Oleh: Herlianto. A
Sumber: pixabay.com |
Mazhabkepanjen.com - Menyebut bahwa mie instan dapat mengatasi kelaparan tanpa masalah rasanya
tidak terlalu berlebihan. Pasalnya, saat kantong menipis makanan ini termasuk
yang paling mengerti keadaan keuangan, harganya tidak mahal tetapi cukup untuk
mengisi perut. Di saat-saat terdesak juga acap kali menjadi alternatif yang
menyenangka.
Lauk makan habis, diganti mie instan tanpa mengurangi selera makan.
Saat hujan melanda sepanjang hari dan malas keluar rumah atau kamar untuk beli
makan, maka ia itupun kembali menjadi solusi. Para perantau dan anak kos-kosan
sangat menggandrungi yang satu ini karena kepraktisannya. Ketika bencana
melanda negeri, berkardus-kardus mie instan dapat dilempar begitu saja dari
udara kepada para pengungsi sebagai pengganti makan sementara.
Dengan kelebihan itu, alhasil, penikmatnya dari semua kalangan,
anak-anak hingga dewasa. Bahkan mungkin, dugaan saya ini ya, pak
presiden berikut para menteri dan ajudannya pernah makan mie instan. Para artis
yang cantik-cantik dan ganteng-ganteng itu “kayaknya” juga menikmatinya.
Bagiamana dengan para alim ulama dan ustad? Barangkali mencicipi juga, tapi
mungkin sedikit soalnya mereka paham hadist nabi bahwa “makanlah sebelum lapar
dan berhentilah sebelum kenyang”.
Ya, kalau begitu dosen, kajur, rektor dan wareknya juga makan donk.
Wartwan? Apalagi. Dan, saya yakin para pembaca sekalian juga penikmat
mie instan. Iya kan? Tak terkecuali para mahasiswa–mohon maaf tanpa
mengurangi rasa hormat mereka sebagai agent of change, agent of
intellectual dan agent of social control–adalah penikmat makanan
instan ini. Umumnya, mereka sangat akrab dengan mie instan terutama di akhir bulan yang biasanya
diakhiri dengan membakar sebatang rokok.
Kadang kalau kepepet banget di makan tanpa direbus, cukup remet-remet
sampai remuk, ditaburkan bumbu lalu dimakan. Rupanya, cara ini tidak kalah
nikmatnya. Begitulah arti penting mie instan bagi para anak-anak bangsa.
Namun, pertanyaannya adakah yang mencoba menyadari berapa
kandungan nilai gizi mie instan? Berapa kandungan kalori, garam, gula,
kolesterol, hingga masa rentang kedaluarsanya? Rasanya jarang yang sampai pada
kesadaran itu. Sejauh ini, kita
begitu saja merebus dan menyantapnya begitu bumbu merata karena tak tahan
aroma yang begitu menggoda. Terlepas dari itu, memang kita termasuk golongan
yang tidak terlalu peduli dengan kandungan gizi bahkan pada semua
jenis makanan. Padahal informasi itu penting buat kesehatan tubuh yang
mengkonsumsinya.
Konon restauran-restauran di Jepang setiap menu yang disediakan harus
dilengkapi dengan informasi nilai gizi, mulai dari kadar gula, kalori, hingga
vitamin yang ada. Jadi selain daftar menu berikut harganya, ada display lain tentang nilai gizi. Hal ini memberikan informasi kepada pembeli, karena setiap
pembeli terlebih dahulu memememeriksa kandungannya baru kemudian memesan
makanan sesuai dengan kebutuhan tubuh. Pelanggan penderita diabet akan
memilih makanan dengan kadar gula rendah. Pekerja keras memilih makanan berkalori agak tinggi karena
membutuhkan lebih banyak kalori.
Suatu cara hidup berbeda dengan yang kita alami. Jepang memiliki
budaya menggunakan pengetahuan untuk dipraktikkan dalam mencapai hidup
sehat dan terhormat. Memang idealnya, pola hidup yang sehat adalah bukan sebanyak-banyaknya
memasukkan makanan ke dalam perut tetapi menyesuaikan dengan apa yang menjadi
kebutuhan tubuh. Kita tentu saja punya konsep tentang itu, namun kadang daya lapar
mengalahkan apa saja termasuk kesadaran itu sendiri. Makanya Karl Marx berpesan kepada para aktivis dan pejuang rakyat: jangan lupa makan sebelum aksi, karena
khawatir, jika lapar, aksinya dijual untuk makan.
Prinsip memeriksa makanan ini, persis seperti ajaran filsafat yang
pernah diajarkan oleh Sokrates, mbahnya para filosof dunia yang hidup di
Yunani abad ke 6 SM. Dia bilang bahwa seharusnya kehidupan diperiksa sebelum
dihidupi. Hidup yang baik tidak serta-merta dan ugal-ugalan, melainkan
dilandasi kesadaran dengan memeriksa segala sesuatunya sebelum dijalani.
Hidup yang tidak diperiksa tidak layak untuk dihidupi.
Pentingnya memeriksa kehidupan yang akan dan sedang dijalani ini
sangat terasa ketika kita melihat tokoh-tokoh hebat tetapi seketika berubah
menjadi buronan KPK karena korupsi. Ada berapa banyak para profesor, doktor,
dan akademisi terpaksa masuk jeruji besi. Mereka punya pengetahuan tentang
kehidupan yang baik dan benar, memahami konsep-konsep agama dan moral
sekaligus. Tetapi lupa tidak memeriksa kehidupan yang dijalani sendiri. Tidak
menyadari bahwa mengetahui kebaikan dan kebenaran tidak otomatis tindakannya menjadi baik
dan benar dengan sendirinya. Konsep-konsep itu harus dipraktikkan. Mereka baru
menyadari setelah segalanya terlambat, setelah aparat menciduk melalui operasi
tangkap basah, setelah polisi memborgol kedua tangannya.
Bahkan mengerikannya lagi yang berlabel ustad dan “ulama” juga
turut dalam kekeliruan lantaran tak membiasakan diri memeriksa sebelum
bertindak. Sudah berdaster dan bersurban, eh giliran bedain kafir
dan kuffar linglung bin malu-maluin. Jidad sudah hitam dikit-dikit
memekik takbir, eh giliran mentasrif kata kafir kocar-kacir dan nglindur.
Jenggot tebal, kesana kemari teriaknya bela agama, nyebut-nyebut negera lewat
undang-undang melegalkan zina dan membagi-bagikan kondom. Hemm sebagian
penikmatnya sudah kadung senang. Dilalah begitu dicek rupanya itu pasal setan
alias gaib alias tidak ada.
Seorang perempuan paruh baya, sedang berupaya memudakan wajahnya
dengan operasi plastik. Mukanya lalu bengkak tetapi bilang habis digebukin, eh
malah langsung konferensi press dan ngoceh di medsos mendukung bahwa memang ada
penganiayaan. Untungnya tak lama kemudian fiksi dan teaterikal yang dikira
fakta dan realitas itu terungkap dustanya. Dan, kita semua belajar banyak dari peristiwa
itu.
Rupanya kita belum terbiasa memeriksa apa yang akan dilakukan, dan
terbiasa megandalkan isu-isu dan emosi yang meledak-ledak. Mungkin ini dampak
dari sering makan mie instan yang sudah kedaluarsa, karena kita tidak teliti
memeriksa sebelum merebus.
Dengan demikian, memeriksa mie instan yang hendak kita makan adalah
cara paling sederhana untuk mulai membudayakan memeriksa kehidupan sebelum
dijalani, dan sekaligus menjadi modal awal untuk berfilsafat. Yang mana salah
tahu prinsip dasar dalam berfilsafat adalah bukan menghafal nama-nama
filosof dari era kosmosentris, teosentris, logosentris hingga posmodernisme
ini. Melainkan seberapa pandai memeriksa kehidupan ini.
Menghafal tokoh itu "mungkin" dibutuhkan, tetapi bagi filsafat bukanlah suatu
kemutlakan karena apa yang dinyatakan oleh para filosof itupun masih perlu
diperiksa, dipertanyakan, atau setidaknya dikontekstualisasikan. Membiasakan diri memeriksa hidup yang dihidupi
itu sendiri adalah yang ultimate atau mendasar dalam filsafat.
Memastikan kebenaran dan fakta secara langsung bukan membenarkan
kabar burung apalagi soal hoax murahan yang beredar jelang pilres 2019
ini. Filsafat menyediakn perangkat-perangkat bagaimana kita dapat memerikasa
hidup ini dengan unik, menarik, dan penting. Mari kita gandrungi filsafat ini seperti menyendok mie dan nyeruput
kuahnya agar terus terasa lezat.
2 Komentar
mantap jiwa raga..
BalasHapusheheh... suwun sudah mampir...
Hapus