Oleh: Herlianto A
Sumber: luhurian.or.id |
Membincang Al Ghazali di akhir
buku Al Munqid Min Ad Dhalal bukanlah finalisasi tafsir atas karyanya,
melainkan hanya sebatas catatan akhir secara kronologis saja. Pemaknaan dan
kontekstualisasi atas pemikiran sang hujjatul
Islam ini akan senantiasa mengalir mengiri gerak zaman dunia ini. Selalu
ada poin-poin yang bisa digali dari naskah-naskahnya untuk dikembangkan yang
paling tidak sebagai pertimbangan bagi kita dalam berpikir pun melangkah.
Setiap pembaca, pasca
menghatamkan karya ini akan memiliki pengalaman dan refleksi yang berbeda tentang
pemikiran Al Ghazali, utamanya kaitannya pemikirannya sendiri. Bisa jadi
keintimannya dengan buku ini membuatnya menjadi pendiam dan memilih
lorong-lorong sunyi mepraktikkan sebagaimana Al Ghazali “hijrah” di otobiografi
ini. Juga bisa jadi “semakin rewel” secara berpikir dengan menemukan berbagai
persoalan hidup yang mungkin belum sepenuhnya terkover di buku pendek ini.
Keadaan kedua ini positif untuk mengantarkannya ke pembacaan buku-buku Al
Ghazali selanjutnya. Dan mestinya ini yang dilakukan oleh pembelajar.
Karena itu, tulisan ini tidak
berpretensi untuk mengunci untuk memberikan pengalaman yang paling baik, justru
ingin meramaikan kontekstualisasi dan sharing “perasaan” bagi para Al
Ghazalian. Tentu saja berdasar renungan penulis sendiri setelah turut
menelusuri kalimat demi kalimat dan paragraf demi paragraf karya monumental
ini.
Menurut penulis poin paling
mendasar dari buku ini bagi kalangan muda yang masih haus akan kebenaran,
adalah pencarian pengetahuan yang tak pernah berakhir yang tunjukkan Al
Ghazali. Menuju yang ilahi, bukanlah jalan pintas melalui short course
“Islam bagi pemula” melalui ustad-ustad populer di televisi dengan bayaran
sekian. Juga bukan melalui monolog-monolog yang isinya kelucuan-kelucuan dan
berlomba dalam “kesaruan”. Apalagi kemalasan-kemalasan dalam belajar, sama
sekali ini keadaan yang paling dikutuk oleh buku ini. Al Ghazali mengajarkan
bagaimana meraih pengetahuan sebagai
perjalanan panjang tak bertepi dalam keseluruhan kehidupan itu sendiri, hingga
maut menjemputnya.
Setelah berhasil menghayati
motivasi dan dorongan besar dalam mencari ilmu, barulah kita membicarakan lebih
jauh tentang pemikiran buku ini. Buku yang tak terlalu tebal ini, boleh
dibilang peta bagi pemikiran Al Ghazali, di mana dia merangkum semua gejolak
pemikiran yang ada pada masanya. Sembari memberikan poin-poin yang perlu dikritik
dan yang perlu diterima dari pemikiran tersebut. Lalu setelah itu, dia
mengajukan jalan alternatif yang paling kokoh untuk dilalui bagi para pecinta
kebenaran. Jadi Al Munqid adalah petunjuk arah menuju Ihya Ulumuddin,
Tahafut Al Falasifah, Minhajul Abidin dan kaya besar beliau
lainnya. Karena itu, berhenti di buku
ini saja sama sekali tidak utuh untuk mempelajari pemikiran Al Ghazali. Misalny
saja, kritik Al Ghazali pada para filosof hanya dimuat tiga yang pokok dibuku
ini, sementara di Tahafut At Tahafut ada 20 poin. Jadi, siapkanlah waktu
dan energi lebih untuk berpetuang lebih jauh.
Kemudian, yang menarik lainnya
bagi kalangan muda adalah cara Al Ghazali menulis buku ini yang dimulai dari
menceritakan pengalaman keraguannya. Mengapa dia merasa perlu menceritakan
peristiwa keraguan itu? Apa istimewanya? Barangkali dia ingin menegaskan bahwa
sebaik-baik pencarian pengetahuan adalah diawali dari keraguan. Keraguan adalah
papan tolakan terbaik untuk menembus pengetahuan lebih jauh, tetapi ia adalah
rumah yang harus segera ditinggalkan karena sejatinya keraguan adalah
kerapuhan. Meragu demi kepastian, batas paling jelas bagi kepastian adalah
keraguan. Jadi keraguan memberi pembanding bahwa kita sudah mencapai kepastian
dan meninggalkan keraguan.
Bahwa pada abad-abad berikutnya,
tokoh pemikir Barat modern, Rene Descartes, sangat terpengaruh pada karya Al
Ghazali ini, bahkan menjadikan keraguan (skeptis) sebagai satu pola yang wajib
dilakukan dalam pemurnian pengetahuan. Ini suatu peristiwa yang positif, cuma
sayangnya tercederai oleh unsur ketidakjujuran Descartes untuk mengakui bahwa
inspirasi pemikirannya adalah Al Ghazali. Walau secara posisi kedua tokoh
meletakkan keraguan pada tempat yang berbeda, bila Al Ghazali mengalami
langsung keraguan, jadi keraguan adalah peristiwa yang riil baginya. Sementara
bagi Descartes keraguan menjadi asumsi atau “kerennya” sebagai metode saja. Namun
demikian, substansinya sama yaitu keraguan.
Melalui keraguan inilah, Al
Ghazali ingin membersihkan segala hal-hal yang dia anggap taqlid semata
dan berupaya menuju pengetahuan puncak. Proses keraguan ini, secara metodis
digambarkan dengan baik oleh Descartes, yaitu dengan menganalogikan segala
pengetahuan manusia dengan sekerangjang buah apel. Untuk memastikan bahwa di
keranjang itu hanya tersisa apel yang baik-baik, maka kita perlu mengeluarkan
semua apel tersebut lalu memeriksanya satu-persatu. Baru setelah itu, kita
yakin bahwa semua apel di kerangjang itu tidak ada lagi yang busuk. Begitu juga
segala pengetahuan yang kita terima sejak kecil, di masyarakat, di sekolah, di
kampus bahkan di masjid-masjid, layak kita periksa dengan mula-mula
meragukannya. Menempatkan pengetahuan itu dalam suatu irama dialektis, sehingga
sampai pada yang tangguh.
Lalu bagaimana Al Ghazali melalui
keraguannya? Dia menjadikan segala aliran-aliran pengetahuan: ilmu kalam,
batiniyah, filsafat, dan sufisme sebagai apel yang terperiksa. Dia mengkritisi
kalam, tradisi batiniyah, dan filsafat serta memeriksa sufisme. Baru kemudian
meletakkan sufisme sebagai alternatif yang tak tertandingi di antara keempatnya.
Teladannya adalah, Al Ghazali sebelum memutuskan pada jalan sufistik dia
mendalami berbagai aliran yang dikritisinya. Sebelum menjadi sufi, dia adalah
seorang filosof. Dia menolak aliran tersebut berangkat dari pemahaman filosofisnya
bukan melalui doktrin tertentu, sehingga penolakannya adalah khas filsafat,
yaitu rasional. Begitu juga penerimaannya terhadap sufisme juga rasional, walaupun
dalam menjalani tradisi sufi, harus diakui, melampaui rasionalitas.
Jadi, cara kita mempelajari
pemikiran Al Ghazalipun haruslah juga dengan cara-cara Al Ghazali. Yaitu,
mempelajari secara kritis dalam suatu dialog yang panjang. Bukan penerimaan yang
taklid dan doktriner, karena itu dibenci oleh beliau. Artinya, kita
meski membongkar proposisi-proposisi Al Ghazali hingga ke argumen terdasarnya. Di
situlah barangkali dibutuhkan karya-karya pembanding atas pemikiran Al Ghazali,
utamanya gagasan-gagasan yang dihasilakn oleh Ibn Rusdy. Pada akhirnya, membaca
Al Ghazali sungguh seperti sayur tanpa garam jika tidak disempurnakan dengan
membaca karya-karya Ibn Rusdy. Di sinilah dibutuhkan keteguhan kembali untuk
secara teliti masuk ke berbagai paragraf tokoh-tokoh tersebut. Memang ini
pekerjaan tidak mudah, tetapi juga bukan pekerjaan yang tidak mungkin.
Tantangan selanjutnya, adalah
sayangnya tidak semua karya-karya tokoh tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, bagi yang belum menguasai bahasa Arab. Walaupun beberapa ada yang
sudah diterjemahkan, termasuk buku Al Munqid ini yang diterjemahkan oleh
sudara Khoiron Nafis, tapi masih belum semua. Harapan kita adalah terbitnya
karya-karya terjemahan selanjutnya, walaupun secara ekonomis tidak terlalu
menguntungkan. Tetapi soal pengetahuan tak bisa dihentikan oleh persoalan “lauk
pauk” itu.
Demikianlah, catatan tak bertepi
pasca penulis membaca buku terjemahan ini. Semoga menjadi pemantik berikutnya
bagi diri pribadi dan pembaca sekalian, untuk menjadi the truth of Al
Ghazalian.
0 Komentar