Oleh:
Herlianto A
Sumber: anekdotnegeri.web.id |
Saya menyangka
pasca pencoblosan pemilu 17 April 2019 psikologi sosial masyarakat akan berada
pada emosi yang stabil, dengan damai bersama-sama menikmati menunggu hasil
perhitungan (real count) sambil ngopi dan jagongan.
Nyatanya tidak demikian, produksi hoaks semakin meningkat 40 persen menurut
laporan kepolisian. Quick count menjadi bara bagi klaim kemenangan yang
ditanggapi dengan sinis dan darah yang mendidih.
Entah, apakah
grafik emosi sosial ini berada diposisi ekuilibrium yang sebentar lagi akan menurun
dan mendingin, atau sebetulnya sedang menanjak. Jika masih akan menanjak, tak
bisa dibayangkan apa yang akan terjadi di puncak klimaksnya. Kegelisahan
lainnya, tentang identifikasi “Kampret” dan “Cebong” yang belum juga berakhir.
Akankah keduanya menjadi semacam totem yang selamanya akan membelah rasa
persaudaraan kita semua?
Baiklah, kita
akan sedikit bicarakan tentang totemisme kaitannya dengan “Kampret” dan
“Cebong”. Totemisme berasal dari ungkapan Ojibwa: ototeman (bahasa Algonquin
kawasan masyarakat Indian Amerika Utara) yang berarti “dia saudaraku”. Dari
ekspresi ini muncul kata totem dan menjadi totemisme. Adapun “dia” dalam dalam
ungkapan ototeman diidentifikasi sebagai hewan, tumbuhan, atau
benda-benda alam seperti matahari, bulan, bintang, dst.[1]
Penggunaan
istilah totemisme dalam ilmu sosial diperkenalkan Emile Durkheim dalam The
Elementary Forms of Religious Life. Temuan Durkheim ini didapat dari
etnografinya pada masyarakat Aborigin di Asutralia. Yang mana penduduk asli
negeri kanguru itu mengelompokkan diri berdasarkan rasa kebertaliannya dengan
hewan atau tumbuhan tertentu, misalnya berupa elang, kanguru, kaktus, dst.[2] Pertalian ini
persis seperti “Kampret” dan “Kebong”, meskipun awalnya untuk saling menghina
tetapi akhirnya menjadi identitas kelompok yang mengikat secara sosial. Jadi
totemisme adalah semacam histeria yang mempengaruhi seseorang untuk mengisolasi
diri pada suatu kelompok atau institusi tertentu.[3]
Tiga
Pandangan Totemisme
Para ahli ilmu
antropologi membicarakan totem ini ke dalam tiga pandangan yaitu mengaitkannya
dengan perkembagan kejiwaan, keagamaan, dan fungsi sosial. Pandangan pertama
dipengaruhi oleh pemikiran Sigmund Frued yang menulis Totem and Taboo,
bahwa totemisme adalah gejala kejiwaan anak-anak yang terjadi pada masyarakat
primitif. Artinya masyarakat yang menggunakan totem tertentu dianggap
kekanak-kanakan (childish).
Pandangan
kedua, melihat totemisme sebagai cerminan keagamaan yang dianggap paling dasar
dalam hirarki agama-agama yang ada. Dianggap bentuk agama yang paling dasar
karena masih memiliki ritual-ritual dan mitos-mitos. Memang dalam keagamaan
totemis tidak memiliki institusi-institusi keagamaan sebagaimana agama-agama
besar yang kita tahu saat ini, macam Islam, Hindu, Kristen, dst. Totemisme
tidak mengenal nabi, kitab-kitab suci, gereja ataupun pendeta. Pendeknya,
masyarakat totem dianggap tidak cukup rasional dalam beragama.
Sementara
pandangan ketiga menilai totemisme sebagai upaya adaptasi seorang individu
terhadap masyarakat atau kelompoknya, di mana di dalamnya terdapat
bentuk-bentuk larangan dan perintah yang mesti diptuhi dan diikuti. Misalnya
anggota masyarakat totem dilarang makan hewan atau tumbuhan tertentu. Jadi
totem berkaitan dengan tabu-tabu tertentu yang mesti dihindari oleh seorang individu
begitu menjadi anggota masyarakat totem. Kesamaan dari tiga pandangan ini
adalah melihat totemisme hanya terjadi pada masyarakat primitif saja yang
kemudian dibedakan dengan yang modern, baik secara psikologis, agama dan
tatanan sosial.
Totemisme
Sebagai Mode Klasifikasi
Dari tiga
pandangan yang ada ini, muncul Levi Strauss yang membawa cara baca berbeda.
Dalam buku Totemism, dia melihat bahwa totemisme tidak seperti yang
dijelaskan oleh tiga pandangan diatas. Totemisme adalah kemampuan manusia dalam mengklasifikasi (mode
of classification) selama menjalani hidup sosialnya. Di manapun manusia
berada akan melakukan klasifikasi tertentu, sekalipun itu tidak terlalu
berperan dalam kehidupan sehari-harinya. Misalnya, manusia memberikan
klasifikasi yang begitu rigid dalam membedakan penamaan pada tumbuhan.
Kasus lain, seorang
ahli mengklasifikasi mahluk hidup ke dalam spesies, genus, familia, ordo, dan
kingdom. Ahli biologi mengklasifikasi beragam jenis lumut, algae, gang-gang,
dst. Ahli kehutanan membadakan tumbuhan dalam jenis pohon, perdu, semak, dst.
Ahli zoologi memetakan hewan menjadi karnivora,
herbivora, dan omnivora. Klasifikasi ini mungkin bermanfaat bagi para ahli,
tetapi bagi masyarakat umum tidak terlalu penting. Untuk memanfaatkan algae,
semak, dan hewan manusia tidak perlu terlebih dahulu mempelajari klasifikasinya,
langsung saja pohon ditebang lalu dibuat rumah. Tetapi, nyatanya–dan ini yang kemudian
unik–manusia tetap
melakukan klasifikasi.
Dengan demikian,
jika kemampuan dasar manusia adalah mengklasifikasi dan itu adalah totemik,
maka berarti totemisme tidak hanya pada masyarakat primitif tetapi juga
masyarakat modern. Karena itu, orang-orang modern masih menggunakan emblem
tertentu sebagai identitas totemnya. Dalam hal ini, selain “Kampret” dan “Cebong”
misalnya ada “Cicak” versus “Buaya” yang melambangkan perseteruan KPK
dengan Polri. Beberapa institusi modern juga menggunakan totem, misalnya ada
pesawat “Lion”, “Singo Edan” untuk tim sepakbola Arema, “Beruang Madu” untuk tim
sepakbola Borneo, dll.
Hanya saja
bedanya, totemisme masyarakat modern terasa lebih longgar karena menggunakan
totem-totem tidak hanya yang konkrit bahkan yang abstrak, misalnya aneka
lambang angka-angka, atau lambang pada group band yang sangat abstrak berupa
oretan-oretan saja. Sementara masyarakat primitif menggunakan hal-hal konkrit
seperti hewan dan benda-benda sebagai totem, karenanya mereka lebih bersifat
metaforik ketimbang totem modern.
Dilihat dari
penjelasan ini peristiwa “Kampret” dan “Cebong” adalah peristiwa klasifikasi
biasa yang normal terjadi sebagai wujud dari hakikat dasar manusia dalam
mengklasifikasi. Dilihat dari coraknya “Kampret” dan “Cebong” termasuk yang
metaforik.
“Cebong”
dan “Kampret” Dilebur
Menariknya
secara struktural, Strauss menyatakan bahwa totem-totem itu memiliki makna justru karena relasinya dengan
beberapa totem yang lain bukan kediriannya. Tidak ada totem yang tunggal yang
dapat bermakna dengan sendiri. “Kampret” tidak berarti apa-apa tanpa kehadiran
“Cebong”, begitu juga “Cicak” dan “Buaya”, “Singo Edan”, “Beruang Madu” dst. Maka
sebetulnya, totemisme tak lain adalah relasi antar totem itu sendiri, atau
relasi yang saling membutuhkan agar bermakna.
Dengan begitu,
“Kampret” dan “Cebong” secara struktural berada dalam oposisi biner
(berlawanan) namun saling membutuhkan satu sama lain agar eksistensinya dapat
bermakna. Pemahaman antar keduanya mestinya bukan pemahaman konflik yang berupaya
saling meniadakan melainkan relasional yang berarti saling membutuhkan. Berarti
apa yang membuat keduanya berupaya saling menidakan adalah dorongan politik
bukan alamiah dari totemiknya. Begitu dorongan ini berakhir dengan selesainya
coblosan mestinya kedamaian memancar dari dari kedua totem itu.
Untuk itu, “Kampret”
dan “Cebong” perlu meleburkan diri satu sama lain. Melebur bukan menghilangkan
totem-totem itu, melainkan menjadikannya perkawanan yang saling membutuhkan
agar diri masing-masing bermakna dalam kehidupan berikutnya. Apapun alasannya “Kampret”
dan “Cebong” sudah tercatat dalam sejarah politik Indonesia, yang berarti tidak
bisa dihilangkan lagi. Maka, melebur dalam arti persaudaraan adalah
satu-satunya jalan damai yang bisa ditempuh.
Semoga,
bersamaan dengan menjelang datangnya bulan Ramadan yang tak lama lagi akan
tiba, kedua kelompok totemik itu betul-betul bisa berdamai, dan mengakhiri
semua kemarahan dan permusuhan di hari lebaran nanti. Kita tahu, keduanya
sama-sama di-back up oleh para ulama, santri, ustad, dan habaib. Kita
yakin para kekasih Allah ini dapat menjadi teladan kedamaian kita bersama.
[1]
Levi Strauss. (1991). Totemism. Translated by Rodney Needham. London:
Marlin Press., hal 18
[2]
Tony Rudyansjah.(2015). Emile Durkheim: Pemikiran Utama dan Percabangannya
ke Radcliffe-Brown, Levi Strauss, Turner, dan Holbraad. Jakarta: Kompas.,
hal 97
[3]
Levi Strauss. Totemism., hal 1.
0 Komentar