Oleh: Herlianto A
Sumber: kelvinryo.blogspot.com |
Salah satu perbincangan tak
pernah ada matinya adalah “menggunjing” tentang cewek/cowok atau pendeknya soal
pasangan. Segerombolan cowok memberi nilai yang berbeda-beda pada cewek
berambut pirang kecoklatan yang melintas di dekatnya.
Para cewek dan sista-sista
juga demikian, meski cenderung diam saat berada disekeliling orang berbeda
jenis, tetapi percayalah jika cewek berkumpul sesama cewek saja obrolannya jauh
lebih “mengerikan” ketimbang cowok. Iya kan? By the way, apa yang
membuat selera pasangan itu berbeda? Salah satu tokoh psikoanalisis terkemuka,
Carl Gustav Jung (1875-1961), memberikan jawaban untuk soal ini.
Jiwa dan Perpisahannya Dengan
Frued
Pria kelahiran Swiss tersebut
pada usia paruh bayanya mengalami keguncangan eksistensial dan mempertanyakan
tentang dirinya: apakah saya ini waras atau gila? Pertanyaan ini membawa
gelombang keraguan dahsyat dalam diri Jung, persis seperti yang pernah dialami
Al Ghazali dalam hal otentisitas dan kesahihan pengetahuan. Lalu Jung pun melakukan
pencarian.
Sahabat dekat Sigmund Frued ini, menjadikan dirinya sebagai objek
penelitian demi menjawab kegelisahannya. Dia menemukan tiga struktur
kepribadian manusia: ego (counsciousness), ketaksadaran personal (personal
uncounsciousness), dan ketaksadaran kolektif (colective uncounsciousness).
Counsciousness adalah jiwa
sadar, berisi persepsi-persepsi dan ingatan, melahirkan identitas atau gugusan
tingkah laku yang ditampilkan secara sadar. Di taraf ini manusia mudah memberi
tahu siapa namanya atau dari mana asalnya. Tentang ego, Jung tidak berbeda
dengan Frued yang sekaligus gurunya. Ada beberapa fungsi ego yang kemudian
disebut fungsi jiwa, menurut Jung, yaitu: ego berfungsi mengalami dan mengindera
(sensing) suatu peristiwa, menamai atau menginterpretasi (thingking),
mengevaluasi pengalaman (feeling), dan merelasikan secara langsung tanpa
sensasi, rasio, dan interpretasi (intuiting) berbagai pengalaman.
Contoh
yang terkahir ini, biasanya ada fenomena tertentu dapat langsung dipahami apa
makna dari fenomena itu tanpa harus melakukan refleksi terlebih dahulu. Lebih
lanjut ego melahirkan dua sikap jiwa: introvert dan ekstrovert.
Secara “serampangan” biasanya kita pahami yang pertama itu orang pendiam dan
yang kedua orang banyak omong.
Personal uncounsciousness
terdiri dari pengalaman yang pernah disadari tetapi kemudian diabaikan atau
dilupakan. Ketaksadaran ini berupa kumpulan pikiran (group of thoughts)
tentang sesuatu. Misalnya, pandangan tentang “ibu yang baik”. Padangan ini
merupakan pemadatan dari sekian tahun kita bersama dengan ibu.
Ibu yang baik
merupakan gagasan yang complex organized dari dia yang kadang
marah-marah, masak setiap pagi, memberikan jajan, mengajari menulis, menyuapi
anak-anaknya, dst. Ketidaksadaran personal ini perannya sama dengan id
dalam pemetaan jiwa Frued, bahwa ketidaksadaran mempengaruhi kesadaran. Segala
tingkah laku manusia adalah didorong oleh ketaksadaran, dan itu yang sebagai seks
(everything is about sex).
Berikutnya, colective uncounsciousness.
Pemetaan ini menunjukkan Jung sudah berbeda dengan Frued. Kalau boleh dibilang
inilah gagasan orisinil Jung. Posisi ketidaksadaran kolektif jauh lebih
mengakar dan mendalam ketimbang id-nya Frued. Dengan ini, sejak lahir
manusia sudah membawa mental tertentu yang diwariskan dari nenek moyangnya.
Kecenderungan nenek moyang diberikan secara turun-temurun dari generasi ke
generasi. Melalui pemetaan ini, Jung dapat menjelaskan beberapa persoalan penting
dalam kehidupan manusia, termasuk mengapa selera pasangan setiap orang
berbeda-beda.
Selera Pasangan Sebagai
Ketaksadaran Kolektif
Ada beberapa hal atau isi yang
berkaitan dengan ketidaksadaran kolektif yang ditemukan Jung. Pertama, arketipe,
tipe-tipe ideal, atau mimpi kolektif masyarakat tentang sosok ideal. Manusia selalu
memiliki tipe ideal atau gambaran universal tentang sesuatu yang digandrunginya.
Dalam perfilman kita temukan superhero semacam Superman, Spiderman,
Hulk, Gatotkaca. Dalam keseharian kita sering menyatakan: ayah
ideal, ibu ideal, menantu ideal, pacar ideal, rumah ideal, dan termasuk pasangan
ideal.
Sampai di sini dapat dimaklumi mengapa kita memiliki selera pasangan
berbeda. Mengapa si A yang bertubuh ala gitar spanyol, rambut pirang, mata
lebar, bibir merekah delima tetapi tidak cocok bagi si Udin, namun okey
bagi si Bambang. Semua idealitas ini diwariskan dari nenek moyang sebelumnya. Barangkali,
nenek moyang Udin tidak suka pasangan berambut pirang da berbeda lebar,
sementara nenek moyang Bambang sebaliknya.
Argumen arketipe ini dapat kita
terima manakala melihat bagaimana suatu kebudayaan mendefinisikan perempuan ideal.
Katakanlah dalam budaya Jawa dan Madura. Budaya Jawa mengidealkan cewek sesuai
selera dengan metafor berambut ala bunga bakung, kulit kuning buah langsat,
jalannya bak macan lapar, hidungnya kuncup bunga melati, dst.
Dalam budaya
Madura, cewek cantik dimetaforkan memiliki bibir jheruk salone (jeruk seiris),
berbahu tembhangan (timbangan), giginya abigihi tȇmon (biji mentimun),
berambut malȇ’
katopa’ (membalik ketupat), dst. Gambaran dalam Sunda, Batak, Melayu, dan
beberapa kehidupan kolektif budaya lainnya juga akan berbeda. Metafor-metafor
itu yang menjadi ketaksadaran kolektif bagi seorang lelaki dalam memilih
pasangannya.
Kedua, persona yaitu
topeng (bahasa latin). Bahwa sebetulnya kehidupan manusia adalah berpindah dari
satu topeng ke topeng lainnya. Manusia tak bisa hidup tanpa topeng. Saat masuk
masjid maka topeng agama yang dipakai, saat hadir ke diskotik topeng diskotik
yang digunakan, menjadi politisi topeng politisi yang dikenakan, saat menjadi
ustad topeng ustad yang dipakai.
Penggunaan topeng tidak boleh sembarangan,
bisa berbahaya. Menjadi rumit apabila masuk masjid menggunakan topeng diskotik,
atau sebaliknya masuk diskotik memasang topeng masjid. Sialnya, saat ini banyak
politisi justru bertopeng ustad dan demikian juga ustad memilih bertopeng
politisi.
Sejatinya, manusia tak bisa lepas
topeng. Setelah bertopeng ustad atau politisi, pulang ke rumah semua topeng itu
dilepas dan ganti topeng sebagai ayah atau suami. Hakikat manusia adalah dari
topeng ke topeng. Karena itu yang bisa dilakukan adalah bukan menghindari
topeng, tetapi menggunakan topeng yang tepat.
Topeng yang tepat adalah berasal
dari kesadaran kolektif itu sendiri. Memang problemnya adalah ada orang yang
fanatik terhadap satu topeng saja, sehingga kemana hanya menggunakan satu
topeng. Karena pandai ceramah, kemana-mana ceramah melulu, di pasar ceramah, di
warung ceramah, di kamar mandi, bahkan batu dan sandal juga diceramahi.
Ketiga, anima dan animus
yaitu sisi feminim pada laki-laki dan sisi maskulin pada perempuan. Bahwa ada
kecenderungan lawan jenis pada pada setiap orang. Sayangnya, Jung tidak
menjelaskan adanya kecenderungan pada kelamin ketiga. Anima dan animus inilah
yang memicu cowok ideal pada perempuan dan cewek ideal pada laki-laki yang
membuat selera pasangan mereka menjadi berbeda.
Keempat, shadow adalah
sisi gelap, atau insting primitif jahat manusia. Dalam hal ini mencakup jiwa
kebinatangan dan kebuasan. Manusia memiliki insting tersebut, hanya saja kadang
diabaikan dan merasa dirinya selalu baik terus. Shadow kebalikan dari persona,
kalau persona sebagai topeng ditunjukkan pada orang lain, kalau shadow malah
disembunyikan dari orang lain. Untuk menyembunyikan insting primitif ini
manusia memiliki defence mecanism yaitu melempar kesalahan pada orang
lain atau “mencari kambing hitam”.
Kelima, self yaitu
keutuhan jiwa. Dalam hal ini apabila berbagai rupa ketaksadaran sebelumnya
sudah dapat dikontrol. Semua ketaksadaran yang saling tarik menarik dapat
disingkronkan dalam suatu irama yang syahdu. Ini yang lebih dikenal sebagai
realisasi diri (self realization) dan proses menuju realisasi diri ini
yang disebut sebagai individuasi. Manusia yang sukses adalah mereka yang
hidupnya mampu menggapai self dengan menjalani individuasi.
Penyakit Jiwa
Bagaimana jika ketaksadaran tidak
berhasil dikontrol? Menurut Jung, ada dua penyakit jiwa yang akan dialami oleh
manusia yatu: psikosis dan neorosis. Yang pertama manusia tidak
bisa menghadapi lingkungan karena selalu mengalami delusi dan halusinasi. Yang
kedua manusia kalah oleh lingkungannya dan selalu fobia atau ketakutan.
Jika dua
atau salah satu penyakit ini dialami, maka para psikiater mengobatinya dengan
menggarap mimpi seseorang tersebut. Melakukan interpretasi terhadap mimpinya.
Karena hakikatnya, mimpi tidak terjadi secara kebetulan melainkan ada sekuen sekian
peristiwa yang terjadi sebelumnya dan kemudian memadat menjadi mimpi yang hadir
dalam tidur. Langkah antisipasi adalah pendidikan mental yang baik sejak
anak-anak, remaja, paruh baya, dan usia tua.
Begitulah, Jung menjelaskan
bagaimana proses kejiwaan manusia terstruktur sehingga berdampak pada selera
dan pilihan tindakan manusia dalam kehidupan sosialnya. Dari sisi
determinismenya Jung tidak berbeda dengan Frued, keduanya sama-sama menjadikan
ketaksadaran (unconsciousness) determinan dalam berbagai aspek kehidupan
manusia.
Hanya saja bentuk ketaksadaran itu yang berbeda, Frued hanya pada id
sementara Jung masuk lebih dalam hingga ketaksadaran kolektif. Maka akhirnya,
segala perbedaan selera tentang perempuan atau laki-laki adalah masih dalam
batas normal menurut Jung. Pendeknya, berbeda selera pasangan adalah waras.
Catatan ngaji Masjid Colombo,
5/12/2018.
0 Komentar