Oleh : Herlianto. A
Ilustrasi perempuan yang tidak hanya urusan dapur dan ranjang. (Foto: Istimewa) |
Mazhabkepanjen.com - “Dapur” dan “Ranjang” adalah dua dari
sekian identitas metaforik yang ingin dilepaskan dari perempuan dan sebagai
gantinya adalah “Publik”. Berpuluh tahun gerakan feminis bergolak hanya ingin
meraih posisi setaranya dengan maskulinis di ruang publik. Bagi feminis dapur
dan ranjang adalah ruang di mana perempuan tak berdaya dan acap kali tersiksa.
Karenanya, dua ruang ini dianggap tempat paling tidak adil dan perempuan harus
keluar dari situ untuk meraih kesetaraannya.
Secara historis, upaya perempuan
terbebas dari dapur dan ranjang muncul sejak 1792 saat Mary Wollstonecraft
menulis A Vindication of The Right of Woman. Buku ini mengungkap
hubungan perempuan dengan budaya dominan, kekuasaan dan identitas. Bahwa
maskulinitas begitu membatasi perempuan untuk memanifestasikan dirinya dalam
kehidupan sehari-hari. Perempuan tersubordinasi sedemikian rupa sehingga kadang
tidak dianggap sebagai manusia. Mereka diperlakukan layaknya anak-anak yang
dikungkung dalam “dunia perempuan”: masak di dapur dan terlentang di ranjang
dalam keadaan apapun.
Wollstonecraft mencatat bahwa saat itu
“penindasan pada perempuan bersifat budaya, sosial, dan politik. Secara budaya,
penindasan itu dibangun dan dijalani dalam pelbagai praktik dan teks budaya.
Secara sosial diafirmasi lewat institusi-institusi sosial, terutama pernikahan,
dan ikatan sosial lainnya. Adapun politik ditegakkan lewat perundang-undangan
yang mendiskreditkan perempuan.[1]
Karya itu lalu disambut oleh Women
and Economic karya Charlotte Perkins Gilman tahun 1898. Dia mengkritisi
wacana publik yang meminggirkan perempuan, saat itu perempuan ditindas secara
kultural dan ideologis utamanya di ruang-ruang yang bersifat sosio-ekonomis
sebagai ibu pengurus rumah tangga. Hal ini mempertajam bahwa institusi keluarga
sebagai unit ekonomi melanggengkan pembungkaman atas perempuan yang kemudian
disebut sexuo-economic. Dibatasinya perempuan pada akses ekonomi untuk
memenuhi kebutuhannya lantaran maskulinitas menempatkan perempuan laksana tubuh
yang dibendakan.
Titik terang feminisme berikutnya
dicapai melalui terbitnya karya Virginia Woolf yaitu A Room of One’s Own
(1929) dan Three Guineass (1938). Dua karya ini membahas tentang peran
perempuan yang sangat terbatas khususnya pada hal-hal yang bersifat kreatif,
misalnya dalam produksi kesusastraan, isu-isu kesadaran dan identitas. Pada
masa itu dalam deskripsi Woolf, “perempuan berada di luar semua struktur
simbolik yang membangun identitas: di luar bangsa, di luar kelas, dan di luar
sejarah.” Pengeluaran dari struktur simbolik ini berakibat pada dienyahkannya
posisi perempuan dalam laku sosial, seolah perempuan adalah mahluk asing di
masyarakat, dalam istilah Simon de Beauvoir “second sex”.[2]
Dari benih-benih ini arus feminisme
terus berkembaang dalam berbagai macam rupa. Rosemarie Putnam Thong (2010) dalam
Feminist Thought mencatat setidaknya ada delapan arus utama feminisme,
di antaranya: feminis liberal, radikal, marxis-sosialis, psikoanalisis,
eksistensialis, postmodern, multikultural, dan ekofeminis. Penjelasan detail
masing-masing arus ini, silahkan merujuk ke karya Thong.[3]
Inti dari semua arus utama ini adalah membebaskan perempuan dari dapur dan ranjang.
Artinya, dapur dan ranjang bukan identitas alamiah perempuan, melainkan
identitas sosial yang bisa diubah, dan hanyalah dua dari sekian pilihan hidup.
Perempuan Indonesia
Sepertinya perempuan-perempuan
Indonesia tidak seburuk apa yang dialami masyarakat Barat di mana feminisme
bergolak. Dalam sejarah Indonesia, kita menemukan perempuan-perempuan hebat,
bahkan sebelum feminisme itu sendiri masuk ke nusantara. Sebut saja, Ratu Kali
Nyamat, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, bahkan kerajaan Majapahi pernah dipimpin
oleh perempuan yaitu Tribhuwana Wijayatunggadewi. Belum lama ini, Sultan
Hamengkubuwana X menyatakan sabda raja bahwa perempuan boleh memimpin kerajaan Ngayogyakarta
Hadiningrat.
Namun demikian, memang tidak semua
perempuan Indonesia bernasib sama dengan beberapa perempuan hebat di atas.
Karena itulah R.A. Kartini (1879-1904) bergerilya untuk pendidikan perempuan di
Surakarya, saat patriarki dan penjajahan menistakan gadis-gadis desa dan “emak-emak”
Nusantara. Meski pada akhirnya dia tetap mengalami poligami. Namun upaya Kartini
bersambut dengan lahirnya beberapa gerakan organisasi perempuan nasional.
Pada 1908 lahir Boedi Oetomo dengan
organisasi sayap perempuannya yaitu Poetri Mahardika. Organisasi ini memberikan
ruang pada perempuan untuk turut andil dalam berorganisasi dan urusan publik.
Dilanjut oleh organisasi keagamaan Muhammadiyah 1917 di Yogyakarta dengan Aisyiahnya.
Tahun 1928 lahir Persatuan Perempuan Indonesia (PPI) yang menuntut haknya dalam
pendidikan dan menyuarakan reformasi perkawinan. Pada masa pendudukan Jepang
1942 didirikan organisasi perempuan bernama Fujinkai yang diikuti oleh
para istri kaum pegawai, salah satu misinya adalah memberantas buta hurus di
kalangan perempuan.[4]
Pasca kemerdekaan muncul Gerwani (Gerakan
Wanita Indonesia) tahun 1950. Organisasi ini merupakan sayap partai PKI dengan
visi dan misi memberikan hak-hak yang setara kepada perempuan dalam pendidikan
dan ruang publik. Banyak segi yang disasar oleh organisasi ini, mengingat
perempuan yang menyebar di beberapa bidang diperlakukan dengan tidak setara
kala itu. Misalnya, bidang pertanian, pabrik, perkebunan, koperasi dan
badan-badan lainnya. Sayang organisasi ini diterpa “isu tidak sedap” sehingga
hilang bersama dilarangnya PKI. Pada 1955 juga muncul organisasi peremuan yang
lebih banyak dikelola oleh partai politik. Di antaranya, Balai Balai Perempuan,
Surau Perempuan, dan Perwari (persatuan wanita republik Indonesia).[5]
Selama orde baru dan reformasi,
gerakan kesetaraan gender berkembang pesat. Ditambah gagasan-gagasan feminisme
Barat yang juga memperjuangkan kesetaraan gender masuk ke lembaga-lembaga ornop.
Perjuangan kesetaraan perempuan merambah lembaga formal maupun nonformal.
Lembaga formal ada Dhama Wanita dan PKK, sementara yang non formal dikoordinir
oleh organisasi-organisasi sosial semacam Muslamat Nahdlatul Ulama (NU) dan Aisyiah
Muhammadiyah. Organisasi mahasiswa tak kalah saing membangun sayap gerakan
perempuan, seperti Kohati di HMI dan Kopri di PMII.
Begitulah upaya perempuan-perempuan
Indonesia memperjuangkan hidupnya dari masa-ke masa. Semangat feminis yang
dipadukan dengan latar sejarah, membuat menjalani hidup sebagai perempuan di
Indonesia terasa lebih baik dan menyenangkan ketimbang beberepa negara dan
tradisi yang masih mengkerangkeng perempuan. Kini “dapur”, “ranjang”, dan “publik”
bukan lagi tempat mengkontraskan tempat baik dan buruk bagi perempuan. Karena
perempuan Indonesia bisa memilih dengan bebas untuk berada di dapur, di
ranjang, dan di ruang publik. Namun begitu tantangan untuk perempuan belumlah
berakhir.
[2] Sue Thorman. (2010)., hal 8.
[3] Rosemarie Putnam Thong. (2010). Feminist Thought:
Pengantar Paling Komprehensif Kepada Arus Utama Pemikiran Feminis.
Jogjakarta: Jalasutra
[4] Sri Hidayati Djoeffan. (2001). Gerakan Feminisme Indonesia: Tantangan
Dan Strategi Mendatang. Jurnal Mimbar. No. 3 Th XVII.
0 Komentar