Oleh:
Herlianto A
Sumber: pixabay.com |
Ada yang belum
menikah? Kalau belum, kemungkinannya ada tiga: tidak laku, ditinggal nikah,
atau memang ingin melajang semur hidup. Silahkan pilih yang cocok buat Anda,
kalau saya secara pribadi tidak memilih ketiga-tiganya, sorry to say. Bagi
yang sudah menikah, “mungkin” Anda termasuk yang beruntung tapi bisa juga yang buntung
tergantung kondisinya, silahkan dievaluasi sendiri rumah tangganya. Namun
begitu, saya menganggap kita semua memahami soal pernikahan paling tidak
prosesinya. Jadi jangan khawatir ini bukan bab 18 plus.
Baiklah,
bagaimana menikah itu seperti bahasa? Mulanya, setiap adat memiliki prosesi
pernikahan yang berbeda, adat Madura berbeda dengan Bugis, Jawa, Sunda, Batak
dst. Sebagai kasus kita sedikit review prosesi pernikahan di masyarakat
Masalembu (pulau terluar Jawa Timur). Di salah satu pulau Madura ini, pernikahan
diawali tan-pēntan
yaitu pihak laki-laki melamar perempuan untuk bertunangan yang ditandai dengan
penyerahan cincin pada pihak perempuan.
Setelah itu,
perwakilan kedua belah pihak berembuk menentukan kesepakatan besarnya sundrang
yaitu sejumlah uang yang harus dibayar laki-laki pada perempuan pada saat akad nikah.
Dalam tradisi Bugis disebut uang panaik. Besarnya bergantung pada
tingkat kelas sosial, pendidikan, dan kecantikan si perempuan. Jika berasal
dari kelas sosial mapan, pendidikan tinggi, lalu cantik pula dipastikan
perempuan jenis ini sundrang-nya mahal, nilainya hingga puluhan juta
rupiah. Setelah sundrang deal, menentukan tanggal pernikahan, baru
kemudian ijab qabul bisa dilakukan.
Sebelum akad,
ada prosesi iring-iringan manten laki-laki menuju rumah perempuan, membawa
sejumlah barang lamaran seperti aneka makanan, beras, ayam, dst. Pengantin pria
dirias bak sang raja dengan segala pernak perniknya, sementara pengantin
perempuan laksana permaisuri. Mereka kemudian dipertemukan dihadapan penghulu,
ditonton sanak famili. Setelah akad selesai, sah lah pernikahan itu. Para
tetangga dan kerabat dekat berdatangan untuk menyatakan “samawa” dan “selamat
menempuh hidup baru”.
Lalu mana
bahasanya? Untuk menjelaskan ini, kita akan masuk ke dalam prinsip-prinsip bahasa
dalam pandangan strukturalisme. Ferdinand de Saussure, tokoh utama linguistik strukturalisme, menjelaskan beberapa prinsip
bahasa dalam bukunya Course in General Linguistics yang disusun oleh dua
muridnya Bally dan Schehaye. Pertama, bahasa dapat dipilah pada langue dan parole.
Sederhannya, langue adalah gramatika yang statis, konstruktif, dan tidak
empiris. Sementara parole adalah aneka rupa ujaran yang dinamis, individual
dan empiris. Artinya, bahasa memiliki strukturnya yang tetap dan fenomenanya
yang berubah.
Kalau ditarik
tradisi pernikahan tadi, maka rangkaian dari tan-pēntan, soal penentuan
sundrang hingga ijab qabul adalah langue yang pakem.
Sementara bagaimana modelnya dari setiap tahapan itu adalah parole yang
dapat berubah. Tan-pēntan
bisa dilakukan dengan berbagai ragam model bisa diselenggarakan di rumah atau
di masjid, bisa sembari membawa jajan bisa juga tidak, sundrang juga
bisa macam-macam besarannya atau bahkan bentuknya tidak harus uang, bisa emas.
Begitu juga ijab qabul bisa di masjid, KUA, bisa wakilkan atau
dinikahkan sendiri oleh orang tuanya memepelai perempuan.
Kedua,
prinsip pertandaan (signification) bahwa bahasa, menurut de Saussure,
yang unit terkecilnya adalah kata merupakan persoalan tanda (sign) yang
tersusun dari penanda (signifier) dan tinanda (signified).
Misalnya kata (tulis/lisan) pohon sebagai penanda dengan tinandanya
berupa akar, batang, ranting dst. Jadi pohon sebagai citra akustik (accoustic
image) dan konsep mental segunduk pohon yang terdiri dari akar, ranting
dst, sebagai reference atau tinanda. Gambaran yang diberikan oleh Nasr Hamid
Abu Zaid dalam buku “Teks Otoritas Kebenaran” sangat cocok untuk ini:
Menariknya, hubungan antara penanda dan
tinanda bersifat arbitrer, sewenang-wenang atau persisnya mana suka. Artinya, hubungan
kata pohon dengan konsep akar, ranting, daun dst bukanlah hubungan
mutlak melainkan berdasarkan kesepakatan atau konvensi. Jadi hidung disebut hidung
karena kesepakatan, begitu juga dengan nama-nama benda yang lain.
Dengan prinsip ini, maka tan-pēntan dan sundrang
adalah sebatas kesepatakan dalam suatu komunitas sosial di masyarakat Masalembu.
Dalam adat atau tradisi yang lain bisa jadi tidak ada. Misalnya dalam tradisi
Jawa tidak mengenal sundrang. Begitu juga proses simbolisasi pakaian
yang dipakai para pegantin saat ijab qabul, tidak ada kemutlakan. Masing-masing
tradisi memiliki ke khasannya masing-masing dalam mengekspresikan kejantanan
dan kebetinaan dalam proses pernikahan.
Ketiga, prinsip sintagmatik dan paradigmatik. Sintagmatik berarti
ketersusunan atau ada urutan-urutan. Dalam bahasa berarti rangkaian unit bahasa
yang tidak ngawur sehingga dapat dipahami maknanya sesuai dengan kaidah bahasa
yang berlaku. Misalnya kalimat: aku
pergi ke Surabaya dengan temanku. Unit-unit bahasa pada kalimat itu tidak
bisa dibolak balik karena tidak akan dipahami maknanya. Jadi sintagmatik bersifat
diakronis atau horisotal. Adapun paradigmatik bersifat vertika atau sinkronis.
Pada contoh kalimat yang dikemukanan tadi, misalnya kata “pergi” dapat diganti
dengan berbagai kata lain seperti “berangkat”, “menuju”, “ngebis” dst yang
masih memiliki makna yang sama.
Jadi, secara sintagmatik proses pernikahan
tidak bisa dibolak balik, tidak bisa ijab qabul duluan baru membicarakan
sundrang, dan tan-pēntan. Urutan itu tetap menjadi suatu pakem yang
harus diikuti oleh semua masyarakat Masalembu dari tan-pēntan, penentuan sundrang,
baru ijab qabul . Sementara secara paradigmatik setiap tahap itu dapat
diganti dengan piranti lain. Misalnya, sundrang yang biasanya berupa
sejumlah uang dapat diganti dengan emas, mobil, rumah, dst.
Keempat,
persoalan relasi dan isi (makna) bahasa. Untuk penjelasan ini, de Saussure
menggunakan analogi permainan catur. Pada saat bermain catur, katakanlah
kudanya hilang, kita dapat menggantinya dengan kepingan batu. Pertanyaannya,
bagaimana batu dapat berperan sebagaimana kuda dalam permainan catur itu
padahal batu bukanlah kuda? Di sinilah relasi menjadi penting, artinya batu
dapat berperan sebagai kuda hanya karena relasinya dengan yang lain dengan
papan catur, pion, raja, ster, benteng, dst. Ketika batu diangkat dari papan
catur maka ia tidak lagi memiliki makna apa-apa. Jadi yang menentukan isi atau
makna adalah relasi itu sendiri.
Dalam proses
pernikahan itu, dapat kita tilik misalnya pakaian yang digunakan oleh kedua
pengantin menjadi bermakna dan terlihat gagah serta kemayu saat ijab qabul.
Tetapi tak akan bermakna ketika ke pasar sapi mengenakan pakaian pengantin.
Malah, dianggap tidak waras oleh para penjual dan hanya membuat sapi ketakutan.
Begitu juga dengan cincin yang diberikan saat tan-pēntan menjadi
bermakna sebagai suatu ikatan cinta yang berarti keluarga perempuan tidak boleh
menerima laki-laki lain. Berbeda dengan jika hanya memberikan cincin pada momen
valentine’s day.
Demikianlah
paradigma struktulisme bahasa menjelaskan fenomena tradisi dan kebiasaan.
Artinya selalu ada struktur dalam kehidupan sosial manusia yang mewujud dalam
adat-adat dan kebudayaan tertentu. Yang mana struktur ini diyakini sebagai yang
objektif dari suatu peristiwa sosial, yang diyakini tak terpengaruh oleh
hal-hal eksternal macam ideologi, politik, dan agama. Artinya apapun agama dan
ideologinya kalau nikah di Masalembu tetaplah ada tan-pēntan, sundrang,
dan ijab qabul. Karena itulah penelitian-penelitian sosial mencoba
mengadopsi prinsip-prinsip linguistik dalam
mengungkap objektivitas yang dicari. Kita dapat mengganti kasus pernikahan ini
dengan berbagai macam fenomena sosial.
Linguistik
strukturalis ini juga dikembangkan oleh beberapa pemikir lainnya, seperti Roman
Jakobson yang mencoba merevisi unsur terkecil bahasa yang sebelumnya ditemukan
oleh de Saussure. Bila de Saussure menyatakan unsur terkecil bahasa adalah
kata, maka bagi Jakobson fonem atau unit
bunyi terkecil yang membedakan arti sebagai unsur terkecil bahasa. Misalnya pasar
akan berubah makna ketika bunyi “a” terkahir diganti “i” akan menjadi pasir.
Dalam bahasa Inggris juga demikian, misalnya book beda makna dengan books.
Dengan ini, tanda
(sign) bukanlah kata melainkan fonem itu sendiri. Tetapi fonem yang satu
dengan fonem yang lain misalnya antara /p/-/b/, /c/-/j/,/k/-/g/, /t/-/d/, dst. dapat
dibedakan karena relasinya dengan fonem-fonem yang lain. Pandangan ini yang
membuat Jakobson masih masuk strukturalisme. Menariknya, fonem bersifat
sistemik dan tanpa disadari oleh pengujarnya pada saat berbahasa. Artinya
bahasa adalah peristiwa nonrefleksi. Saat bicara tidak perlu berpikir akan
meggunakan bunyi yang mana, palatal, bilabial, alveolar, dst.
Begitupun
dengan fenomena kebudayaan, masyarakat yang menjalankan suatu kebudayaan tidak
akan mempertanyakan mengapa harus ada sundrang, mengapa harus ada
pengantin dengan segala macam pakaian yang rumit. Padahal intinya hanya ijab
qabul agar laki-laki dan perempuan boleh dan halal masuk kamar bersama,
matikan lampu, lalu membunuh orang kafir.
Sumbangan
lainnya datang dari Noam Chomsky, linguis yang belakangan berkiprah dalam
bidang politik. Setidaknya, dua buku pentingnya Syntactic Struture dan Aspects
of Theory of Syntax yang membahas tentang apa yang dikenal Tranformational
Grammar. Bahwa struktur atau gramatika bahasa itu bersifat tranformatif tidak
dipengaruhi oleh faktor-faktor historis-sosial.
Katakanlah
dalam bahasa Indonesia ada kalimat: aku pergi ke kota, dalam bahasa
Inggris: I go to the town. Dalam bahasa Belanda: Ik ga naar de stad.
Tiga bahasa ini memiliki struktur yang sama yaitu S+V, tetapi bukan berarti
secara historis bahasa Inggris lebih dulu dari bahasa Indonesia, atau bahasa
Belanda yang mempengaruhi struktur bahasa Indonesia. Tidak demikian. Hal itu hanyalah
persoalan transformasi yang mana dapat saling menggantikan antar bahasa. Jadi
tranformasi bukanlah perubahan (change) yang merentang dari satu ke
waktu lain. Transformasi adalah ke-dapat-saling-menggantian.
Kasus lain
misalnya, dalam bahasa Indonesia saat kita pergi ke warung makan menyatakan: buk,
saya beli nasi pakai lauk ayam. Kalimat
ini dapat ditransformasi menjadi: saya nasi pakai ayam. Atau diperpendek
lagi menjadi: saya ayam. Meskipun terjadi transformasi ini tetapi
maknanya tetap dipahami oleh si penjual nasi. Ini terjadi karena antara pembeli
dan penjual berbagi satu struktur bahasa yang sama yang kemudian disebut deep
structure.
Begitu pula
dengan pernikahan, apabila terjadi urutan-ururan yang sama misalnya pernikahan
di benua Eropa sama dengan di Masalembu diawali dengan pertunangan, lalu ada
ijab qabul dengan pakaian pengantin tertentu. Itu bukan berarti tradisi pernikahan
di Masalembu dipengaruhi oleh orang-orang Eropa, tetapi itu hanyalah persoalan
transformasi.
Demikianlah,
studi bahasa memberikan sumbangsih penting bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial..
Walaupun paradigma struktural ini kemudian dikritik habis-habisan oleh
paradigma postmodernisme yang, konon katanya, anti strukrtur. Namun pada
batas-batas tertentu mereka tetap berupaya menyusun struktur bagi dirinya
sendiri. Akhirnya, jika Anda belum nikah segeralah mencari biar tidak hanya
mengerti tetapi menghayati makna struktur, namun ingat punya teman jangan disikat.
Cukup Syahrini saja
0 Komentar