Oleh: Herlianto. A
Ludwig Wittegenstein, filsuf analitik. (Foto: Istimewa) |
Mazhabkepanjen.com - Ketika agama
“berak” kebencian dan teknologi informasi “ngentut” hoaks di mana-mana,
bau busuknya menyeruap ke hidung-hidung manusia. Mereka memanggil-manggil
filsafat sebagai “tukang WC” untuk menguras lautan berak dan membersihkan udara
dari kentut teknologi. Begitulah, kira-kira ungkapan untuk menggambarkan
kegamangan Prof. Arskal Salim[1] belum lama ini.
Dia
menyatakan bahwa maraknya konsumsi hoaks di masyarakat lantaran minimnya
pengetahuan filsafat. Filsafat yang sejatinya memampukan manusia berpikir
kritis dengan mempertanyakan segala sesuatunya tidak lagi diminati dan telah
secara perlahan dipreteli dan dihapuskan dari jagad pendidikan nasional.
Teknologi
informasi adalah gaya baru masyarakat dunia saat ini, mereka mengatakan era Internet
of Thing (IoT) atau istilah jadulnya melek-merem online. Ada banyak
manfaat yang telah mereka petik dari lifestyle ini, yang paling menonjol
adalah mudahnya akses terhadap informasi.
Namun ibarat pisau tajam, teknologi
informasi tidak dapat memfungsikan dirinya sendiri secara otomatis. Ia mesti
dikendalikan oleh subjek demi suatu kepentingan yang sayangnya kepentingan itu
tidak bisa dikontrol oleh teknologi informasi itu sendiri. Alhasil, yang turut
bertebaran bukan hanya manfaat tetapi “bau kentut” dari teknologi itu yang kian
menyesakkan hidung dan nurani manusia yang waras.
Lalu orang-orang
pada ribut membuntuti kentut itu untuk menyumbal anusnya, agar agin-angin tak
sedap itu disendawakan saja. Tetapi namanya kentut, selalu punya cara untuk
dihempaskan. Bila cara berbunyi keras berpotensi terdeteksi dan membahayakan si
empunya, maka akan menempuh jalan senyap dengan bunyi: ssst!, yang
kemudian disebut kentut maling. Begitulah teknologi informasi menyebar hoax
dan segala jenis kejahatan lainnya.
Agama kemudian
didatangkan untuk membereskan limbah teknologi informasi tersebut. Inisiatif
yang baik, meskipun terkesan kuno. Namun, alih-alih agama melakukan konter
informasi dengan menghembuskan udara segar, justru oknum pembawa agama yang
dikomandani gerombolan jidad hitam dan celana cingkrang menjerumuskan agama
terlibat dalam pencernaan teknologi informasi yang kurang sehat itu.
Mereka
lalu “berak” berupa kebencian, dendam, hasut, dan fitnah yang terus ditebarkan
melalui anus teknologi informasi. Mereka muncul di youtube, facebook,
instagram, dan media online lainnya untuk menyebarkan kebencian,
sentimen, intoleransi dan hal-hal sara lainnya.
Dalam suasan
sesak ini, siapa yang bisa dipanggil membersihkan berak dan kentut itu? Prof.
Arskal memanggil filsafat untuk menetralkan suasana. Panggilan yang terbilang telat,
karena filsafat teranjur dimusuhi, dianggap tidak prospek, tidak aplikatif, tak
laku dijual, dan tak bernilai di mata calon mertua, berfilsafat tidak
mengenyangkan perut.
Filsafat distigma merumitkan suasana, ajang berkelit, anti
akidah karena dianggap menjauhkan manusia dari Tuhannya. Ilmu pengetahuanpun
(sains) tak kalah durhakanya pada filsafat, ia membenamkan filsafat di lumpur
metafisika sehingga seolah tak laku lagi di era teknologi yang positivistik.
Seketika
kampus-kampus besar, membredel jurusan filsafat. Di provinsi Jawa Timur,
misalnya, yang memiliki ratusan perguruan tinggi, tetapi yang membuka jurusan
filsafat dapat dihitung jari, di antaranya IAIN Tulungagung dan UIN Sunan
Ampel, atau yang cukup kecil STFT Widyasasana dan STF Al Farabi.
Selebihnya tidak
ada. Saya kira di daerah-daerah lain filsafat juga mengalami nasib yang sama,
teralienasi. Pertimbangannya sederhana: tak ada perusahaan yang membutuhkan
sarjana filsafat. Sementara para rektor berteriak: “alumni jurusan kami
diterima 100 persen di dunia kerja, masuklah ke kampus kami”.
Perguruan
tinggi lebih suka menjadi pencetak buruh, sementara kemampuan nalar dan
rasional tak terlalu dibutuhkan, yang penting adalah eksplorasi kemampuan
teknis dan loyalitas dalam bekerja. Inilah, dalam bahasa Herbert Marcuse,
manusia satu dimensi (one dimensionl man), dalam bahasa milenialnya
manusia “pentol korek”.
Yaitu, manusia-manusia yang krisis nalar dan menghamba
pada hal-hal yang instan. Cirinya mudah emosi dan ngotot, digesek sedikit
terbakar. Karena itulah ustad “halal-haram” menjadi laku yang dengannya mereka
tak perlu lagi berpikir menyelami usul fiqih yang menjadi sebab lahirnya hukum
agama.
Mata kuliah
filsafat ilmu, sebagai satu-satunya mata kuliah yang berbau filsafat secara
perlahan juga dihilangkan dari perguruan tinggi. Suatu hari, saya sempat
berdiskusi dengan salah satu mahasiswa jurusan Hubungan Internasional (HI)
kampus di Malang. Dia mengajukan penambahan mata kuliah filsafat ilmu di
prodinya, sayang, katanya dosen-dosen senior di kampus itu menolak.
Di tempat
saya belajar, Magister Ilmu Linguistik UGM, juga tidak menyediakan mata kuliah
filsafat ilmu. Absennya filsafat ini sangat terasa saat para mahasiswa
memperdebatkan tentang nilai dan posisi keberpihakannya dalam belantara ilmu. Mereka
kelimpungan tak punya pijakan nilai, akhirnya terjerembab dalam relativisme.
Namun, mungkin saja di beberapa kampus lain masih menerapkan mata kuliah
filsafat ilmu seadanya. Tetapi tetaplah tak terelakkan bahwa iklim pendidikan
Indonesia masih alergi dan phobia dengan filsafat.
Kini, setelah
segala sesuatunya runyam, filsafat kembali dibutuhkan. Setelah berbagai ilmu
memilih memisahka diri dari filsafat lalu mengencinginya, begitu juga agama
menceraikan filsafat dan mengkafirkannya dengan dalil yang dicocok-cocokkan,
kini keduanya merindukan kemesraan masa lalu.
Ilmu pengetahuan dan teknologi
mengalami kekeringan nilai butuh filsafat untuk menurunkan hujan kemanusiaan.
Sementara agama tersengal-tersengal untuk bangkit dari partikularitas menuju
universalitasnya di mana keimanan dan ketuhanan menjadi rahmat bagi semesta.
Dalam hal ini,
mungkin filsafat akan bertindak seperti “tukang WC” yang terkesan menjijikkan, tetapi
memang begitulah filsafat bermurah hati pada semua. Filsafat tak pernah meminta
imbalan, bak koboy pengelana yang turun gunung membasmi perampok di suatu desa,
memberantas kejumudan, dan kenaifan hidup.
Setelah perampok dan kejumudan itu
berhasil dibumi-hanguskan, sang pengembara itu kembali melanjutkan
perjalanannya karena waktu terus berputar yang berarti di suatu waktu filsafat
akan kembali dipanggil. Begitulah, filsafat menanamkan kewarasan pada manusia.
[1] Direktur Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian Agama.
0 Komentar