Oleh: Herlianto A
Sumber: kaskus.co.id |
Dalam sejarah
filsafat Yunani, Plato termasuk filsuf yang produktif menulis dibanding
beberapa filsuf sebelumnya. Tanpa tulisan-tulisannya entah akan seperti apa
sejarah filsafat Yunani khsusnya, dan filsafat di bumi ini secara umum.
Sokrates, gurunya yang kesohor itu, malah tidak menggoreskan tinta pada satu
lembar kertaspun, namun Sokrates adalah inspirator utama di sebagian besar
karyanya. Plato menulis dengan pola dialog (dialogostai) dan menempatkan
sang guru sebagai tokoh utama yang menyoal setiap gagasan lawan bicaranya.
Problem yang mengemuka
adalah yang manakah pemikiran Plato dari semua karya yang ada itu? Pada setiap
dialog, bagaimana memisahkan gagasan Plato dari gagasan Sokrates? Menjawab pertanyaan
ini, para ahli melakukan kajian mendalam terhadap karya-karya Plato. Kemudian
membuat kriteria-kriteria tertentu untuk menjustifikasi dialog mana yang
orisinil Plato.
Louis-André
Dorion—sebagaimana dikutip Setyo Wibowo—memberi kriteria terhadap karya Plato
yang bernuansa pemikiran Sokrates. Ada tiga kriteria yang dapat digunakan sebagai
identifikasi corak Sokrates. Pertama, kecenderungan membicarakan etika
dan politik. Kedua, ada upaya mendapatkan definisi universal dari kasus
etika yang dibicarakan. Ketiga, cenderung menggunakan pendekatan
induktif dalam berdialog, yaitu proposisi-proposisi khusus yang kemudian
ditarik ke umum sehingga dapat diatributkan pada semua kasus.[1]
Jika dalam dialog-dialog itu terdapat tiga kriteria ini, maka dialog itu
cenderung dominan pemikiran Sokrates.
Setyo Wibowo
juga menjelaskan dua kriteria lainnya. Pertama, corak dialog Sokrates
itu menyanggah (elegkhos) yaitu argumentasi pendek untuk menggiring cara
bicara lawan diskusi pada definisi kontradiktif, sehingga dapat menyudutkan
lawan bicaranya, dan karena itu Sokrates membuktikan bahwa lawan bicara yang
merasa bisa ternyata tidak bisa apa-apa. Kedua, menggunakan pendekatan
apa yang disebut “abai Sokrates” yaitu memposisikan diri seakan tidak wajib menjawab
persoalan yang sedang diperdebatkan karena sedari awal dia menyatakan bahwa
dirinya tidak tahu.
Dari lima
kriteria ini sebetulnya cukup problematis, karena hampir semua dialog Plato
memiliki ciri tersebut. Dan berarti Plato sedikit sekali atau bahkan tidak
punya gagasan apa-apa. Tetapi juga tidak tepat menyebut semua dialog itu
sebagai buah pikiran Sokrates, sehingga terkesan Plato sebagai juru tulis saja
bagi gagasan besar gurunya. Pada beberapa dialog, penempatan tokoh Sokrates
lebih mewakili pikiran Plato. Misalnya dalam Parmenides, di mana
Sokrates digambarkan sebagai anak muda yang berdialog dengan Parmenides. Bagian
awal dialog, Sokrates justru “didikte” oleh Parmenides, sehingga Sokrates lebih
mewakili kegelisahan Plato itu sendiri.
Dari problem
ini, David Melling lebih memberi kriteria lain untuk mendeteksi keaslian
dialog-dialog Plato. Di antaranya: jika dialog semakin melibatkan banyak
Sokrates dan semakin terstruktur silang argumennya, maka dialog itu semakin
asli. Tetapi jika dialog menjadi sebatas rutinitas dan membiarkan lawan bicara
menyela secara dangkal, maka dialog itu tidak terlalu otentik. Dan Plato hanya
cenderung menjadikan Sokrates sebaga topeng untuk bicara.[2]
Upaya lain
dilakukan Friedrich Schleiermacher abad ke 18, C Ritter dan L Cambell abad 19
dengan pendekatan stylometry. Mereka mengkategori karya Plato ke dalam tiga
tahapan: dialog awal (foundation), dialog transisi (transition),
dan dialog utama (culmination). Dialog awal dicirikan dengan nuansa
pemikiran Sokrates sangat kental bahkan lebih tepat jika dibahas saat
mendiskusikan Sokrates. Dialog transisi di mana mulai membaur antara pemikiran
Plato dan Sokrates sehingga sulit membedakan yang mana ide Sokrates atau Plato.
Dialog utama, pemikiran Sokrates sudah mulai dikurangi, bahkan tidak
menggunakan sosok Sokrates sebagai aktor utamanya.[3]
Lantas karya
yang mana saja yang masuk dalam periode pertama, kedua, dan ketiga. Para
sejarawan filsafat juga berbeda pendapat soal ini. Berikut kami hadirkan tabel
beberapa perbedaan yang mencoba memetakan karya-karya Plato:
Friendrich D.E.
Schleiermacher (dikutip dari Budiono Kusumohamidjojo)
- Dialog Awal: Phaidros, Lysis, Protagoras, Laches, Charmides, Euthypro, dan Parmenides
- Dialog Transisi: Gorgias, Theaithetos, Meno, Euthydemos, Kratylos, Sophist, Politikos (The Statesman), Symposium, Phaedo, dan Philoebus
- Dialog Utama: Republic (Politeia), Critias, Timaeos, Nomoi (The Law)
Simon Petrus L
Tjahyadi
- Dialog Awal: Aplogia, Crito, Protagoras
- Dialog Transisi: Meno, Phaido, Politeia, Symposium
- Dialog Utama: Parmenides, Theaitetos, Timaios, Nomoi
Kees Bertens
- Dialog Awal: Apologia, Crito, Euthypro, Laches, Kharmides, Lysis, Hippias Minor, Meno, Gorgias, Protagoras, Euthydemos, Cratylos, Phaido, Symposium.
- Dialog Transisi: Politeia, Parmenides, dan Theaitetos
- Dialog Utama: Sophist, Politikos (The Statesman), Philebos, Timaios, Critias, dan Nomoi
Tabel di atas
menunjukkan bahwa masing-masing sejarawan berbeda kesimpulan. Perbedan ini menyiratkan
bahwa kategorisasi karya-karya Plato terus berkembang sesuai konteks zaman yang
terus beranjak. Selain itu juga menunjukkan betapa sulitnya memisahkan pemikiran
Plato dari Sokrates. Benjamin Jowett,
seorang professor filsafat Yunani kuno University of Oxford serta doktor dalam
Teologi di Universitas Leyden, sekaligus penerjemah karya-karya Platon ke dalam
bahasa Inggris membuat urutan kronologis karya Plato. Buku susunan ini kemudian
menjadi Great Book yang dipakai sebagai
teks standard di beberapa belahan dunia. Dalam terjemahannya Jowett mengurutkan
sebagai berikut:
- The Apology (tentang pidato pembelaan Sokrates sebelum dihukum mati)
- Crito (membahas kewajiban sebagai warga negara, keadilan dan ketidakadilan)
- Charmides (membicarakan kemawasdirian )
- Laches (membincang apakah keberanian itu)
- Lysis (tentang persahabatan)
- Euthyphro (tentang kesalehan)
- Menexenus (tentang pidato pemakaman yang mengolok-olok pidato Perikles)
- Lasser Hippias (tentang kebohongan)
- Ion (tentang sastrawan (rhapsode) tampil dengan pengetahuan atau dengan anurah ilahi)
- Gorgias (tentang apakah kebajikan itu diajarkan)
- Protagoras (tentang apakah kebajikan dapat diajarkan)
- Meno (tentang kebajikan dan ingatan)
- Euthydemus (mempersoalkan kesesatan logis kaum Sophis)
- Cratylus (tentang dengan etimologi dan bahasa)
- Phaedo (tentang jiwa dan ingatan)
- Phaedrus (tentang cinta dan retorika)
- The Symposium (tentang geneologi, hakikat, serta tujuan cinta)
- The Republic (tentang keadilan, negara, dan Ada)
- Theaetetus (tentang hakikat pengetahua)
- Parmenides (tentang bentuk dan singular atau plural)
- The Sophist (tentang hakikat pengetahuan dan metode dialektis untuk mencapainya)
- The Statesman (tentang relasi orang asing dalam negara)
- Philebus (tentang prinsip keterbatasan dan ketakterbatasan)
- Timaeus (tentang penciptaan, yang tidak terbatas dan yang terbatas)
- Critias,
- The Laws (tentang undang-undang)
Dalam upaya
sistematisasi ini, rupanya juga dihadapkan pada persoalan karya-karya lain
selain 26 di atas yang didisebut karya Plato. Namun beberapa meragukan buku
tersebut sebagai karya Plato. Berikut beberapa karya yang diatributkan pada
Platon menurut Jowett: 1) The Letters, 2) Lovers, 3) Erixias,
4) The First Alcibiades, 5) The Second Alcibiades, 6) Greater
Hippias, 7) Hipparchus, 8) Theages, 9) Epinomes.
The Letters
terdiri dari beberapa surat:
Surat 1, Platon ke Dyonisius (wishes well-doing);
Surat 2, Platon ke Dyonisius (wishes well-doing);
Surat 3, Platon ke Dyonisius (wishes joy);
Surat 4, Platon ke Dion dari Syracuse (wishes well-doing);
Surat 5, Platon ke Perdiccas (wishes well-doing);
Surat 6, Platon ke Hermias, Erastus, dan Coriscus (whises well-doing);
Surat 7, Platon ke kolega dan teman Dion (wishes well-doing);
Surat 8, Platon ke kerabat dan mitra Dion (wishes well-doing);
Surat 9, Platon ke Archytas dari Tarentum (wishes well-doing);
Surat 10, Platon ke Aristodorus (wishes well-doing);
Surat 11, Platon ke Laodamas (wishes well-doing);
Surat 12, Platon ke Archytas dari Tarentum (wishes well-doing);
Surat 13, Platon ke Dyonisius seorang tiran Syracuse (wishes well-doing)
Surat 1, Platon ke Dyonisius (wishes well-doing);
Surat 2, Platon ke Dyonisius (wishes well-doing);
Surat 3, Platon ke Dyonisius (wishes joy);
Surat 4, Platon ke Dion dari Syracuse (wishes well-doing);
Surat 5, Platon ke Perdiccas (wishes well-doing);
Surat 6, Platon ke Hermias, Erastus, dan Coriscus (whises well-doing);
Surat 7, Platon ke kolega dan teman Dion (wishes well-doing);
Surat 8, Platon ke kerabat dan mitra Dion (wishes well-doing);
Surat 9, Platon ke Archytas dari Tarentum (wishes well-doing);
Surat 10, Platon ke Aristodorus (wishes well-doing);
Surat 11, Platon ke Laodamas (wishes well-doing);
Surat 12, Platon ke Archytas dari Tarentum (wishes well-doing);
Surat 13, Platon ke Dyonisius seorang tiran Syracuse (wishes well-doing)
Adapun surat-surat Plato
sendiri dinilai tidaklah terlalu penting untuk mengungkapkan pemikirannya.
Menurut Driyarkara surat-surat itu ada sejauh untuk tambahan yang tidak terlalu
mendasar.[4] David
Melling salah satu peneliti lainnya dalam Jejak
Langkah Pemikiran Plato menyatakan
bahwa surat-surat tersebut adalah yang paling problematis, bahkan beberapa
sarjana menolak secara keseluruhan.
Namun demikian Melling merasa “surat ke tujuh” memiliki pembeda karena
berbicara banyak tentang biografi Plato. Jadi meskipun diragukan, surat ini
layak diterima sebagai dasar mendapatkan gambaran umum tentang susuan peristiwa
dalam kehidupan sang tokoh.[5]
Kees Bertens dalam Sejarah Filsafat
Yunani masih menggunakan surat-surat sebagai
rujukan untuk memberi titik terang biografi dan pemikiran Plato. Begitulah
perbedaan yang muncul diantara peneliti. Perbedaan ini
tidak lantas membuat pembahasan tentang Plato berhenti, justru memberi ruang untuk mengeksplorasi lebih jauh
pemikiran Plato dalam jagad filsafat.
[4] A Sudiarji SJ, G Budi Subandar,
SJ, St Sunardi, T Sarkim. Karya Lengkap
Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan
Bangsanya. Jakarta: Kompas. 2006., hal 1146
0 Komentar