Oleh: Herlianto A
Sumber: bibliough.com |
Satu buku yang mengusik keinginan membaca adalah The Subtle Art of Not Giving A F*ck ditulis Mark Mansion, seorang blogger dengan jutaan follower. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh F. Wicaksono dengan judul Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat: Pendekatan yang Waras Demi Menjalani Hidup Yang baik. Saya kemudian lebih suka menyebutnya sebagai buku “Bodo Amat” sebagaimana judul versi Indonesianya. Belum lama ini, karena tergoda, saya membeli dan membacanya. Lalu apanya yang bodo amat dari buku ini? Pertanyaan ini persis seperti yang “dibatin” pembaca sekalian.
“Jangan Berusaha” menjadi bab pembuka buku ini. Bagian
ini mengajak kita untuk berpikir di luar kebiasaan (out of the box),
jika banyak orang mati-matian melakukan sesuatu untuk mencapai yang terbaik,
malah “Bodo Amat” mengajak bermalas-malasan dan terus melanjutkan kebobrokan
demi kejahilan. Logika macam apa ini, kacau? Tidak, kisah Bukowski tokoh
pemabuk yang diangkat di bagian awal membuat nalar kita terbalik. Betapa ia
seorang bejat dalam hidupnya, hari-harinya bermandikan alkohol, dan
berselendangkan gadis-gadis bahenol, keluar masuk pelacuran. Benar-benar
gelap hidupnya. Orang-orang “baik” bilang sudah taka ada harapan bagi masa
depan orang ini.
Namun apa yang terjadi? Semuanya berubah, semuanya tak
seperti yang dikira. Bukowsksi menjadi teladan, hidupnya menjadi contoh,
termasuk buku “Bodo Amat” ini merasa perlu menceritakan kisahnya sebagai
pembuka dan paling inspiratif. Apa gerangan yang diperbuat Bukowski? Benarkah
ada hidayah ilahi? Atau dengan kebebasannya dia berbuat sesuatu? Yang dilakukan
Bukowski hanya satu, JUJUR. Ia jujur dengan semua dosa-dosanya, dengan semua
kemaksiatan yang dilakukan, termasuk sejumlah gadis korban “manuknya”.
Kejujuran itu, ia tumpahkan dalam lembaran-lembaran novel. Ia begitu dahsyat
menceritakan detail-detail kejahatan itu dalam alur yang unik, sehingga semua
pembaca karyanya mengerti betapa ada pengalaman besar, contoh besar, kisah luar
biasa yang tak perlu diikuti. Kini penyortir surat di kantor pos itu, berubah
menjadi novelis yang sukses.
Menariknya, meski Bukowski tahu dirinya adalah
pecundang, ia tetap berusaha menerima dirinya, ia tak ingin menjadi selain dari
dirinya. Ia bukanlah seorang sastrawan hebat, bukan penyair berkharisma, ia
hanya punya kemampuan sederhana yaitu jujur pada dirinya, dan mau berbagi kisah
dengan tulus lewat tulisan-tulisan. Lewat cerita ini, Mark Mansion ingin
membalik logika kita. Bahwa betapa saat ini, tak sedikit orang terobsesi untuk
memiliki hal-hal yang positif, hidup penuh bahagia, populer, dicintai banyak
orang, jadi pusat perhatian, selalu tampil perfect, dst. Namun tanpa
sadar, yang dianggap keinginan yang baik itu justru menjadi belenggu, menjadi
penjara, dan kecemasan-demi kecemasan menghambur karena takut tak sesuai
harapan. Sadarlah bahwa penderitaan yang sesungguhnya adalah ketakutan atas
penderitaan itu sendiri.
Dalam nalar positif macam ini, kita bahkan tidak
menemukan apa yang menjadi kelebihan kita. Selalu merasa kurang dan kurang,
selalu saja ada sisi tertentu yang ingin ditutupi sekuat tenaga karena dianggap
mencemari obsesinya. Inilah yang disebut lingkaran setan oleh Mark Mansion, di mana
ketaknyamanan dilahirkan dari ketak-nyamanan itu sendiri, kecemasan mewabah
justru karena kita merasa cemas. Maka dengan demikian berhentilah terobsesi
mengajar banyak pengalaman positif, karena:
Hasrat untuk mengejar
semakin banyak pengalaman positif sesungguhnya adalah sebuah pengalaman
negatif. Sebaliknya, secara paradoksal, penerimaan seseorang terhadap
pengalaman negatif justru merupakan sebuah pengalaman positif.[1]
Semakin Anda mati-matian
berusaha ingin kaya, Anda akan merasa semakin miskin dan tidak berharga,
terlepas dari seberapa besar penghasilan Anda sesungguhnya. Semakin mati-matian
Anda ingin tampil seksi dan diinginkan, Anda akan memandang diri Anda semakin
jelek, terlepas dari seperti apa penampilan fisik Anda sesungguhnya. Semakin
Anda ingin bahagia dan dicintai, Anda akan menjadi semakin kesepian karena
merasa ketakutan, terlepas dari banyaknya orang yang berada disekitar Anda[2].
Melalui dua petikan jawaban ini Mark Mansion ingin
membuktikan bahwa nalar yang kita anggap normal dan wajar dengan barusaha
mati-matian manjadi baik, justru sama sekali tidak normal dan tidak wajar.
Pilihan Bukowski benar. Apakah Bukowski tidak dicerca orang selama menjalani
pilihan hidupnya sebagai pecundang? Di sinilah buku ini benar-benar menunjukkan
apa yang dimaksud “bodo amat”. Bahwa dengan menjalani hidup sebagaimana
adanya dan tetap menjadi diri sendiri, sesungguhnya adalah sikap bodo amat. Tak
risau dengan hal-hal kecil dan sepele. “Bodo amat” adalah “memandang
tanpa gentar tantangan yang paling menakutkan dan sulit dalam kehidupan dan mau
mengambil suatu tindakan”.[3]
“Bodo amat” adalah berani mengambil keputusan tanpa merasa tidak
enak pada siapapun sejauh tidak merugikan orang lain. Saat kita harus
memutuskan untuk berhenti sekolah dan bekerja atau sebaliknya, maka lakukanlah.
Saat memutuskan pindah jurusan dalam belajar maka lakukanlah, saat kita
memutuskan dengan siapa kita hidup maka lakukanlah. Saat satu keputusan dipilih
selalu saja ada komentar dari lingkungan baik positif pun negatif, di situlah
kita sebaiknya “bodo amat”. Begitulah buku “Bodo Amat” ini membekali kita nalar
yang tak biasa.
Sayangnya, dalam pembahasan di bab dua sampai akhir
buku ini tidak terlalu mengagetkan bagi saya secara pribadi. Karena uraiannya
normal-normal saja layaknya beberapa buku motivasi yang banyak beredar di toko.
Namun, bab pembukanya atau saya sebut pengantarnya benar-benar “bodo amat”.
Tentu, bagi pembaca yang masih sering risih dengan pandangan orang, tak bisa
keluar dari hal-hal sepele, serta menderita dengan obsesinya baik dalam mencapai
kekayaan atau untuk menggandeng gadis pujaannya, maka buku ini sangat
dianjurkan untuk dibaca.
0 Comments