Oleh:
Herlianto A
Sumber: smarterare.org |
Pertanyaan
awalnya adalah apakah generalisasi sains menyalahi prinsip filsafat dan apakah
prinsip filsafat membunuh sains? Untuk menjawab persoalannya ini, kita mesti
membeli tiket traveling pulang pergi dari filsafat ke sains dan sebaliknya.
Hanya singgah pada salah satu terminal saja akan terjebak pada glorifikasi
paham yang membelah dua kebutuhan dasar akal sehat manusia yang selama ini
membuat hidup begitu gelisah.
Baiklah,
pada awalnya jalan tol antara filsafat dan sains sudah dibangun sedemikian rupa
dan begitu mulusnya oleh para pemikir terdahulu. Sebut saja golongan pemikir
Yunani antik (6 SM) yang secara kritis menarasikan anasir-anasir kosmos dan
ketertaan semesta, bahwa semesta mulanya adalah air ala Thales, udara ala
Anaximenes, empat anasir: tanah, air, api, dan udara ala Empedokles, dan dari
atom-atom ala Leukippos dan Demokritos.
Lalu
memuncak pada Aristoteles yang mengeksposisi prinsip causa prima (sebab
terakhir yang nirsebab) sebagai medan percumbuan filsafat dan sains. Mengurai
penjelasan sebab dari segala sebab tidak bisa mengabaikan materi yang selama
ini menjadi tumpuan sains. Artinya, jika causa prima adalah prinsip
azali filsafat yang kemudian dibahasakan menjadi sedemikian beragam dalam
belantara kosa kata filsafat, maka pasangan abadinya adalah sains yang
menyediakan segudang bukti dan proposisi untuk kegagahan filsafat.
Filsafat
bergerak di medan sebab-akibat, karena memang kemengakaran filsafat adalah
membongkar sebab musabab segala sesuatu dari yang kasat mata hingga yang tidak.
Sains pun demikian, yaitu menelusuri lorong-lorong sebab untuk membaca gerak
hukum alam demi menjawab dan memudahkan perkara hidup manusia. Filsafat dan sains
sama-sama tidak menolak sebab-akibat sebagai suatu prinsip yang “dikencani” dan
“dikeloni” bersama. Maka pastilah universalisasi sains mengandaikan filsafat
dan begitu sebaliknya.
Para
pemikir muslim awal (7-8 M) macam Al Farabi dan Ibn Sina juga melestarikan tol
filsafat ke sains, malah menambahnya tol lain yaitu ke agama. Karena itulah,
hebatnya, dua pemikir ini dapat menjelaskan kosmos berikut harmoninya secara
filosofis sekaligus saintifik tanpa merusak tatanan agama (iman). Meskipun
sempat “digoda” oleh rekan seagamanya: Al Ghazali melalui Tahafut al Falasifah-nya,
tetapi kemudian Ibn Rusdy meluruskannya kembali yang selanjutnya tol itu dirias
dan diperindah oleh Ibn Khaldun.
Cuma
memang sayangnya, sosok modernitas (15 M) tak terprediksi dengan baik oleh para
pemikir terdahulu itu. Tak disangka sains akan berkembang sebegitu pesatnya dan
pamornya jauh diatas filsafat, sehingga seolah menyelingkuhi bahkan merobohkan
prinsip-prinsip filsafat yang dibangun ratusan tahun sebelumnya. Di wilayah
kosmologi, sains merajalela menggali hal-hal yang sebelumnya tak banyak
diperhatikan di kalangan filosof. Dengan memaksimalkan paleontologi, astronomi,
dan fisika, para saintis mencoba metode-metode baru yang konon menekan
intervensi filsafat di dalamnya.
Spekulasi
bentuk bumi berikut poros semesta direvolusi oleh Nicolaus Copernicus dan
Gelileo Galilei, yang awalnya mengadopsi geosentrisme Ptolomean dengan bentuk
bumi datar menjadi heliosentrisme bentuk bumi bulat. Bumi hanyalah satu benda
semesta diantara benda-benda angkasa lainnya yang berputar mengelilingi
matahari. Perputaran ini dimungkinkan oleh daya gravitasi yang ditemukan Isaac Newton. Bahwa pada bumi dan
bintang-bintang lainnya memiliki gravitasi yang membuatnya, pada batas-batas
tertentu, bergerak stabil sehingga tidak tersedot oleh matahari dan tata surya
kita dapat terus berputar pada orbitnya. Kita pun bisa ngopi dengan tenang.
Edwin
Hubble terkaget-kaget melihat bahwa bumi bukanlah satu-satunya benda di semesta
ini, ada ribuan bintang dan galaksi. Lalu berspekulasi bahwa alam semesta ini
mengembang dan diawali oleh suatu ledakan maha dahsyat yang disebut big bang.
Temuan mengembangnya alam semesta ini, menurut Steven Hawking, sangat penting
karena dapat mengantisipasi mengkerutnya alam semesta akibat tarikan gravitasi yang
sebelumnya dinyatakan Newton. Albert Einstein juga termasuk pemikir yang
menerima keajegan alam yang disebut “konstanta kosmologis” yaitu suatu
perangkat “anti-gravitasi” bahwa sebetulnya ruang dan waktu punya kecenderungan
untuk mengembang sehingga dapat mengimbangi daya tarik benda-benda lain agar
semesta tetap stabil.[1]
Pencarian
sains juga tidak hanya menyasar muasal dan besarnya kosmos, tetapi hingga ke
bagian terkecil semesta yang di era Yunani disebut atom yaitu butir terkecil
yang tak terbagi lagi. Adalah John Dalton, ahli fisika dan kimia asal Inggris,
menyatakan bahwa senyawa kimia dapat dijelaskan dengan mengelompokan atom-atom
yang disebut molekul. J.J. Thomson melanjutkan dengan menemukan unsur bernama
elektron yang memiliki massa seper-seribu lebih kecil dari atom paling kecil. Investigasi
atas atom terus dilanjutkan oleh Ernest Rutherford menemukan bahwa selain
elektron yang bermuatan listrik negatif juga ada proton yang bermuatan listrik
positif dalam atom. Berikutnya James Chadwick menemukan neutron sebagai unsur
lainnya yang bermuatan netral dari inti atom. Lalu yang terakhir Murray
Gell-Mann mecoba menambrakkan proton ke proton dan begitu juga elektron,
ternyata atom masih tersusun dari unsur atau zarah yang lebih lagi yang disebut
kuark.[2]
Bidang
paleotologi tak kalah menariknya, temuan-temuan saintifiknya membuat gagasan evolusi
kian berkembang, mulai dari Alfred R. Wallace hingga bapak evolusi terkemuka
Charles Darwin. Bahwa leluhur manusia dan simpanse berikut sepupunya bonobo
adalah sama. Beberapa pengikut selanjutnya juga mengembangkan temuan tak kalah
menariknya, misalnya Richard Dawkins menyatakan gen egois (the selfish gen)
yang sama pada semua mahluk hidup dan segala aneka mahluk yang berbeda berarti
hanyalah cangkang dari gen itu.
Baru-baru
ini, Yuval Noah Harari juga memberikan penguatan dalam buku Sapiens
bagaimana “homo sapiens” secara evolutif dapat bertahan dan merajai bumi. Bahwa
manusia memiliki kemampuan imajinasi yang tak dimiliki oleh mahluk lainnya,
imajinasi inilah yang menyatukan antar sapiens. Menurutnya, ada tiga imajinasi
yang menyatukan manusia yaitu imperium, uang, dan agama. Kemampuan ini membuat
sapiens dapat menghabisi manusia purba lainnya macam homo Neanderthalensis,
sekaligus manusia dapat megarungi tiga revolusi semesta mulai dari revolusi
kognitif, pertanian, dan industri. Bahkan, lebih jauh diungkapkan dalam Homo
Deus, bahwa sapiens ini akan bertindak seperti Tuhan (latin: Deus).
Modalnya utamanya adalah kemajuan sains dan teknologi, dan pertama-tama yang akan
diatasi oleh homo Deus adalah menunda kematian.
Dengan
berbagai rupa pencapaian ini, sains seolah dikampling dan dilokalisir pada batas-batas
yang tak menyentuh filsafat. Walaupun itu hanyalah ilusi, bagaimana mungkin
anak (sains) yang terlahir dari rahim ibunya (filsafat) dapat sama sekali tidak
membawa gen-gen yang mengandungnya. Maka sebetulnya, meminjam bahasa Richard
Dawkins, the selfish gen dalam tubuh filsafat dan sains adalah sama,
yaitu sebab-akibat. Keduanya memulai petualangannya dengan pertanyaan “mengapa”
dan segala upayanya adalah untuk menegaskan “karena”.
Dalam
pencarian sebab-sebab ini, secara prinsip filsafat tiba pada puncak segala
sebab yang tak disebabkan. Hal ini untuk mengatasi sirkularitas sebab yang itu
tidak mungkin, artinya harus ada sebab yang memulai untuk menggerakkan
rangkaian sebab berikutnya. Maka, sains juga memegang prinsip ini. Pada kasus
kosmologi, tak dapat dijelaskan bagaimana datangnya gravitasi, dan big bang.
Pada atom–meski
para ilmuan masih mencari atom yang terakhir–juga tak dapat dijelaskan mengapa harus bermula dan
dibatasi dari atom, pun dalam evolusi mahluk hidup tak dapat ditemukan mengapa
berawal dari satu gen. Ini semua persis seperti prinsip filsafat untuk
mengantisipasi sirkularitas gagasan yang membuat semuanya menjadi sia-sia. Maka,
menjawab pertanyaan diawal generalisasi sains tidak bertentangan dengan prinsip
filsafat dan prisip filsafat sama sekali tidak membunuh sains.
Dengan
demikian poin dari tulisan ini adalah sangat sederhana, yaitu, mohon maaf
sebelumnya, bahwa belajar filsafat harus dilengkapi dengan sains, begitu juga
sebaliknya belajar sains harus dilengkapi dengan filsafat. Itulah tiket
traveling pulang-pergi yang harus kita beli dengan uang, tenaga, dan waktu yang
kita punya agar menjadi orang yang sehat secara nalar. Itu..!!
[1] Steven Hawking.(2018). A
Brief History of Time. Diterjemahkan Zia Anshor. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama., hal 58-59
[2] Steven Hawking.(2018). A
Brief History of Time.,hal 92-95
0 Komentar