Oleh: Herlianto A
Sumber: cityu.edu |
Plato[1] (Πλάτων) lahir sekitar tiga tahun sejak perang Athena versus Sparta dimulai. Atau sekitar setahun setelah meninggalnya pimpinan terkemuka Athena, Pericles. Diperkirakan menghirup udara dunia pertamakali pada tahun 427 SM di pulau Aegina yang berada dua belas mil dari pantai Athena, di teluk Saronik. Meninggal pada usia 80 tahun di tanah kelahirannya. Sejak kecil Plato dipanggil Aristokles. Hanya karena memiliki bahu lebar dan badannya tinggi tegap, dia kemudian dipanggil Plato (yang berbahu lebar) oleh guru senamnya.[2]
Dilahirkan dari keluarga terpandang di
Athena. Ayahnya bernama Ariston dari Kollytos merupakan keturunan Kodrus yang
tak lain adalah raja terakhir Athena. Ibunya bernama Perictione, adik perempuan
Charmides dan keponakan Critias. Dua orang ini termasuk tokoh oligarki ternama
saat itu. Perictione masih keturunan Solon, aristokrat yang telah berhasil
menyusun undang-undang tentang demokrasi Athena sebagaimana dijelaskan
Aristoteles dalam Athenian Constitution. Plato memiliki dua saudara
laki-laki, Adeimantus dan Glaucon, muncul dalam Republik, dan satu
saudara perempuan, Potone.
Baik keluarga Kodrus maupun Solon sangat
terpandang di Athena, bahkan rentetan keluarga Plato ini terbilang bangsawan
kaya raya (borjuis). Kakek Plato hidup selama setengah abad pada masa kejayaan
kekuasaan Athena. Keluarganya terlibat aktif dalam politik, meski pada akhirnya
dikhianati oleh kekuasaan Pericles.
Kekayaan ayahnya dikeruk habis untuk membiayai perang melawan Sparta.[3] Ayah
Plato meninggal saat dia masih kecil. Kemudian sang ibu dijodohkan dengan paman
Plato sendiri, Pyrilampes, yang disebut-sebut pernah menjadi duta besar untuk
Persia. Dari pernikahan ibunya yang kedua Plato dihadiahi seorang adik bernama
Antiphon,[4] yang
muncul dalam Parmenides.
Plato sejak kecil hidup dalam lingkungan
keluarga yang bergelut dalam politik. Bertens menjelaskan Plato dibesarkan di
rumah Pyrilampes, ayah tirinya, yang juga seorang politikus dekat dengan
Pericles. Trah keluarga inilah yang membuat Plato punya pergaulan luas dengan
para politisi terkemuka Athena. Ditambah lagi Charmides, paman Plato, juga
politisi partai penguasa Athena. Critias, kerabat dekatnya, salah seorang
anggota partai aristokrat. Kedua politisi ini menjadi anggota “30 Tyrannoi” (30
tiran) yaitu panitia pemerintahan tiran alias pasukan boneka bentukan Sparta
saat Athena kalah perang pada tahun 404 hingga 403 SM.[5]
Di masa kecil Plato, situasi politik
cukup maju di jagad Yunani, sering disebut masa keemasan Athena di bawah raja
Pericles. Pola pemerintahan berdasar pada polis
(negera kota) yang disebut gen awal demokrasi dunia saat ini. David Melling menyatakan,
hidup dalam situasi politik demikian menyebabkan Plato semakin cerdas. Dia
tidak hanya memperoleh pendidikan yang baik dari para tutor sekelas Socrates,
tetapi juga berbaur dengan lingkungan yang membuat dia terbuka cakrawala
intelektualnya.
Demokrasi dianut bangsa Yunani membuat
bangsa ini cukup terbuka, sekalipun tidak sepenuhnya, terhadap berbagai pemikiran
baru, kebudayaan Athena menjadi maju. Banyak para ahli seni, sastrawan (macam
Homerus), penulis, filsuf (dari Thales hingga Socrates), dan para ahli debat (macam
kaum Sofis) yang menyampaikan gagasannya di mimbar terbuka dan disaksikan oleh
khalayak. Suasana ini menambah iklim intelektual yang syahdu di tanah para filsuf itu. Dengan demikian Athena menjadi
teladan intelektual di kawasan Yunani. Mekarnya kebudayaan ini menyebabkan masa
muda Plato, dicatat Diogenes Laertius, melibatkan diri dalam studi kesenian.
Dia menulis puisi klasik, memahami beberapa karya drama yang ditulis penulis
besar seperti Sophocles, Euripides, dan Aristhopanes.[6] Situasi
politik dan berkembangnya kebudayaan tersebut selanjutnya mempengaruhi beberapa
magnum oppus Plato yang sampai saat
ini masih menjadi bacaan mengasikkan di kalangan penikmat filsafat.
Baca Juga:
- Ciri Filsafat Sokrates Pada "Dialog-Dialog" Plato
- "Apology" Bukan Sekedar Apologi
- Nalar Pendidikan Karakter Plato
- Daur Ulang Otak Sokrates
- Kebajikan: Sebuah Dialog Aporetik Sokrates
- Filsafat Pra-Sokratik: Menu Kosmologi
Sekalipun otak Plato cemerlang dari
kecil, tetapi dia tidak langsung menekuni dan fokus dengan pemikiran alam
filsafat. Dia masih mencoba beberapa bidang keilmuan lain dan hampir bertolak
belakang dengan tradisi pemikiran. Misalnya dia menjadi seorang pegulat. Dalam
catatan Paul Strathern, Plato beberapa kali mengikuti kejuaraan lomba gulat
yang dikenal dengan pekan Isthmian. Pernah
dua kali menyabet medali emas. Namun, Plato tak pernah berhasil lolos ke ajang
bergengsi selanjutnya, Olimpiade di Olympia.[7]
Bertemu Socrates
Dia kemudian beralih ke bidang lain,
yaitu sastra. Ternyata karir sastranya juga tidak menanjak, puisinya jelek.
Dalam beberapa sayembara sastra di Athena, Plato selalu kalah. Merasa tidak
berbakat di bidang kesusastraan, dia berencana menjadi pegawai negeri sipil (PNS)
di kotanya. Sebelum niatnya terealisasi, dia bertemu dengan sang maha guru Socrates
“dekil” yang berkeliling di Athena tanpa alas kaki. Dia menemui para pemuda
berdialog soal kebenaran dan kebijaksanaan. Saat itu, Plato baru berusia 20
tahun, dan memutuskan berguru pada Socrates. Hampir sembilan tahun Plato setia
menjadi murid Socrates, mendengarkan ceramah-ceramah pamungkas sang resi atau
dialog-dialog yang diajarkannya. Dengan smart Plato mencatat fatwa-fatwa
folosofis sang guru.
Saat belajar pada Sokrates, Plato
ditemani pamannya: Charmides dan Critias serta dua saudaranya Adeimantus dan
Glaucon. Meski diceritakan Socrates buruk rupa, tapi dia tokoh populer kala itu,
perdebatannya dengan kaum Sofis menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat
intelektual Yunani, termasuk Plato. Socrates disebut-sebut sebagai orang yang
paling bijaksana, bebas, dan adil di
tanah Yunani. Diktumnya: satu-satunya yang saya tahu adalah bahwa saya tidak
tahu. Gelar paling bijaksana ini dijelaskan oleh Plato sendiri dalam The Apology
bahwa dewa Delphi melalui sabdanya (oracle)
menyatakan Socrates orang yang paling bijaksana. Sokrates adalah orang yang
tahu bahwa dirinya tidak tahu. Dia berbeda dengan kebanyakan masyarakat Yunani
yang dengan arrogant menyatakan tahu
tetapi sebenarnya tidak tahu apa-apa.[8]
Pelajaran yang diberikan membuat Plato
mengalami persetubuhan yang dahsyat dengan filsafat. Dia begitu setia dan kagum
pada sang guru. Beberapa bukunya, dintaranya: Apology dan Phaedo
secara khusus membahas kematian maha resi. Pengaruh Socrates sangat kuat dalam
pemikiran Plato, hampir semua dialog-dialog Plato menempatkan Socrates sebagai
tokoh utama menjawab dan mempersoalkan segala hal penting terkait filsafat. Plato
semacam menggunaka mulut Socrates untuk menyampaikan pemikirannya.
Relasi Plato–Socrates tidak hanya
sebagai murid-guru, lebih dari itu. Selama bertahun-tahun berguru pada
Sokrates, Plato menganggapnya sebagai saudara sendiri. Mereka senasib
seperjuangan, ngopi dan ngerokok bersama, dalam arti menanamkan intelektualitas
dan hasrat berpikir kritis pada pemuda Athena. Namun sayang, pada tahun ke
delapan kebersamaannya, Socrates dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Athena
dengan tuduhan merusak kaum muda. Para agamawan sejenis “pentol korek”
menuduhnya membangkang pada Dewa yang ada. Dia juga didakwah, melalui ceramah-ceramah
kritisnya, melemahkan demokrasi Athena yang sudah berjalan damai.[9] Dia
divonis mati, setelah ribuan hakim memvoting
atas hukumannya. Plato dalam Apology merekam bahwa Socrates saat itu
bisa saja melarikan diri dari hukuman mati dengan cara menunjukkan kesan bertaubat
dan meminta maaf di depan publik. Atau pilihan lainnya dengan membayar denda
skian drachma pada pengadilan agar dibebaskan.
Tetapi bagi Socrates itu semua sikap tak
bermoral yang berlawanan dengan semua ajarannya yang selama ini diajarkan. Melakukan
itu semua demi membebaskan diri sendiri justru menjadi bukti kebobrokan moral,
inkonsistensi, dan akan menunjukkan bahwa memang bersalah dan layak dihukum
mati. Menurutnya, setiap warga sudah berjanji untuk mematuhi hukum yang berlaku
di negaranya, tak perlu nyinyir, apalagi melawan hukum. Melanggar hukum sama
dengan menghancurkan tatanan hukum itu sendiri.[10]
Kematian demi kebenaran adalah kebahagiaan yang ditunggu setiap manusia. Akhirnya
Socrates tewas menenggak racun (hemlock)
pada 399 SM. Plato hadir di pemakaman Socrates. Sejak itu pula Plato merasa
jijik pada kaum demokrat, yang bahkan banyak di antaranya para kerabatnya
sendiri.
Petualangan
Plato
Setelah kematian gurunya, Plato
memutuskan untuk melakukan perjalanan yang dikenal dengan Wanderjahre yaitu petualangan Plato dari satu daerah ke daerah lain
selama dua belas tahun. Dalam pengasingan itu, dia sambil belajar sendiri soal
dunia dengan bekal pengetahuan yang didapat dari gurunya. Mengembangkan
pengetahuan melalui pengalaman yang kemudian nanti dituangkan dalam karya-karya
monumentalnya. Di perjalanan pertama dia singgah di kawasan Megara yang
berjarak 12 mil dari tempat tinggalnya. Bertemu Euklides dari Megara dan
belajar matematika selama tiga tahun.[11] Menurut
Lavine, Plato sempat melakukan kunjungan ke Syracuse, sebuah kota kaya di kawasan
Yunani tepatnya di daerah Mediterania. Di situ dia bertemu Dion, saudara ipar
raja Syracuse, yang kemudian menjadi pengikut setia Plato. Menurut Copleston,
dari Megara Plato balik lagi ke Athena karena suatu alasan yang tidak di
jelaskan.
Kemudian Plato melakukan perjalanan ke
daerah Cyrene, Afrika Utara, Mesir dan Italia. Di Cryrene bertemu seorang pakar
matematika tersohor yaitu Theodorus untuk berguru. Di kisahkan pula Plato
sempat mampir ke Mesir kuno, tetapi para penulis biografi Plato masih beda
pendapat soal ini. Memang ada indikasi perjalanan Plato di Mesir yaitu
pengetahuannya tentang para ahli matematika di Mesir. Fuad Hassan berkisah
bahwa Plato singgah di negeri fir’aun itu, dia dikejutkan dengan ketangguhan fir’aun
yang kekuasaannya yang turun-temurun. Dia merasa Yunani adalah negara yang
labil karena terlalu sering gonta-ganti penguasa. Konon, raja-raja Mesir
mengkritik sistem pemerintahan demokrasi Yunani dan dianggap terbelakang. Fir’aun
tangguh bersama para pendeta dan intelektual penjilatnya, dan tentu saja dengan
para tukang sihirnya.[12]
Persinggahan lainnya yang mengesankan
bagi Plato adalah perjalanannya ke Sisilia dan Italia selatan. Pria yang sudah berusia
40 tahun itu bertemu dengan para phytagorean. Plato tertarik dengan ajaran
Phytagoras yang memotret harmoni semesta dengan angka-angka.[13] Memang saat
itu menurut Bertens, tradisi Phytagorean kembali dihidupkan di kawasan Italia
selatan oleh Arkhytas dan para filsuf di Tarentum. Plato belajar ajaran
Phytagoras pada Arkhytas. Kunjungannya ke Sisilia dilakukan dua kali, kunjungan
kedua saat dia menemui teman sekaligus pengikutnya, yaitu Dion, yang dibuang
oleh Dionysius II, raja Syracuse. Dion dibuang karena dianggap memiliki peran
politik terlalu besar dalam kerajaan itu.[14]
Pada 387 SM Plato kembali ke Athena lalu
membeli tanah di luar kota yang dikenal dengan Hutan Academus (Groves Academicus). Dia mendirikan kampus
beserta pusat studinya yang sangat terkenal, diberi nama Akademia. Nama ini terinspirasi
dari posisi kampus tersebut yang berdampingan dengan kuil Akademos, kuil ini
bernama Akademos.[15]
Berada di kampus membuat aktifitas berpikir
Plato semakin menggila, gagasannya banyak dituangkan dalam tulisan (dialog-dialog).
Dia aktif di Akademia menjadi rektor sekaligus dosen selama empat puluh tahun. Murid-murid
Plato banyak dari kalangan muda bangsa Yunani dan Asia kecil yang bertekat
ingin tercerahkan melalui filsafat, termasuk banyak yang datang dari luar
Yunani. Menurut Copleston, di Akademia tidak hanya membuka pelajaran filsafat
tetapi juga metematika, astronomi, dan pengetahuan fisika lainnya. Tidak ada
pengkaplingan ilmu, belajar filsafat berarti belajar semua ilmu. Akamdemia menjadi
kampus pertama di Eropa dan dunia.
Melalui Akademi inilah, apa yang didapat
Plato selama petualangannya diberikan semua kepada murid-muridnya, salah satu
murid terhebatnya adalah Aristoteles. Selain itu, Plato melanjutkan tradisi
akademiknya yaitu mendokumentasi gagasannya menjadi dialog-dialog yang sampai
kepada publik dunia saat ini. Tulisan-tulisan itu baik yang langsung
diinspirasi oleh gurunya Socrates, maupun yang dielaborasi menjadi suatu
pemikiran yang berbeda. Nah, untungnya Plato batal jadi PNS, kalau tidak, entah
apa yang terjadi di dunia pengetahuan. Tersenyumlah bagi yang tidak lolos jadi
PNS siapa tahu jadi penerus Plato. Sekian!
[1] Setyo Wibowo
menyebutnya Platon sebagaimana bunyi asli dari kata Yunani. Tapi di Indonesia
lebih dikenal dengan Plato. Karena itu, artikel ini memilih menggunakan yang
sudah jamak dikenal. Sementara nama-nama tokoh lainnya ditulis versi
Inggrisnya.
[2] Mohammad
Hatta. Alam Pikiran Yunani. Jakarta
UI Press. 2006., hal 87
[3] T.Z Lavine. Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre.
Yogyakarta: Penerbit Jendela. 2002., hal 7
[4] Frederick
Copleston S.J. History of Philosohy: Greece and Rome. Volume I. London:
Image Book. 1993,. Hal 140.
[5] K Bertens. Sejarah
Filsafat Yunani. Jogjakarta: Kanisius. 2006., hal 115
[6] David Melling.
Jejak Langkah Pemikiran Plato.
Jakarta: Yayasan Bentang Budaya. 2002., hal 1-3
[7] Paul
Strathern. 90 Menit Bersama Plato.
Jakarta: Penerbit Erlangga. 2001., hal 8
[8] Eugene Freeman
& David Appel. Kebijaksanaan dan
Ide-Ide Utama Plato. Surabaya: Pustaka Eureka. 2004., hal 10
[9] TZ LAvine.,
hal 8
[10] TZ Lavine.,
hal 9
[11] Euklides
adalah murid Sokrates yang memiliki pengetahuan yang cukup di bidang logika.
Dia dikenal sangat cinta pada gurunya. Dan bahkan pernah melakukan penyamaran
untuk menyelamatkan sang guru saat menjalani hukuman.
[12] Fuad Hassan. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya. 2005., hal 29-30
[13] Paul
Strathern., hal 12
[14] K. Bertens.,
hal 119
[15] K Bertens.,
hal 118
2 Komentar
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapussip..
Hapus