Oleh:
Herlianto A
Sumber: thefunambulist.net |
Seberapa
bermakna ngopi itu bergantung pada tujuan dan apa yang dilakukan saat ngopi. Bagi
seorang pekerja (profesional) yang jadwal kerjanya padat setiap minggunya,
ngopi menjadi semacam piknik kecil-kecilan untuk menghapus segala penat dan
suntuknya suasana karena kesibukan. Mereka lalu lebih cenderung ngobrol ringan-ringan
penuh humor agar muncul tawa, syaraf-syaraf otak melonggar dan lentur kembali.
Isu-isu politik, bisnis, wisata disinggung bagian-bagian yang humoriknya saja.
Suatu
pertemanan juga dapat diikat di warung kopi. Teman lama yang baru ngechat
digiring ke warung kopi agar lebih lepas membincang pengalaman masing-masing
dan tentu saja masa lalu. Apa yang pernah terjadi baik yang menyenangkan pun
yang menyedihkan semuanya menjadi menggembirakan dan dibanggakan termasuk
kenakalan, kecurangan, dst. Inilah suatu style ngopi di perkotaan saat
ini.
Dilihat dari
sejarahnya, ngopi memang mengalami perkembangan dan perluasan yang begitu
mengagumkan. Warung kopi bukan lagi semata entitas kultural tetapi lebih kepada
“komoditas kultural”, atau dalam bahasa Teodor Adorno industri budaya. Ia
menjadi bisnis menjanjikan seiring meningkatnya minat ngopi di kalangan
masyarakat dan anak-anak milenial. Dari sisi tempat juga dimodernisir menjadi
“cafe” mengadopsi bahasa Inggris, ketimbang nyebut “warung kopi”.
Desain cafe
dikemas semenarik mungkin, agar memberikan makna dan prestis bagi pelanggannya. Artinya, selain kopi ada suasana yang juga
ingin dijual. Alhasil, ngopi menjadi suatu bentuk habitus dan lifestyle
yang menandakan kelas-kelas tertentu. Muncul sebutan café elit dan café biasa,
perbedaannya bagi pelanggan hanyalah soal tebalnya uang yang mesti dibayarkan.
Lalu apa
hubungannya dengan mendaras filsafat? Mendaras filsafat sambil ngopi bisa
menjadi satu alternatif tujuan dari sekian tujuan yang ada. Filsafat sama
sekali tidak ribet, ia begitu sederhana, tidak membutuhkan laptop, proyektor,
dan ruangan yang ber-AC untuk memulainya. Kita hanya cukup memikirkan ulang (rethinking)
apa yang ada dan mungkin ada. Jika hidup kita dililit hutang, pikirkanlah
mengapa ada hutang, konon negara-negara di dunia semuanya raja hutang, para
pengusaha juga banyak yang berhutang. Tetapi mengapa hanya kita yang resah dan
begitu psimis? Apakah yang bikin resah itu adalah hutang atau kecemasan kita
pada hutang?
Dua paradigma
yang berbeda. Menyelesaikan hutang tidak lantas menyelesaikan kecemasan kita
akan hutang. Karena masih ada kemungkinan untuk berhutang di waktu yang lain
bahkan bisa lebih besar lagi hutangnya. Tetapi mengentaskan kecemasan kita pada
hutang membuat kita lebih stabil dalam menyelesaikan setiap hutang yang ada.
Jika kita selalu
gagal, mau nikah gagal karena ditelikung teman, kuliah di DO karena melebihi 14
semester, bisnis gagal kalah modal, nyalon DPR juga gagal di serangan fajar,
dan ribuan kegagalan lainnya. Coba pikirkan ulang, mengapa kegagalan ini membuat
kita putus asa sementara sebagian yang lain semakin bersemangat, pantang
menyerah. Apa bedanya kita dengan mereka? Apakah ini hanya soal perbedaan sikap
mental dalam menghadapi kegagalan? Atau memang ketakutan (fear) untuk
menderita yang mendera dari dalam diri? Tapi percayalah bahwa ketakutan akan
penderitaan adalah penderitaan yang sesungguhnya. Jadi yang perlu dilawan
adalah bukan penderitaan tetapi “ketakutan akan penderitaan”.
Kita tak meski
kaku dan tegang memikirkan semua itu. Keseriusan memikirkan masalah tidak
identik dengan keformalan dan kebakuan. Kita bisa memikirkannya sambil ngopi,
sambil bercanda dan tertawa, membincangkannya dalam frame yang humorik. Kita mesti
mencairkan segala kemumetan dengan memikirkan ulang lalu menertawakannya. Cuma
kadang kala, kita butuh suasana sebagai “mood booster” atau penguat suasana
untuk merasa nyaman dalam berpikir. Untuk itu, jika “café” atau “warung kopi”
adalah kebutuhan untuk menggairahkan mood, maka silahkan datang ke sana.
Tinggal pilih apakah café biasa atau yang sudah berada dalam komuditas kultural
seperti yang dibliang Adorno.
Kemudahan
berfilsafat lainnya adalah kita hanya membutuhkan kemampuan untuk meragu (to
doubt) sebagai modal awal. Berbagai orijinalitas filsafat dapat diasalkan
dari keraguan. Meragu ini tidak mesti meragukan pemikiran alam Idea Plato,
tidak juga causa prima Aristoteles, apalagi roh Hegel, dialektika Marxis, akal-akil-ma’kul
Ibn Sina, iluminasi Suhrawardi, fundamentalitas wujud Mulla Shadra, dan
sejumlah gagasan besar lainnya. Namun, kita cukup meragukan apa yang kita
ketahui dan alami.
Kita hanya
perlu meragukan bahwa kita tidak bisa berfilsafat, bahwa filsafat itu rumit,
bahwa filsafat itu menyesatkan, bahwa filsafat itu tidak berguna, bahwa
filsafat itu mengawang, bahwa filsafat itu tak lagi dibutuhkan. Atau, kita meragukan
setiap informasi (berita) yang beredar di dunia virtual, meragukan video yang
viral, dst. Lalu apa dampak dari keraguan ini? Paling tidak keraguan mendorong
kita untuk menguji yang kita ketahui lalu memeriksa segala pengetahuan satu
persatu dan menyimpan yang benar dan membuang yang tidak benar. Begitulah yang
dicontohkan Rene Descartes, filosof pembuka abad modern yang kemudian mengubah
cara pandang dunia.
Jadi filsafat
bukanlah berebut sebagai pemilik “akal sehat” yang sah, klasifikasi bukan akal
saya sehat dan akal mereka tidak sehat–ini
kebutuhan politik saja–karena
yang penting bukan seberapa sehat akal yang kita miliki tetapi bagaimana kita
dapat menggunakan akal (rasio) dengan baik. Memfungsikan akal
sebagaimana mestinya, yaitu menguji segala yang ada untuk mencapai satu yaitu
kepastian. Jadi akal sehat bukanlah klaim melainkan suatu proses perpikir yang
terbebas dari klaim itu sendiri.
Begitulah
betapa sederhananya memulai berfilsafat. Sekali lagi, berfilsafat tidak identik
bernuansa akademis karena segala sesuatunya mesti diuji dengan memikirkannya
kembali atau meragukannya termasuk apa yang ada di ruang akademis. Lebih-lebih,
memang sejak mula filsafat itu tidak terlalu cocok di panggung akademis,
apalagi di ruang berAC. Akademis justru terlalu membatasi keluasan filsafat itu
sendiri karena harus melayani kebutuhan kerja.
Dengan
demikian, filsafat perlu diturunkan ke lokus atau tempat yang tak tersekat oleh
tembok beku akademis. Ia mesti berada di ruang yang terbebas dari
formalitas-formalitas yang justru menghambat progresifitas filsafat. Sejauh
ini, ngopi adalah aktivitas paling bebas–dalam
arti pembicaraan–dan
nyaman maka tak ada salahnya jika sembari berfilsafat dari hal yang paling
sederhana yaitu diri kita sendiri. Angkat gelasnya, mari bersulang sodara!
0 Komentar