Oleh:
Herlianto A
Sumber: en.wikepedia.org |
Marx dan Freud adalah dua sosok yang dibaca dan disintesiskan Erich Fromm (1900-1980) dengan bernas. Menurutnya, kedua tokoh kawakan itu sama-sama berpihak pada determinisme tertentu dalam melihat manusia. Marx menyatakan faktor sosial mendeterminasi prilaku manusia, prahara ekonomi dan struktur sosial lainnya menjadi penentu cara bertindak seseorang.
Sementara
Freud, meletakkan ketidaksadaran sebagai determinator bagi setiap pola tingkah
manusia. Bagi Fromm keduanya sama-sama memiliki pijakan realitas atas teorinya
namun berpotensi berbenturan, karena kesadaran
versi Marx dibentuk dari luar subjek sementara bagi Freud dibentuk dari dalam
subjek. Pertanyaan yang cenderung mengilimir salah satunya: mana yang paling
dominan antara keduanya?
Fromm kemudian
mencoba alternatif lain dengan menempatkan Marx dan Freud pada posisi yang
seimbang. Dia berupa mengawinkan keduanya, sembari merumuskan tesis yang
mungkin dapat melampaui keduanya. Pada titik inilah, poin penting Fromm dalam
gagasan sosiologi dan psikologi didapati, dia menyatukan aspek sosial dan
psikis manusia sebagai determinator baru atas prilaku manusia.
Dilema
Eksistensial Manusia
Fromm
dibesarkan dalam keluarga kaya, bapaknya seorang pengusaha yang meterialistik.
Ibunya seorang ibu rumah tangga yang spritualistik. Sang ayah dan ibu sering
terlibat cekcok tentang pandangan hidupnya tersebut. Selain latar keluarga, ada
fenomena yang begitu menginspirasi Fromm
yaitu seorang kerabatnya yang cantik, cerdas, dan kaya, tak kurang suatu apapun,
tetapi ternyata memilih bunuh diri, aneh! Sejak itu, dia mulai tertarik
menyelidiki keanehan-keanehan manusia. Ditambah, pada saat usianya 14 tahun,
perang dunia II berkecamuk. Darah mengalir, mayat bergelimpangan, dan kebencian
menyelinap ke relung-relung sadar manusia. Manusia menjadi begitu irasional,
kejam, dan sadis. Semua ini menjadi tanda tanya yang menggiring Fromm pada
temuan-temuan bernasnya tentang kepribadian.
Alumni
universitas Heidelberg ini dalam buku babonnya “Escape From Freedom” menyatakan
bahwa manusia mengalami dilema eksistensial. Dilema ini yang kemudian membelah karakter
manusia menjadi dualistik dikotomik. Ada empat dilema yang dialami manusia: 1)
manusia sebagai binatang sekaligus manusia, sebagai binatang mereka butuh makan
dan seks. Begitu ada makanan enak dan paha “mulus bin jernih” sisi binatang
manusia meronta dan ingin melibas makanan dan mecicipi paha itu, namun sisi
manusia menahannya karena makanan itu punya orang lain, dan untuk menikmati
pangkal paha masih ada syaratnya. Tidak bisa main sikat begitu saja;
2) dilema
hidup dan mati. Sebagai yang hidup manusia perlu menjalani keseharian yang
sejahtera, harta melimpah, kerja mati-matian, ada sisi kebinatangan yang harus
dipenuhi melalui kerja. Tetapi seketika menyadari bahwa dirinya akan mati, dan
pada kematian semua kerja menumpuk harta yang diperjuangkan tak lagi punya arti apa-apa. Pada hidup ada
nuansa optimisme, pada mati ada nuansa psimisme; 3) dilema ketidak-sempurnaan
dan kesempurnaan. Di dalam diri manusia ada potensi untuk sempurna, punya daya
untuk menjadi orang baik dan bermoral, tetapi seketika dinyatakan bahwa manusia
adalah mahluk yang tidak sempurna. Seberapapun kebaikan itu diperjuangkan akan
ada celah keburukan. Lalu pilihannya dilematisnya, hidup ini mengejar
kesempurnaan atau menerima keadaan saja;
4) dilema
kesendirian dan kebersamaan. Satu sisi manusia perlu menjadi unik, tersendiri,
dan berbeda dengan masyarakat, sehingga perlu tampil menjadi individu spesial di
masyarakat. Tetapi konsekuensinya menjadi terangsingkan dalam masyarakat, tak
punya teman dan kolega. Dan, apabila mengikuti masyarakat dan beradaptasi
dengan kelompok sosial tertentu manusia memiliki banyak teman tidak hidup
sendirian, tetapi konsekuensinya keunikan individunya hilang. Ia tak ada
bedanya dengan orang-orang lainnya.
Dilihat dari berbagai
dilema ini, manusia tidak saja mengalami dilema pada sisi psikologis tetapi
juga pada sisi sosialnya, misalnya dilema binatang dan manusia. Binatang adalah
kontruksi biologis dan manusia adalah konstruksi sosial. Kemudian, dilema
sendiri dan bersama, bersama tentu membutuhkan diluar diri. Berarti, dilema-dilema
ini datang bukan saja dari subjek (Fruedian) tetapi juga dari realitas luar subjek
(Marxian). Apabila dilema itu memerlukan kebutuhan eksistensial, maka kebutuhan
itupun berkaitan dengan sisi subjektif dan objektif manusia. Dan, ternyata
benar untuk menyikapi dilema eksistensial ini manusia memerlukan “kebutuhan
eksistensial”.
Kebutuhan
Eksistensial
Ada beberapa
kebutuhan eksistensial yang dinyatakan Fromm: 1) kebutuhan identitas (need
for identity). Kebutuhan ini berkaitan dengan pertanyaan “siapa dirimu?”.
Jawaban atas pertanyaan ini bukanlah nama dan titel, tetapi lebih pada karakter
diri. Sayangnya, sebagian orang cenderung menjawab pertanyaan itu dengan
afiliasi tertentu. Misalnya, saya adalah mahasiswa UGM, saya adalah anggota NU,
dst. Artinya kesadaran akan identitasnya bersandar pada hal tertentu. Dalam
terminologi Freire, disebut kesadaran naif. Namun, sebagian manusia lainnya
mampu menjawab pertanyaan dengan posisi eksistensialnya, yang kemudian disebut
kesadaran kritis;
2) kebutuhan
relasi (need for relatedness). Setelah mengidentifikas diri manusia
memerlukan merelasikan diri dengan selain dirinya. Karena itu, dia perlu
berteman, berorganisasi, berserikat, berpartai serta berbagai lembaga-lembaga lainnya;
3) kebutuhan trasendensi (need for transendence). Kebutuhan ini muncul
untuk mengatasi sisi kebinatangan manusia, mengantisipasi kodrat binatangnya.
Ingin ngelus paha mulus, boleh, tetapi perlu bayar mahar dan ibab qabul,
ada syarat yang harus dipenuhi. Pada sisi transendensi ini, manusia perlu
mengembangkan diri, membangun rumah, menuju high technology, memperluas
bisnis, dst. Ini yang kemudian membuat manusia berbeda dengan kerbau, sapi,
ayam, dan ular, tentu saja “dengan buaya”;
4) kebutuhan
berakar (need for rootedness). Manusia membutuhkan sandaran atau
afiliasi. Seperti pada saat kecil membutuhkan sosok ibu atau sosok ayah. Pada
usia dewasa biasanya berupa idola-idola tertentu, yang berkecenderungan ditiru
prilakunya oleh manusia; 5) kebutuhan kerangka orientasi (need for frame of
orientation). Ini berkaitan dengan cara pandang atau cara pikir dalam
menyikapi hidup. Ada orang yang menyikapi hidupnya secara pragmatis, ada yang
idealis, eksistensialis, dst.
Dilihat adari
kebutuhan eksistensial inipun, Fromm menyasar sisi subjektif dan objektif manusia.
Subjektif misalnya identitas dan transendensi, sementara sisi yang membutuhkan
di luar subjek di antaranya kebutuhan kemengakaran dan relasi.
Lari Dari
Kebebasan
Dalam
menjalani hidup manusia, menurut Fromm, ingin bebas menata dirinya, inilah sisi
Freudian manusia. Tidak ingin diatur dan mengatur. Bebas berarti tidak terkait
dengan apapun secara sosial. Tidak ada lagi peraturan ditaati dan yang mengatur
dibelakangi. Dalam bahasa Sartre “hell is other”, orang lain adalah neraka. Namun
semakin manusia bebas ia semakin mengalami kesepian, hidup dalam kesendirian. Semakin
tak membutuhkan orang lain semakin ia merasa sunyi dalam hidupnya. Sementara di
sisi lain, manusia benci kesendirian karena mengasingkan, dia membutuhkan
sosial, inilah sisi Marxis manusia. Karena itu mereka tak mau kebebasan yang
menjerumuskan pada kesendirian, manusia kemudian lari dan membebaskan diri dari
kebebasan (escape from freedom).
Ada beberapa
mekanisme manusia untuk lari dari kebebasan: 1) jalan otoritarianisme, yaitu bergabung
dengan orang lain lalu melepaskan kebebasannya untuk hal-hal yang diinginkan.
Bentuknya biasanya berupa masokisme (inferior) dan sadisme (superior). Mental masokisme,
membuat seseorang ikut saja meski diatur-atur oleh orang lain. Sementara mental
sadisme menindas yang lain agar yang lain patuh, biasanya dilakukan oleh mereka
yang punya kekuasaan. Sayangnya, kedua-duanya sama-sama kehilangan dirinya;
2) jalan
destruksi, lebih dahsyat lagi dari otoritarian. Orang ini merasa orang lain mengganggu kebebasannya karena itu
harus disingkirkan. Jika ini dilakukan oleh orang kuat atau berkuasa maka akan
menghilangkan siapa saja yang dianggap menghalangi kebebasannya, kira-kira
Suharto zaman Orde barulah. Sementara jika dilakukan oleh yang lemah akan
menghancurkan dirinya, bunuh diri. Sederhananya, inilah prilaku orang teralu percaya
diri dan terlalu minder;
3) jalan automation
conformity, yaitu mengalir saja dan pasrah dengan segala keadaan, orang ini
bisanya menjadi objek perkembangan masyarakat. Dia memang dapat hidup aman dan
nyaman, tak ada konfrontasi. Tetapi identitas individu dan jati dirinya hilang
tenggelam dalam kerumunan. Prinsipnya: the we conform the more powerless we
feel, the more powerless we feel the more we most conform.
Demikinlah upaya
Fromm untuk mensintesakan antara determinisme Marx dan Freud dalam bingkai
psikoanalisis. Dua pendekatan ini pula yang mendorongnya merumuskan suatu
masyarakat “sosialisme komunitarian humanistik” yang tentu juga menarik dibahas
lebih jauh. Secara sederhana, masyarakat tipe Fromm ini merupakan suatu
masyarakat yang mempertimbangkan sisi sosial dan psikologis manusia.
Strata
sosialnya ini dibentuk oleh cinta, rasa persaudaraan dan solidaritas. Mencapai
pengertian tentang diri melalui kemampuan-kemampuannya bukan lewat konformitas.
Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi manusia, dan setiap
orang bisa bekerja produktif sesuai tuntutan lingkungannya.
Catatan, ngaji
masjid Colombo, Jogjakarta, 26/12/2018
0 Komentar