Oleh:
Herlianto A
Sumber: mybllshtprspctv.blogspot.com |
Mazhabkepanjen.com - Penemuan
terbesar manusia, menurut Yuval Noah Harari dalam “Sapiens”, bukanlah pesawat
terbang, teknologi nuklir, smartphone,
facebook, youtube, bukan pula taktik politik membangun
negara melainkan penemuan akan kebodohan. Kesadaran akan ketidak-tahuan itulah
yang membuat manusia belajar terus menerus sejak zaman primitif hingga kini.
Mereka lalu berhasil mengeksplorasi nalarnya dan berupaya mengembangkan diri dengan
menemukan alat-alat yang dapat memudahkan hidupnya untuk menguasai bumi.
Kenyataan ini
yang dipraktikkan Sokrates, filosof Yunani terkemuka abad ke 4 SM, saat
mengajarkan filsafatnya. Guru Plato ini berkeliling telanjang kaki di sekitar
Athena untuk berdialog dengan ahli debat yang disebut kaum sofis.
Kaum ini
memiliki kemampuan retorika yang mapan dan hebat dalam mengolah bahasa
sedemikian rupa sehingga kebenaran menjadi sebatas proposisi-proposisi yang ada
sejauh diperjuangkan secara argumentatif-retoris, di luar itu tidak ada
kebenaran. Cara hidup ini menempatkan kaum sofis sebagai, skeptis, relativis,
sekaligus nihilis.
Para guru-guru
sofis, macam Protagoras, Gorgias, Hippias, dst. hadir membuka kelas retorika
untuk mendidik para anak muda yang akan maju dalam kontestasi politik atau menjadi
tim sukses, juru bicara parpol, dan pialang suara (vote). Kala itu,
Athena merupakan polis yang menganut demokrasi, yang mana kemampuan meyakinkan
rakyat sebagai pemilih merupakan modal utama yang harus dipersiapkan, bukan
uang. Sofis menerima calon politisi dengan biaya pendaftaran dan uang semester
yang sangat mahal, persis seperti kampus-kampus saat ini.
Sokrates
merasa jengah dengan jual-beli ilmu itu, kampus seperti perusahaan, ditambah lagi
para pelajar sofis yang begitu ugal-ugalan, dengan retorikanya, merasa paling
tahu. Mereka seolah pemilik segalanya di gelanggang politik sambil
mengkampanyekan dan menjual jargon “akal sehat”, seolah yang lain “dungu” dan
akalnya kudisan dan panuan.
Sokrates menemui mereka dan berdialog dengan
memproblematisasi prinsip-prinsip dasar proposisi yang mereka ciptakan. Dalam dialog-dialog itu, Sokrates berhasil
menunjukkan kedunguan sofis sebagaimana dicatat dalam buku-buku Plato, sofis selalu
gagal mempertahankan argumennya.
Tiap kali
sofis merasionalisasi suatu masalah seperti keadilan (dikaiosune),
kebajikan (sophia), persahabatan (philia), keutamaan (arete),
kemawasdirian (sophrosune), keberanian (andreia), dst., tiap kali
pula Sokrates memberikan serangan balik dan pertanyaan lanjutan yang tak bisa
dibantah. Debat berlangsung tak berkesudahan.
Mereka berdua selalu sampai pada
keadaan aporetik, yaitu tidak ada kesimpulan yang paten. Satu-satunya
kesimpulan yang dicapai adalah bahwa rupanya mereka berdua sama-sama tidak
tahu. Hal inilah yang kemudian didiktumkan oleh Sokrates bahwa satu-satunya
yang dia tahu adalah bahwa dirinya tidak tahu, yang kemudian menjadi prinsip
primer bagi kalangan filosof atau siapapun yang mencari atau bersahabat dengan
kebijaksanaan.
Nah, fenomena
demokrasi-elektoral Indonesia rasanya memiliki sudut kemiripan dengan Athena kala
itu sehingga juga memungkinkan munculnya kaum sofis yang sangat retoris. Tampak
misalnya diacara dialog televisi yang menghadirkan pengurus antar partai,
betapa para politisi itu melakukan akrobatik lidah dan mempermainkan bahasa,
pemandangan yang tak ditemukan di rezim diktator Suharto.
Para politisi itulah
para sofis nusantara, dan Rocky Gerung merupakan pelaku kuncinya. Gerung dalam
beberapa acara debat berhasil membolak-balik kata dan frase, sehingga seolah
itulah kebenaran. Dia beserta golongannya merasa sebagai yang tahu dan yang
lain adalah “dungu”, sayangnya sejauh ini belum ada lawan debat yang tepat
selain para politisi “ingusan” itu. Namun begitu, upaya menelanjangi
putusan-putusan Gerung bertebaran dijagad maya.
Menariknya, kaum
sofis ini memang berupaya mencitrakan diri netral, bahkan seolah akademis dan
ilmiah, dalam suatu pertarungan politik. Tetapi sebetulnya pada waktu yang sama
sedang mengarahkan keyakinan dan mata publik pada apa yang sofis inginkan dalam
suatu kontestasi perebutan kekuasaan. Sehingga para pendengarnya masuk dalam
gudang hegemoni tanpa sadar, dan itu sebetulnya target eksploitasinya. Sofis
juga mampu menjadikan politik sebagai arena penyatuan sekte atau pandangan yang
sebetulnya kontradiktif.
Kita lihat
saja misalnya, Gerung dielu-elukan oleh golongan jidad hitam bin celana
cingkrang yang mana mereka, sebetulnya, adalah kalangan dogmatis terhadap agama,
tekstualis, dan ekslusif atas tafsirnya. Sementara, disisi lain, berada secara
diametral, Gerung sangat skeptis, relativitis dan cenderung nihilis.
Posisi ini
misalnya dibuktikan dengan ungkapan-ungkapannya yang mengatakan bahwa Tuhan
menciptakan manusia sehari setelah buku “The Origin of Species” karya Charles
Darwin (tokoh evolusionisme) diterbitkan. Lalu menyatakan agama adalah aturan
bagi mereka yang menempuh jalan irasional, dan bahwa kitab suci adalah fiksi.
Secara epistemik,
antara skeptisisme tau nihilisme terbilang mustahil dipertemukan secara vis
a vis dengan dogmatisme dalam satu arena “akal sehat”. Dogmatisme menutup
segalanya karenanya akalnya tidak sehat sementara skeptisisme membuka
segalanya. Tetapi dalam politik dapat ditemukan, bahkan Gerung diberikan mimbar
bertausiyah tentang “akal sehat” dihadapan bani “pentol korek” sembari diiringi
pekik takbir.
Kemustahilan itu, direalisasikan dalam politik. Maka kemesraan itu
sama sekali tak bukan tentang “akal sehat” dalam arti epistemik, melainkan
kegilaan dalam term politik yang menggorok akal sehat. Kita kemudian
menyadari, pertemuan dua mazhab itu adalah suatu keacakan untuk kebutuhan
politik temporal yang bisa jadi besok atau lusa akan berpisah lagi.
Namun begitu, sofis
telah mengambil peran penting dalam tradisi sejarah filsfat. Di era Yunani
klasik mereka menjadi jembatan pergeseran corak filsafat kosmosentris menjadi
antroposentris. Filsafat yang pusat eksposisinya tentang semesta (kosmosentris)
yang membolak-balik soal anasir utama alam bergeser pada persoalan yang
berpusat pada manusia (antroposentris), lalu mengemuka kajian tentang politik,
negara, etika, ekonomi, matematika, biologi, astronomi, dst.
Begitu juga
dengan abad modern 15 M yang dipelopori oleh tokoh pentingnya Rene Descartes. Filsuf
kelahiran Prancis ini menganjurkan skeptisisme demi menuju kepastian yang
hakiki. Keraguan haruslah diletakkan sebagai papan tolakan sekaligus metode
untuk menyeleksi semua pengetahuan yang singgah dibenak manusia, lebih-lebih
yang ditanamkan secara tidak kritis bin dogmatis oleh lingkungan. Kepastian hanya
dapat diuji dengan keraguan, skeptis adalah jalan terang menuju kepastian.
Sekitar 400
tahun sebelum Descartes, Al Ghazali, pemikir Islam terkemuka, juga sempat
mengalami fase skeptis setelah mempelajari banyak pengetahuan. Dari sekian
pengetahuan yang didapat terasa masih belum meyakinkan, dia mengalami keraguan.
Tetapi kemudian dapat diatasi dan membawanya pada jalan sufistik. Pointnya
adalah betapa keraguan itu juga singgah dan memberikan arah kemudian. Skeptis
memang jalan akal sehat, tetapi rumah yang buruk untuk dihidupi.
Dengan
demikian, sofis berikut orang macam Gerung, tidak sepenuhnya keliru. Bisa jadi
mereka sedang berada pada fase yang semestinya yaitu keraguan untuk menyongsong
suatu kepastian. Secara lebih luas, cara-cara sofistik ini cukup ampuh untuk
membangkitkan semangat berfilsafat, bahwa yang kita tahu adalah kita tidak
tahu.
Suatu semangat yang menyadari akan kebodohan. Alain Badiou, pemikir
Prancis kontemporer dalam “Conditions” terang-terangan menyatakan bahwa untuk
membangkit girah filsafat dibutuhkan sofis-sofis baru.
Saya pun, yang
menulis artikel ini, juga bisa jadi sedang berdiri diatas argumen-argumen dan
pengetahuan yang sangat rapuh dan memerlukan cara-cara sofis untuk
menguatkannya. Jika Anda saat ini merasa paling tahu, maka itulah kebodohan
yang sesungguhnya.
0 Komentar