Oleh: Herlianto A
Sumber: thepositiveencourager.global |
Sigmund Frued (1856-1939) dan
Carl G. Jung (1875-1961) berhasil meletakkan ketaksadaran (unconsciuousness)
sebagai bagian jiwa yang dominan sekaligus determinan terhadap segala tingkah
laku manusia. Segala tindakan sadar manusia dapat diasalkan pada ruang
ketaksadarannya. Ketaksadaran ini tidak hanya personal seperti id dalam
narasi Frued tetapi jauh lebih mendalam pada ranah kolektif disebut collective
unconsciuousness dalam eksposisi Jung. Ketaksadaran bukan saja karena
ada pengalaman-pengalaman yang terlupakan lalu membatu dalam benak manusia dan
sesekali waktu siap meledak, tetapi juga ia diwariskan dari generasi ke
generasi. Begitulah pandangan rezim ketaksadaran–lebih dikenal psikoanalisis–dalam psikologi yang kemudian dikritik Abraham Maslow (1908-1970). Tulisan ini
membahas pandangan psikologi Maslow.
Psikologi Humanistik
Sebelum menghadirkan pandangan
psikologinya, Maslow membuat perhitungan terhadap psikoanalisis. Dia mengkritik
psikoanalisis yang menjadikan orang gila sebagai objek penelitian. Baginya tak
mungkin gambaran objektif kejiwaan manusia dicapai dari orang tidak waras,
objektivitas itu hanya dapat diraih melalui mereka yang sadar. Dasar asumsi ini
adalah dua situasi yang dialami Maslow, yaitu perang dunia II (1939-1945) yang
begitu sadis membunuh jutaan manusia, dan kondisi keluarganya yang trouble.
Bapaknya suka mabuk-mabukan dan main perempuan, sehingga pertengkaran kedua
orang tua mejadi amatan sehari-sehari. Muncul satu pertanyaan dibenaknya:
benarkah manusia sesadis itu? Maslow kemudian berhipotesa bahwa manusia
hakikatnya baik. Hal ini yang membuat pandangannya disebut psikologi humanistik.
Pandangan humanistik ini membawa
Maslow dalam meneliti jiwa tidak hanya mengamati aspek psikis manusia tetapi
juga kaitannya dengan unsur-unsur fisiknya. Manusia adalah unsur rohani
sekaligus jasmani. Mengamati salah satu unsur saja menjadi tidak lengkap dan
karenanya tidak akan memberikan gambaran manusia yang utuh. Gambaran manusia
yang utuh dicapai dari penelitian yang holistik pada manusia baik aspek jiwa,
rasio, naluri, dan fisik itu sendiri. Pendeknya, Maslow melihat manusia secara
positif dengan segala potensi yang dimilikinya.
Dia kemudian meletakkan
dasar-dasar psikologi humanistiknya, bahwa hakikatnya manusia memiliki beberapa
kecenderungan, di antaranya: 1) kehendak bebas (free will), meskipun
lingkungan bisa menentukan tetapi manusia memiliki kebebasan memilih untuk ikut
pada lingkungan atau tidak. Tradisi boleh saja mewajibkan mengenakan surban,
celana cingkrang, jenggot tebal, tetapi kita bisa memilih mengenakan kopyah,
tak berjeggot atau yang lain; 2) gambaran diri (self image), yaitu
manusia memiliki pandangan tentang dirinya, misalnya merasa diri sebagai
pelupa, pemalas, tidak suka keluar rumah, merasa ibadahnya sudah bagus, merasa
layak mendapat surga dst.
3) evaluasi diri (self
evaluation), lebih jauh sedikit dari gamabaran diri, yaitu penilaian diri
atau rasa akan kepantasan dirinya. Misalnya, merasa diri habib, ustad, ulama
dst. maka jangan sampai diajak dugem, ajakan itu akan menyinggung kehabiban
atau keustadannya. Kalau ada yang meniru habib akan marah merasa dilecehkan; 4)
aktualisasi diri (self actualization), bahwa secara hakiki manusia
memiliki potensi-potensi yang dapat diaktualkan. Memiliki daya atau kemampuan
yang bisa diwujudkan menjadi sesuatu yang luar biasa. Karena itu, aktivitas
manusia adalah mewujudkan kemampuan diri itu. Kita semua berpotensi menjadi “alim”,
menjadi moralis, ahli agama, dst; 5) penilaian balik (frame of reference),
yaitu manusia menyikapi orang lain secara empatik sebagaimana menyikapi diri.
Kita tidak akan menampar orang lain, karena kalau kita ditampar juga tidak
sakit. Kita tidak akan menghina orang lain, kalau kita balik dihina juga
tersinggung. Dari kelima prinsip ini, Maslow menegaskan bahwa tingkah sadar
manusia sama sekali tidak disebabkan oleh ketaksadaran. Dia resmi berpisah dari
psikoanalisis Frued dan Jung.
Segitiga Goal-Need-Drive
Selain beberapa prinsip
humanistik di atas, menurut Maslow, tindakan manusia dipengaruhi oleh tiga hal–yang kemudian membentuk
segi tiga–yaitu tujuan
(goal), kebutuhan (need), dan dorongan (drive). Tindakan
sehari-hari manusia selalu diawali tujuan. Mahasiswa kuliah ingin mendapat
gelar sarjana. Berpolitik karena ingin duduk di kursi kekuasaan tertentu. Menjadi
ustad karena ingin dicium tangannya dan salam tempelnya (amplop) besar saat
ceramah. Eh.. maksudnya berdakwah. Dari tujuan-tujuan inilah muncul
berbagai kebutuhan demi tercapainya tujuan, ini yang sekaligus menjadi
pendorong manusia membaca buku bagi calon sarjana, masuk partai politik bagi
politisi, menghafal petikan hadis dan ayat-ayat Alquran bagi ustad. Bila tujuan
itu tercapai maka manusia menilai tindakannya bermakna, sukses dan merasa puas.
Sebaliknya jika tujuan tidak tercapai manusia merasa tindakannya tidak bermakna
dan gagal.
Tetapi, rupa-rupanya, kata
Maslow, saat tujuan manusia itu tercapai dan merasa puas manusia tidak
berhenti, malah kepuasan itu justru menjadi titik awal untuk mencapai kepuasan
lain. Lulus SMA ingin kuliah, setelah kuliah ingin bekerja, ingin menikah,
ingin kaya, ingin punya rumah, ingin menambah istri, dst. Singkatnya, manusia
tidak pernah betul-betul puas dengan apa yang dicapai yang sebelumnya menjadi
tujuan dari tindakannya. Karena itulah segitiga goal-need-drive
terus bergulir hingga manusia diusung menggunakan keranda ke liang kubur.
Kebutuhan Fisiologis Ke
Aktualisasi Diri
Dari tiga asumsi tindakan manusia
di atas, Maslow lalu melakukan penelitian pada prilaku monyet, dua sahabatnya,
dan 10 orang yang tidak dikenal. Kemudian, juga meneliti biografi orang-orang
besar. Dari penelitian ini, dia menemukan bahwa kebutuhan manusia itu berjenjang,
ada yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum memenuhi lainnya. Kebutuhan ini
berderet dari yang fisik hingga yang non fisik. Berikut beberapa level
kebutuhan yang dimaksud dari jenjang terbawah hingga teratas: kebutuhan fisik,
keselamatan, cinta dan rasa memiliki, harga diri, dan aktualisasi diri.
Kebutuhan fisik menyangkut
udara, air, makan, tidur, dan seks. Dari sekian bagian ini udara merupakan yang
paling mendesak dan pemenuhannya harus didahulukan, baru kemudian air, dst.
Manusia bisa tidak makan dalam waktu yang cukup lama, tetapi udara harus
segerag diberikan. Baru setelah itu bisa tidur, “kelonan” dan “cis” (note:
dengan istri/suaminya).
Kebutuhan keselamatan
adalah agar diri tidak terancam, bebas dari serangan, barang-barang miliknya
tidak hilang, maling ditangkap, perampok dibedil. Karena itu dalam konteks
negara butuh tentara dan polisi, dalam konteks pribadi butuh satpam dan bodyguard.
Kebutuhan cinta, yaitu manusia merasa sebagai bagian dari suatu kelompok
tertentu (inclusion). Karena itu, biasanya bangga dengan seragam atau
jas kelompoknya, bangga menggunakan baju bertuliskan FPI, NU, PMII, HMI, dst. Perlu mencintai dan dicintai (afeksi), mencintai
saja memprihatinkan capek hati dan capek pikiran, uang dah habis buat traktir
sana-sini malah ditinggal nikah. Dicintai saja juga terasa sesak di dada, tak
ada kegirangan, kebanggaan, dst.
Kebutuhan harga diri, manusia
butuh penghargaan dari orang lain. Diri perlu dianggap sebagai temannya,
dianggap memiliki kemampuan, karena itu foto-foto yang cenderung heroik diupload
di media sosial. Pergi umroh, upload foto depan ka’bah dengan caption:
alhamdulillah sudah sampai di tanah haram. Makan bareng pacar, upload
foto suap-suapan, mantan patah hati, dst. Kebutuhan aktualisasi diri,
merupakan kebutuhan paling tinggi, yaitu menyangkut apa yang bisa seseorang
lakukan harus lakukan: seniman harus melukis, musisi membuat lagu, sastrawan
menggubah puisi, dst. Pada taraf inilah hidup merasa nyaman, di mana potensi
diri diwujudkan secara maksimal.
Kelima kebutuhan ini merupakan
bawaan pada diri manusia, yang pemenuhannya juga harus berjenjang. Tidak bisa
langsung memenuhi kebutuhan paling atas berupa aktualisasi diri sebelum
memenuhi kebutuhan fisiologis, keselamatan, cinta, dan harga diri. Bagaimana
bisa menggubah sebuah puisi dan lagu jika belum bisa bernafas, teggorokan lagi
haus, dan perut lagi keroncongan, bom meledak di samping rumah, dst. Dengan
demikian, tidak bisa dikatakan bahwa kebutuhan yang dibawah tidak lebih penting
dari yang paling atas, justru pemenuhannya harus diutamakan.
Strategi Aktualisasi Diri
Bagaimana upaya mengaktualisasi
diri? Ada beberapa hal yang bisa dilakukan di antaranya: 1) otonomi diri yaitu
bebas dalam memutuskan sesuatu. Tidak ikut-ikutan; 2) menerima diri, orang lain,
dan kodrat yaitu kondisi konkret diri saat ini. Kalau kita bodoh, maka akui
kebodohan itu lalu perbaiki dan tidak perlu pura-pura pintar apalagi sok pintar.
Jika diri bermuka jelek akui dan kembangkan potensi lain, biar meskipun jelek
tapi pintar; 3) spontan atau sederhana dan hidup wajar, tidak kebanyakan
basa-basi; 4) bersikap demokratik dan terbuka. Menerima masukan dari orang lain;
5) bebas menjadi diri sendiri; 6) resisten terhadap inkulturasi, tidak mudah
tertelan oleh budaya yang hadir disekitarnya; 7) utamakan kepuasan batin; 8)
berikan cinta tapa syarat.
Demikianlah Maslow mengkritik
psikoanalisis lalu memunculkan pandangan alternatif dalam psikologi. Dia
berhasil menjadikan manusia sebagai tumpuan kerangka analisa untuk membaca
tindakan manusia itu sendiri, yang membawanya sebagai tokoh psikologi
humanistik berpengaruh.
catatan kajian masjid Colombo, 12/12/2018
0 Komentar