapa dia, saya rasa tidak terlalu
penting, lebih-lebih hanya untuk suatu pelabelan tertentu. Namun cerita dan
kritiknya cukup inspiratif untuk refleksi lebih jauh bagi saya secara pribadi, lebih-lebih
saat ini tak ada satu partaipun di negeri ini yang tak memiliki wakil
koruptornya di lapas Sukamiskin.
2 Komentar
Saya kenal tulisan beliau kang..bila ingin menghubungi beliau saya bisa bantu
BalasHapusWah sip inj..
BalasHapus