Oleh: Herlianto A
Mengkorelasikan antara sejarah dengan antropologi merupakan satu upaya
penting yang dilakukan Claude Levi Strauss. Dalam bukunya, bagian pendahuluan
“History and Antropology” buku Structural Antropology, dia menegaskan
bahwa sejarah dan etnografi bukanlah dua entitas ilmu yang bertolak punggung,
melainkan saling merangkul. Sejarah dengan penekanan pada dokumentasi
berkelindan dengan etnografi yang memberi penekanan justru bukan pada dokumentasi.
Sejarah melaju pada lorong kesadaran, sementara etnografi pada lorong
ketidaksadaran. Namun, dua poin perbedaan ini–dokumentasi dan kesadaran–tidak kontrastif sifatnya melainkan komplementaris.
Strauss menyebut sejarah menggenang pada “ketaksadaran” etnografi. “Menggenang”
dalam hal ini dapat dipahami secara simbolik, bahwa “menggenang” melibatkan
pelaku penggenang dan genangan itu sendiri, dalam hal ini sejarah dan etnografi
itu sendiri.
Penegasan keterkaitan antara sejarah dengan etnografi ini, membuat
Strauss berbeda dari beberapa pemikir sebelumnya. Misalnya, Hauser dan Simiand
yang sedari awal mengklaim bahwa sejarah dan antropologi–sebagai bagian dari sosiologi–bergerak pada rel yang berbeda. Bahwa sejarah berkarakter
dokumenter dan fungsional sementara etnografi lebih pada metode komparatif.
Tepatnya,
etnografi berkaitan dengan observasi pada kelompok manusia sebagai entitas
individual, kemudian mencatat dengan akurat cara hidup berbagai komunitas
masyarakat.[1] Namun
begitu, ada satu hal yang disadari oleh Strauss tentang perbedaan keduanya ini,
yaitu bagaimana menguji masing-masing metodenya. Dengan kenyaataan ini, sejarah
menetapkan secara definitif prinsip dan metodenya, namun tidak demikian dengan
antropologi (etnografi).
Aspek Singkronis
Strauss membuat semacam hipotesa hubungan antara sejarah dengan
etnografi. Bahwa sebetulnya baik sejarah maupun etnografi berupaya
merekonstruksi satu hal yang sama yaitu masa lalu. Dilihat dari upaya ini,
keduanya menjunjung satu visi yang sama. Tetapi, bedanya, etnografi terbebas
dari aspek-aspek diakronik masa lalu, seperti narasi urutan waktu atau kejadian,
sementara sejarah berpijak pada aspek waktu itu sendiri.
Artinya, etnografi
ingin mengungkap masa lalu secara singkronis bukan diakronis. Kelebihan ini
yang membuat, penelitian etnografi tidak bergantung pada adanya dokumen-dokumen
yang mau dikaji. Ia dapat menggambarkan masa lalu suatu etnis atau masyarakat
dengan tanpa dokumen apapun.
Masyarakat yang diteliti etnograf tidak perlu
mengenal tulisan terlebih dahulu. Contoh kasus yang diberikan Strauss dalam hal
ini adalah etnografi etnis Zulu yang tidak punya dokumen apapun karena
masyarakatnya tidak mengenal tulisan.
Dengan pola demikian, Strauss melihat etnografi seperti perkembangan
ilmu linguistik di tangan Ferdinand de Saussure. Yang mana Saussure menteorikan
bahwa yang utama dalam penelitian linguistik bukan aspek historisnya melainkan
tata bahasanya yang tidak lekang oleh waktu. Bahwa ada prinsip yang sama dalam
berbahasa di semua kehidupan manusia, baik masa lalu atau masa kini, yang
kemudian disebut langue.
Langue inilah yang menjadi core
dari praktik berbahasa manusia. Mengadopsi cara pandang ini, bagi Strauss,
etnografi tidak ada bedanya dengan langue dalam menjelaskan realitas
kebudayaan masyarakat karena itu tidak terlalu membutuhkan urutan waktu
sebagaimana ditekankan oleh sejarah.
Strauss sebetulnya sudah memprediksi etnografi akan bergerak ke arah
sebagaimana linguistik bergerak ke langue. Ini misalnya dia temukan pada
gagasannya Tylor, seorang etnolog, yang menyatakan bahwa ketika hukum umum
dapat disimpulkan dari sekumpulan perisiwa atau fakta maka peran sejarah akan
tergeser sebaimana penemuan hukum fisika pada magnet yang dapat menarik benda
yang membuat studi sejarah penemuan magnet menjadi tidak terlalu perlu.
Namun,
karena kajian etnografi cukup berbeda dengan fisika, Tylor cukup melonggarkan
kesimpulan dalam bidang etnografi. Kontribusi penting lainnya dalam mendekatkan
sejarah dengan etnografi dilakukan oleh Boas. Dia menyatakan bahwa sejarah
masyarakat primitif merupakan apa yang telah etnolog konstruksi dan bukan yang
lain.[2]
Meskipiun upaya-upaya menggeser etnografi menuju penemuan “hukum umum”
cenderung mengabaikan aspek diakronis masyarakat, tetapi Strauss tetap
mempertahankan bahwa ada kontribusi yang diberikan oleh sejarah pada studi
etnografi itu sendiri. Apalagi sebetulnya apa yang dianggap maayarakat, klan,
suku, dan kelompok sosial lainnya bergerak dinamis.
Mereka mengalami
peperangan, migrasi, skisma relijius, atau tekanan demografis yang membuat
sejumlah suku dan etnik punah atau berubah tradisi dan budayanya sehingga
membentuk kelompok masyarakat yang baru. Beberapa penjelasan ini dapat
diperoleh melalui narasi historis, yang itu rupanya dibutuhkan oleh etnografi.
Begitulah
yang ditemukan saat melihat masyarakat Mekeo, Motu, dan Koita di Papua Nugini. Aspek
diakronik ini dapat membantu menjelaskan apa yang menjadi langue dari
suku dan klan di Papua Nugini misalnya: hukum ekonomi, faktor yuridis,
relijiusitas, dst.
Penyelarasan etnografi dan sejarah ini, masih mendapat tantangannya
dari pemikir-pemikir Sorbonne. Mereka menyatakan bahwa sejarah berdasar pada
studi kritis dokumen yang terkait dengan banyaknya pengamat dan observator.
Sedangkan etnografi hanya ada satu observator yang menjelaskan suatu suku
tertentu.
Namuan begitu, menurut Strauss, persoalan observator dapat disiasati
dengan bahwa saat ini sudah ada banyak etnograf yang meneliti suku tertentu. Jadi
perkembangan etnografi itu sendiri menunjukkan betapa beragamnya sudut pandang
tentang suatu masyarakat tertentu yang ini diragukan sebelumnya oleh sejarah.
Kesadaran dan Ketaksadaran
Sebagaimana dinyatakan bahwa salah satu poin penting pembedaan antara
etnografi dan sejarah adalah upayanya untuk sampai pada struktur yang disadari
dan tidak disadari. Bila sejarah berusaha merangkai perisitiwanya atau bahkan
hukum-hukum sejarah melalui hal-hal yang disadari. Misalnya, melalui
serangkaian data-data yang diperoleh dari dokumen yang memenag sengaja ditulis
untuk tujuan tertentu.
Berbeda dengan etnografi yang memang berusaha mencapai
suatu hukum sosial dengan pendekatan yang tanpa disadari oleh pemberi data. Dalam hal ini, cara kerja
etnografi mirip dengan linguis yang berusaha memperoleh data senatural mungkin,
atau minim intervensi terhadap seorang penutur pemberi data untuk kemudian
menyimpulkan proposisi-proposisi tentang kebahasaan.
Artinya bahwa etnografi
berusaha menginventarisir data data-data tak sadar informan untuk merumuskan
pola atau hukum sosial yang ada dalam suatu suku atau masyarakat. Namun,
catatan pentingnya adalah proses etnografi sama dengan sejarah dalam mencapai
deskripsi masyarakat. Hal sekaligus menegaskan proposisi Marxis bahwa “manusia
itu membuat sejarahnya sendiri, namun mereka tidak tahu bahwa mereka yang
membuatnya”.[3]
[1]
Ethnography consists of the observation and analysis of human groups condered
as individual entities. Ethnography thus aims at recording as accurately as
possible the respective modes of life of various groups., hal 2
[2]
As a matter of fact, all the history of primitive peoples that any ethnoologist
has ever developed is reconstruction and can not be anything else.
[3]
Man make their own history, but they do not know that they are making it.
0 Komentar