Oleh: Herlianto A
Sumber: imgurl |
Ketika proposisi “PKI Bangkit”
dilontarkan, maka gambaran (konsep) apa yang muncul dibenak saudara? DN Aidit
bangkit dan berpidato lagi di podium, membludaknya buku-buku Marxis cetakan
repro, bendera PKI, kaos berlambang palu arit digunakan pemuda, atau apa? Sepertinya
cukup rumit untuk menentukannya. Karena “PKI Bangkit” sebagai proposisi
memiliki konsep yang bermacam-macam dan bahkan imaji yang cenderung tendensius dan
politis yang dapat dipersenjatakan oleh siapapun yang ingin menciptakan stigma
sosial tertentu.
Misalnya, satu kelompok ormas
agama menyebut pemerintah adalah PKI karena pimpinannya terkenan kasus hukum.
Argumennya adalah, bahwa PKI anti agama, dan pemerintah yang memproses secara
hukum tokoh agamanya adalah anti agama. Maka, konklusinya pemerintah adalah
PKI. Tetapi pemerintah bisa membuat serangan balik, misalnya: PKI adalah anti
hukum, tokoh agama yang tidak mau diproses secara hukum berarti anti hukum.
Kesimpulannya, tokoh agama itu adalah PKI. Ini hanya dua kasus model silogisme
yang menggambarkan bagaimana konsep “PKI Bangkit” dibangun secara asumtif dan
bukan melalui fakta-fakta. Pembaca sekalian bisa membuat asum-asumsi lainnya
lagi.
Dengan demikian, “PKI Bangkit”
adalah pernyataan yang paling liar dan mungkar, karena sebetulnya tidak jelas
secara konsep dan sama sekali tidak memiliki referen atau realitas yang bisa
diacu untuk membenarkan bahwa PKI benar-benar bangkit. “PKI Bangkit” adalah
putusan sintetik bukan analitik, yang mana untuk memastikan kebenarannya tidak
bisa dicari pada proposisi itu sendiri melainkan harus ditemukan di luar
proposisi tersebut. Proposisi “PKI Bangkit” berbeda dengan proposisi “perjaka
adalah lelaki yang belum kawin”. (Maaf kawin dan nikah beda posisi, kawin tidak harus nikah).
Di mana proposisi kedua adalah
putusan analitik yang predikatnya sudah termaktub dalam subjeknya, inilah
kebenaran dalam bahasa dan tak perlu diuji ke luar proposisi. Sementara pada
proposisi pertama tidak demikian, kebenaran putusannya harus diacu ke luar
bahasa tepatnya ke realitas. Artinya “PKI Bangkit”, meminjam bahasa Roky
Gerung, harus memiliki realitas bukan fiksi apalagi fiktif untuk dinyatakan
benar dan salahnya. Inilah putusan sintetik.
Nah sejauh ini, gembar-gembor “PKI
Bangkit” tetap tidak beranjak dari persoalan gambaran konsepnya dan bukan
realitasnya. Sehingga yang terjadi adalah kuat-kuatan melakukan stigma dan
asumsi. Andai saja “PKI Bangkit” diacukan ke realitas yang dimaksud, maka
selesailah perkara sebagaimana kita menyebut kursi, lalu konsepnya adalah
tempat duduk, lalu diacukan ke kursi kayu yang ada di ruang tamu. Inilah
kebenaran.
Maka, agar perbincangan lebih
dinamis kita bisa menguji kebenaran “PKI Bangkit”. Jika kebenaran proposisi
sintetik adalah keteracuannya pada referennya. Sementara “PKI Bangkit” tidak
memiliki referen maka berarti proposisi itu tidak benar. So, case
closed.
Dengan demikian, alih-alih kita
gusar dengan “PKI Bangkit”, malah kita justru diajak masuk ke dalam satu
problem semenatik bahasa lainnya yaitu deiksis yang acap kali membuat kita
merasa dihumori. Deiksis adalah proposisi yang referennya berpindah-pindah
alias tidak jelas. Jadi menyebut proposisi “PKI Bangkit” saat ini tak ubahnya
proposisi yang ditulis penjual bakso yang dipasang di depan warungnya: “sekarang
bayar besok gratis”.
Pembeli yang datang tidak pernah
sampai pada “besok” yang dijanjikan gratis. Karena pada saat pembeli datang esok
harinya, acuan “besok” pada proposisi itu sudah bergeser lagi ke hari
berikutnya, dan begitu seterusnya. Besok yang dijanjikan kalimat itu tidak
pernah terjadi. Sehingga ini hanyalah
bualan tukang bakso untuk memancing pembeli masuk ke perangkap warungnya.
Begitu juga dengan “PKI Bangkit” tak ubahnya bualan tukang bakso tersebut, karena
tak pernah memiliki referen, acuannya terus bergeser seturut dengan kepentingan
politik yang tidak pernah usai. Begitulah language game “PKI Bangkit”
yang terus di dramatisir di akhir bulan September setiap tahunnya.
0 Komentar