Oleh: Herlianto. A
Jean Paul Sartre. (Foto: Istimewa) |
Mazhabkepanjen.com - Suatu hari inbox Facebook
saya ada notifikasi. Rupanya seorang perempuan yang saya sendiri juga tidak
kenal. Dicek berandanya ada beberapa foto tapi banyak dari belakang. Chat itu bertanya apakah saya belajar filsafat. Tanpa ragu saya
jawab iya. Dia bilang filsafat itu menyesatkan. Lalu saya tanya balik, apakah
pernah belajar filsafat. Dia menjawab iya. Berapa lama lanjutku. Dia bilang
enam bulan.
Luar biasa, enam bulan sudah bisa menghakimi filsafat, sementara
beberapa orang bertahun-tahun belajar tapi masih belum mantap memahami “apa itu
filsafat” saja.
Tak lama kemudian, saya membuka YouTube
dengan keyword: hukum filsafat. Keluarlah pria berjenggot seraya berkata
“filsafat itu haram, karena dari dulu-dulunya filosof itu memungkiri Tuhan”, katanya,
dst.
Ke kampus beda lagi suasananya, rata-rata anak kampus menjadi anak yang penurut.
Biasanya kalau bicara “menurut A”, “menurut B”, “menurut Anu”, dan
menurut-menurut lainnya. Anak-anak penurut ini biasanya koleksi buku
filsafatnya lengkap, filsafat Barat, Timur, Islam, dan Nusantara, dst.
Apa yang saya alami sebetulnya beberapa corak pelaku
filsafat yang saat ini beredar di Indonesia. The Liang Gie cukup detil membuat
beberapa kriteria para pelaku filsafat dalam buku Dari Administrasi ke Filsafat.
Menurutnya, ada
enam tipe pelaku filsafat di antaranya: pengejek filsafat, peminat filsafat,
penghafal filsafat, sarjana filsafat, pengajar filsafat, dan filsuf (pemikir
filsafat). Dari enam ini saya mencoba menyisipkan satu tipe lagi yaitu penulis
tokoh-tokoh filsafat di antara pengajar dan filsuf. Selanjutnya penjelasan
masing-masing tipe ini menganotasi paparan Gie.
Pengejek Filsafat
Orang jenis ini bisa berasal dari
orang yang pernah belajar filsafat yang mapan dan dari yang hanya dengar-dengar
filsafat. Beberapa orang dikemukakan Gie, di antaranya Henry Louis Mencken
(1880-1956), seorang kritikus Amerika, menyebut filsafat sebagai omong kosong,
penyair William Shakespeare (1564-1623) pernah menyebut filsafat adalah
lamunan, William James (1842-1910) ngatain filsafat tak pernah sampai pada
kesimpulan apapun, Friedrich Nietzche (1844-1900) menyebut filosof yang kawin
menggelikan, dst.
Menurut saya, dari sekian ocehan para filsuf ini tentang
filsafat sama sekali tidak mengejek filsafat dalam arti menghilangkan filsafat.
Melainkan, suatu “abstraksi humorik” dari suatu perenungan yang mendalam, dan
mereka menginginkan sesuatu yang kongkrit dari filsafat. Alih-alih membuang
filsafat, mereka menyiratkan bahwa seharusnya filsafat dibawa ke hal-hal yang
nyata dan berguna secara sosial. Dan, toh mereka tetap menjadi filsuf.
Berbeda dengan pengejek yang baru
enam bulan mencicipi filsafat, tentu cibirannya hanyalah perwujudan ejakulasi
dini yang mestinya segera dibawa ke pengobatan alternatif “Tong Seng”, atau
perbanyak konsumsi sirih dan pinang. Maksudnya perlu waktu lebih, jika Plato
butuh 9 tahun belajar pada Sokrates, dan Aristoteles butuh 20 tahun belajar
pada Plato.
Maka, enam bulan saya kira terlalu dan sangat prematur. Namun
biasanya mereka memang memutuskan berhenti belajar filsafat, karena ada
dalil-dalil tertentu yang dianggap mengharamkan filsafat. Tak bisa dibayangkan
jema’ah sosok berjenggot yang di YouTube tadi setelah filsafat dikatain
haram. Entah apa yang diputuskan dibenak para jama'ahnya. Sementara mereka belum
pernah tahu, bahwa betapa banyaknya agamawan saleh yang juga sekaligus filsuf.
Peminat Filsafat
Termasuk dalam tipe ini adalah
mereka yang pernah membaca buku filsafat, dan pernah belajar filsafat dan
berminat untuk terus belajar. Dia mendapat arah hidup, pandangan dunia, dan
neraca moral tertentu dari filsafat meskipun cukup terbatas. Dia tertarik untuk
belajar filsafat, jika suatu saat ada waktu dan kesempatan yang lebih longgar.
Sesekali membeli buku fisafat yang biasanya memuat kumpulan tokoh-tokoh
pemikir.
Penghafal Filsafat
Kalangan ini lebih banyak
didominasi oleh mahasiswa. Mereka sebetulnya sudah membaca beberapa buku,
mendapat penjelasan tentang filsafat dari dosen baik secara historis maupun
tematis. Mereka kemudian menghafal para filosof beserta corak pemikiran
utamanya, awalnya untuk memenuhi tugas-tugas, kuis, atau menjawab soal-soal
UAS.
Dalam diskusi di warung-warung mereka yang termasuk “penurut” di atas.
Banyak mengutip tokoh hafalannya, terasa belum sah dan mantap sebelum ada
kutipan dari filosof kenamaan. Ada upaya akrobatik atas nama-nama tokoh yang
cenderung buat gaya-gayaan, intellectual showing, dan sedikit menghantam
psikologi lawan bicara.
Sarjana Filsafat
Setelah para penghafal filsafat
ini diwisuda, maka jadilah sarjana filsafat. Mereka umumnya orang-orang yang
masih “nanggung”, pengetahuan filosofisnya tidak cukup mapan untuk memberinya
kehidupan. Sementara, tuntutan dari kenyataan hidup adalah bekerja mencari
sesuap nasi, di sisi lain “pengetahuan filsafat” tidak disediakan untuk menjadi
buruh atau pekerja.
Bolak-balik buka lamaran kerja tak ada yang membutuhkan dengan
kualifikasi kemampuan berfilsafat. Komitmen pada filsafat dibutuhkan, sebagian
memilih memanfaatkan kemampuannya dalam menulis dan bekerja sampingan meski tak
seberapa penghasilannya. Ini dilakukan demi menjaga asa untuk terus menggeluti
filsafat. Tapi ada juga yang memilih meninggalkan filsafat sama sekali.
Pengajar Filsafat
Sarjana filsafat yang berhasil
melanjutkan studi ke jenjang magister, lalu memilih berkarir sebagai pengajar
filsafat. Secara wawasan, pengajar filsafat terbilang oke. Biasanya
menguasai banyak tokoh-tokoh filsafat beserta detail pemikirannya. Dia juga
dapat menjawab pemetaan corak-corak filsafat dari periode ke periode dan juga
aliran-alirannya.
Cuma sayang dosen filsafat ini terlalu sibuk mengajar setiap
harinya sehingga tak sempat menulis buku-buku secara sistematis. Kecuali
beberapa makalah kuliah yang dikumpulkan lalu dicetak menjadi buku. Lumayan
buat dapat nilai kum untuk merancang gelar guru besar.
Penulis Tokoh Filsafat
Orang-orang ini adalah
sekapasitas dengan pengajar filsafat, meski tak harus seorang dosen, tetapi
berpikir lebih jauh tentang filsafat dengan menuliskan apa yang diketahuinya.
Karena menguasai kerangka pikir tokoh-tokoh, maka biasanya mereka menulis
buku-buku tentang tokoh secara urut, atau kalau lebih jauh komparasi pemikiran
dua tokoh, atau aliran. Saya kira, orang-orang ini sudah mendekati untuk menjadi
filsuf, atau menjelang filsuf.
Filsuf (Pemikir Filsafat)
Pada tipe terakhir Gie meletakkan
filsuf itu sendiri. Orang ini tidak hanya memahami pemikiran tokoh-tokoh
filsafat. Tetapi juga melakukan refleksi yang mendalam, mengaitkannya dengan
realitas, melakukan kontekstualisasi dan pembaruan teoritik yang lebih mampu
membaca realitas dan fakta-fakta. Menurut Gie, setidaknya ada enam aktivitas
budi yang dilakukan yaitu analisa, komprehensi, deskripsi, evaluasi,
interpretasi, dan spekulasi.
Dari aktivitas budi itu lalu menghasilakn kearifan
hidup, pandangan dunia, sistem pemikiran, keyakinan dasar, dan kebenaran
filsafati. Mereka menjadikan filsafat bukan hanya onani, lamunan, dan ilusi
teoritik lainnya, melainkan membawa filsafat ke realitas. Filsafat dijadikan
senjata revolusioner. Tak hanya itu, yang tak kalah pentingnya lagi adalah
menuliskan semua hasil refleksi dan temuan-temuannya.
Dilihat dari berbagai tipe dan
jenis pelaku filsafat ini, sebetulnya bisa disederhanakan menjadi dua kelompok
saja yaitu para pengejek dan peminat filsafat.
Peminat filsafat dalam gradasinya yang kompleks mulai dari penghafal hingga tipe
filsuf itu sendiri. Nah, melihat kondisi Indonesia saat ini yang paling dominan
adalah pengejek dan peminat filsafat. Entah Anda masuk tipe yang mana? Jika termasuk
tipe pengejek filsafat, monggo segera tobat. Anda tipe yang mana?
0 Komentar