Oleh: Herlianto. A
Ilustrasi. (Foto: rand.org) |
Mazhabkepanjen.com - Merancang kejutan demi kejutan
menjadi satu pola yang terus dikembangkan di kehidupan maya manusia abad 21 ini.
Segala bentuk “pesta” dunia cyber ditopang oleh seberapa mampu
menciptakan hal-hal yang tak lumrah dan mengagetkan. Kita terus disuntik dengan
“headline” dan “tagline” yang sangat emotif, lalu kita mengalami kejang-kejang seperti
sedang epilepsi atas segala isu-isu.
Inilah era yang betumpu pada framing
(membingkai peristiwa), signing (permainan tanda), dan priming
(penonjolan bagian-bagian tertentu). Satu peristiwa yang sama dapat memunculkan
“sejuta” rekaan yang berbeda. Orang-orang lalu menyebut zaman ini dengan
Post-Truth.
Secera sederhana, Post-Truth
adalah setelah atau pasca kebenaran. Oxfort Dictionary mendefinisikan “describing
situation in which objective facts are less influential in shaping public
opinion than appeal to emotion and personal believe”.
Yaitu situasi di mana
fakta atau kebenaran objektif dikalahkan oleh emosi dan keyakinan personal,
emosi selalu hadir lebih utama dalam menjustifikasi suatu perkara, dan apa yang
objektif menjadi tidak laku. Lalu emosi ini menjadi pijakan untuk
merealisasikan suatu tindakan tertentu.
Dalam peristiwa dunia, kita
menemukan bagaimana priming isu bahwa Irak memiliki senjata pembunuh massal. Lalu
pasukan Amerika yang emosinya masih membuncah akibat peristiwa 9/11, tanpa peduli
fakta objektif, menyerang Irak dan Saddam Hussein. Padahal fakta objektifnya
sampai sekarang tak pernah terbukti adanya senjata pembunuh massal itu.
Invasi
Hitler ke Polandia juga diawali oleh pembentukan emosi yaitu dengan mengisukan
bahwa tentara Polandia menembak tentara Jerman, inilah awal perang dunia ke-2.
Dalam kasus Indonesia kita dapat melihat bagaimana emosi melampaui fakta
objektif adalah saat membandingkan “slip of the tangue” antara Ahok, ustad Evi,
dan ibu Meiliana. Atau antara pendukung Jokowi dan Prabowo di pilpres 2019 ini.
Ada beberapa nomenklatur lain
yang digunakan untuk menyandingkan istilah Post-Truth ini, di antaranya “simulakra”
atau realitas yang dibikin nyata, “pseudo-event” atau sesuatu yang dibuat demi
membangun pencitraan semata, dan “pseudosophy” yaitu realitas yang tampak asli,
seolah-oleh riil padahal palsu.
Kaum ini kemudian membangun jargon-jargon
misalnya seperti yang dinyatakan Joseph Goebbels “if you repeated a lie
often enough, people will believe it, and you will even come to believe it
yourself”. Jika kebohongan diulang-ulang maka orang akan mempercayainya dan
orang yang menyatakan kebohongan itu juga meyakini kebohongannya sebagai benar.
Yang benar bukan lagi “I think
therefore I am,” melainkan “I believe, therefore I’am right.” Lebih jauh
Post-Truth, dalam menyusun informasi, menyukai manipulasi konten, fabrikasi
data, melakukan misleading data, upaya parodi pada informasi, dan propaganda.
Kesimpulan pendeknya Post-Truth adalah “ngapusi” (membohongi) dengan membuat
seolah-olah semuanya riil.
Lalu mengapa Post-Truth ini bisa
ada dan berkembang? Ada beberapa akar yang menjadi pemicunya di antaranya: 1)
manusia punya kecenderungan menyukai apa yang cocok dengan suasana hatinya, 2)
orientasi bisnis media yang tak peduli dampak buruk dari framing dan priming
yang dilakukannya, 3) komodifikasi semua aspek kehidupan, 4) kemajuan teknologi
informasi yang asimetri dengan kapasitas adaptasi masyarakat, 5) adanya
kompetisi pragmatis, 6) karakter masyarakat yang menyukai hal-hal mengejutkan
(epilepsi), dan 7) populisme dalam politik praktis.
Fakta-fakta itu yang membawa kita
semua terperosok ke dalam berbagai model
kesesatan logis. Beberapa modelnya yaitu, over generalisasi yaitu
peristiwanya hanya satu atau dua tetapi digeneralisasi sedemikian rupa
seolah-olah terjadi pada semua hal. Karena satu dua orang menjadi teroris, maka
seolah semua orang Islam adalah teroris.
Restrospektive determinisme
yaitu membesar-besarkan takdir sebagai kenyataan: kenyataannya sudah begini
yang mau gimana lagi. Post hoc ergo propter hoc yaitu menganggap peristiwa
yang mendahului sebagai sebab bagi peristiwa kemudian. Ini yang paling konyol:
karena TGB keluar dari pasukan 212 maka Lombok kena gempa. Padahal sebelum
gempa terjadi, gubernur terpilih NTB dari PKS. Pertanyaannya kenapa bukan ini
yang menjadi sebab?
Ad hominem yaitu menyerang
pribadi bukan argumennya, “jangan percaya ucapan si A, dia itu pernah nyolong,”
misalnya. Ad verecundian yaitu salah otoritas, misalnya sakit gigi
diperiksa ke kiai. Ad misericodian minta belaskasihan: sudahlah maafkan
ustad Evi mekipun bilang Nabi sesat, kasian dia.
Ad popullum berdasar
karena banyak orang yang menyatakan. Ad Novitam, menganggap yang baru
selalu lebih baik. Ad antiquitam, menganggap yang lama selalu lebih
baik. Itu adalah beberapa penyakit orang-orang Post-Truth yang sangat akut.
Maka mengatasi kaum Post-Truth
ini dapat dilakukan upaya mendasarkan segala sesuatunya pada data bukan asumsi,
melakukan analisa kausalitas bukan klaim, melakukan interpretasi bukan
pembenaran, melakukan penyimpulan bukan evaluasi.
Kemudian tak kalah
pentingnya, pada setiap isu, cari tahu media yang mengkonstruknya serta
kecenderungannya. Analisas framing, signing, priming yang digunakan media
tersebut. Apa manfaat isu buat kita, jika tak ada manfaat dan hanya melahirkan
kebencian, sebaiknya ditinggalkan saja.
0 Komentar