Oleh:
Herlianto A
Sumber: thegorbalsla.com |
Aristoteles,
filosof Yunani terkemuka, menulis buku “Poetics” membahas tentang persyairan (poetry)
atau puitika. Persyairan, menurutnya, memiliki beberapa bentuk yang berbeda di
antaranya, epik, tragedi, komedi, puji-pujian (dithyrambic), musik dan
puisi (poem) itu sendiri.
Walaupun di antara aneka bentuk ini memiliki
alat, objek dan cara yang berbeda tetapi semuanya merupakan satu upaya manusia yang
sama yaitu untuk mengungkap, mengimitasi atau menggambarkan realitas.
Secara
spesifik, bila musik mengimitasi realitas dengan bunyi, nada-nada atau suara,
maka puisi mengungkap realitas dengan ritme atau harmoni dan kata-kata dalam
bahasa tertentu. Hal ini puisi dekat dengan prosa, tetapi Aristoteles
membedakannya, karena prosa tidak berirama dan tidak memiliki “nama” (name)
dalam hal ini tidak simbolik. Karena itu, antara Homerus dan Empedokles
dibedakan, yang pertama adalah penyair (poet) yang kedua ahli fisika (physicist)
sekalipun sama menulis.
Lalu untuk apa
puisi? Rupanya dalam upaya menceritakan realitas, deskripsi dan narasi atau
bahkan metanarasi itu sendiri yang terhampar dalam lipatan kalimat, paragraf
hingga tumpukan buku tak mampu secara seutuhnya menangkap realitas. Selalu ada
yang tersisa yang tak bisa dinyatakan secara implisit melalui kalimat-kalimat
naratif.
Lalu kemudian,
puisi dengan kepadatan makna beserta jalur metaforiknya berupaya menangkap
realitas secara simbolik dan lebih memuaskan. Selalu ada ruang yang digelar
oleh puisi dimana realitas dapat dimasukkan secara lebih utuh dalam gambarannya.
Hal-hal sublim dan yang transendenpun mampu diejawantahkan dalam puisi.
Karena
itulah, para ahli-ahli sufi kenamaan mengelaborasi penjelasannya tentang
pencapaian akan realitas spritual melalui puisi. Sebut saja misalnya,
Jalaluddin Rumi dalam “Fihi Ma Fihi”, “Semesta Masnawi” dst., Ibn Athaillah
Assakandari melalui “Al Hikam”, Abdurrahmman Jami’ melalui puitika kisah-kisah
Yusuf dan Zulaikha, dan beberapa penyair sufistik lainnya. Pada sirkuit puisilah
para arifin tersebut bermanuver menyampaikan segala yang sublim dan
ekstasi-ekstsi yang dialaminya.
Bahkan
semistik dan semisterius cinta pun, di mana kadang upaya deskriptif bertekuk
lutut tak kuasa untuk menggambarkannya, tetapi puisi hadir untuk mengimitasi
suatu enigma bernama cinta itu. Itulah yang kita baca dan temukan dalam
bait-bait Kahlil Gibran, dalam kisah Romeo dan Juliet, serta Laila dan Majnun.
Lebih
jauh dari itu, bahasa perlawanan juga sering kali termanifestasi dalam puisi.
Masih terngiang jelas, bagaimana ritme dan sampiran-sampiran puisi Widji Tukul
menggentarkan Orde Baru, bagaimana perlawanan yang tak ternarasikan itu bisa terpuisikan
lalu membangkitkan jiwa-jiwa yang beku oleh otoritarianisme. Begiu juga dengan
karya mengguga lainnya macam Chairil Anwar, W.S. Rendra, Sapardi Jokodamono,
Gus Mus, Zawawi Imron, dst.
Dalam semangat
itulah, puisi yang ditulis oleh Ahmad Dahri atau akrab disapa “Lek Dah” yang
berjudul “Puisi Jalan Setapak” ini dihadirkan kepada para pembaca sekalian. Beliau
adalah sosok santri sekaligus “guru”–tentu
saja bagi para mahasiswanya–yang
tekun merangkai kata demi kata untuk memotret segala realitas sederhana tetapi
tak banyak disingkap atau bahkan sudah disingkap tetapi tak sepenuhnya
tersingkap.
Dengan paras melankolis dan sedikit sanguinis–menurut saya–Lek Dah berhasil
mencitrakan realitas disekelilingnya dengan cermat. Hal ini terlihat dari
beberapa lokasi di mana puisi-puisi itu ditulis, artinya pada setiap apa yang
diamati olehnya seketika diperas dalam frase-frase puitik.
Para guru,
petani, para ibu, dan jiwa-jiwa yang resah pada keluarga, hati yang gulana
karena kecemasan cinta, dan nurani yang jumud karena iri dengki dan sejumlah prahara
tentang kerinduan adalah realitas-realitas yang ingin diungkap dalam antologi
puisi ini.
Semua tema itu sebetulnya merupakan hal-hal yang menubuh pada setiap
diri manusia, tetapi tak semua orang dapat menyingkapnya. Segala rupa penyingkapan
akan diri membutuhkan refleksi yang tekun dan gigih, perlu melakukan “i’tikaf” yang
panjang pada waktu-waktu tertentu, bahkan munajat di sepertiga malam. Sosok
sekaligus kawan seperjuangan ini, telah merelakan waktunya untuk itu semua, dan
buku inilah hasilnya.
Dengan
demikian, karena puisi termasuk salah satu upaya mengungkap realitas maka
berpuisi adalah proses epistemologis. Suatu pencarian akan pengetahuan yang
muaranya tentu saja adalah kebenaran. Maka tak heran, bila filsuf kenamaan
Prancis, Alain Badiou, dalam bukunya “Conditions” menyinggung soal pentingnya
puisi dalam penulisan traktat-traktat filsafat.
Filsafat jangan disempitkan
dengan narasi ilmiah semata–yang
mendaku sebagaimana cermin menangkap bentuk benda dihadapannya–tetapi perlu diperlebar
medan narasinya ke dalam sastra (literature) termasuk puisi. Karena
itulah, filsafat Prancis memiliki corak menyastra.
Akhirnya,
membaca antologi ini adalah satu upaya untuk memahami diri sendiri melalui apa
yang direfleksikan oleh Lek Dah. Tentu saja ruang tafsir atas makna pada setiap
puisi akan berpulang bukan pada penulisnya, tetapi pada penafsir atau pembaca itu
sendiri. Bila Anda tidak percaya dengan ini, silahkan mendayung pada bait demi
bait dalam buku ini, maka Anda akan mendapati diri tenggelam dalam ektasi.
0 Comments