Oleh: Herlianto A
Sumber: harian.analisadaily.com |
Setelah belasan tahun meninggalkan rezim
tirani orde Baru dan beralih ke demokrasi di mana kebebasan diberikan seluas-luasnya, rupanya menjadikan masyarakat kita semakin
banal, penyebar hoaks, mudah marah, dan krisis kepercayaan. Konflik sosial yang
terjadi tak melulu vertikal: rakyat terhadap penguasa, melainkan juga menyebar merata
secara horizontal. Kita bisa urut mulai dari tawuran antar pelajar, kemarahan
antar pengguna jalan yang rebutan karena macet, cekcok para anggota dan
simpatisan partai politik.
Bahkan antar berlabel “ulama”, ustad
(lebih-lebih ustad televisi), dan pemangku jabatan agama lainnya saling tuduh
sesat dengan menggunakan media firman Tuhan yang sudah dikreasi dengan
kepentingannya sendiri lalu dijadikan legitimasi menjegal satu sama lain.
Preman baru mendapat panggilan ustad sudah main sumpah serapah dan mubahalah.
Masih banyak ketegangan sosial lainnya yang bisa temukan.
Persoalannya, mengapa demokrasi melahirkan
ketegangan? Inikah “limbah demokrasi” yang jika dibiarkan membesar akan
mengubah demokrasi menjadi anarki, yaitu demokrasi yang memangsa anggota
penganutnya sendiri? Yang pasti, kemunculan demokrasi, jauh abad sebelumnya
(abad 5-4 SM), sudah mengorbankan Sokrates, yang dikenal warga paling bijaksana
se-Athena (Yunani). Dia meregang nyawa ditangan para politisi demagog, para
hakim dungu, dan demokrat culas yaitu demokrat yang memanipulasi hukum, mencuci
otak masyarakatnya agar terus emosional pada Sokrates. Pada kisah martir
demokrasi inilah, kita akan sedikit belajar.
Sketsa Dibunuhnya Sokrates
Meskipun wajahnya sering digambarkan tidak
tampan dan jarang pakai sandal saat berkeliling di sekitar gunung Olimpus di
Yunani, Sokrates cukup tenar dikalangan pemuda. Hal itu karena seringnya dia
berdebat dengan anak muda soal kebenaran dan moral. Lewat debat ini, Sokrates
ingin mengubah pandangan dunia (weltanshaung) anak muda, dari doktrin kebenaran
retoris yang di-brainwash-kan kaum sofis menjadi kebenaran hakiki yang
menjunjung tinggi moralitas: kejujuran, tanggung jawab, keberanian, kesalehan,
dan kebijaksanaan.
Upaya mulia ini dilakukan oleh Sokrates
secara dialog dengan kalagan anak muda, bukan dengan mendoktrin. Dia juga
menggunakan teknik kebidanan (meueutik thekne), yaitu sebagaimana
seorang bidan yang membantu ibu hamil melahirkan anak-anaknya. Jadi Sokrates
meyakini di dalam diri setiap manusia ada benih kebenaran yang dapat dilahirkan.
Dia bertekat membantu kalangan remaja yang hamil kebenaran ini agar dapat
melahirkan kebijaksanaan melalui suatu dialog. Adapun model dialog yang
dipraktikkan adalah aporetik, yaitu mempertanyakan secara radikal setiap
pengetahuan yang dimiliki kaum muda. Dalam episode-episode dialog yang digelar
acap kali pemuda kelimpungan tak bisa menjawab renteten pertanyaan yang
diberikan Sokrates. Sehingga mereka seolah tidak menemukan kebenaran pada pengetahuan dasar
yang diberikan sofis sebelumnya.
Namun sayang, upaya mulia ini, alih-alih
diapresiasi, justru dia mendapat gelar godfly of Athena, lalat perusak
di Athena. Sokrates dianggap merusak tatanan sosial dan meracuna anak muda.
Tentu saja pelakunya adalah para bromocorah yang haus akan kekuasaan yang disupport
oleh para ustad bodong dan “ulama” amplop di Athena. Atas prakarsa komplotan
tersebut, dia kemudian diseret ke pengadilan dengan dakwaan yang sangat serius
yaitu mbalelo terhadap negara karena dianggap merusak pikiran anak muda,
mengajarkan ateisme, dan membuat dewa-dewa baru.[1]
Persidangan pun berlangsung dalam perdebatan
yang panjang, namun akhirnya sebagaimana prosedur demokrasi putusan akhir
diserahkan pada mekanisme voting. Hasilnya, 501 anggota hakim alias
suara mayoritas memutuskan Sokrates bersalah dan divonis hukuman mati.[2]
Dia sempat menyatakan pledoinya yang dicatat oleh muridnya, Plato, berjudul Apologia.
Disitu Sokrates menjelaskan seterang-terangnya dan menepis semua tuduhan-tuduhan
palsu itu. Bagaimana mungkin suatu diskusi mencerahkan dianggap merusak mental.
Namun apa daya, voting sudah bicara dan tidak ada mikanisme banding ke
mahkamah di atasnya.
Sebetulnya, Sokrates diberi kesempatan untuk
menebus kesalahannya dengan uang agar terbebas dari tuntutan putusan pengadilan
yang sudah incrach. Dikisahkan juga dia berpeluang untuk melarikan diri
dari penjara yang dibantu oleh seorang temannya. Namun sayang orang bijaksana
ini, menolak semua tawaran menggiurkan itu. Baginya, jika melakukan itu semua,
maka sama artinya membenarkan dakwaan para jaksa itu. Kebenaran tidak bisa
ditukar dengan uang berapapun jumlahnya, apalagi dengan melarikan diri. Sungguh
nista! Dia begitu tabah menjalani persidangan-demi persidangan hingga tiba
akhirnya pada 399 SM dibunuh dengan minum racun. Sejak itu, Sokrates sah
menjadi martir demokrasi.
Makna
Kematian Sokrates
Kematian
Sokrates ini menyiratkan beberapa hal, yaitu: kekalahan filsuf (pengetahuan)
atas awam (kebodohan), kekalahan pikiran atas politik, kekalahan kebebasan
individual atas negara, kekalahan terobosan baru atas konvensi sosial, serta
tumbuhnya anarki komunal yang dibalut dalam prosedur-prosedur demokratis, agamis,
dan hukum. Itulah tumbal terbesar yang dipersembahkan oleh rezim demokrasi dalam
sejarah politik dunia.
Sejatinya,
Sokrates merupakan salah satu pejuang tidak saja ilmu pengetahuan tetapi juga
secara militer bagi negaranya. Diketahui pernah beberapa kali menjadi hoplit
(pasukan perang) dalam perang membela Athena, negara (polis) yang dicintainya. Dia
terlibat perang bela negara saat Athena berperang melawan polis Potidaea,
kemudian menghunus tombak bertikai dengan tentara Thebes di Kota Delion.
Termasuk terlibat pertempuran dalam perang besar peristiwa Peloponessos yang
berlangsung 27 tahun (431 SM hingga 404 SM), yang berakhir dengan kekalahan
Athena atas Sparta, yang turut menewaskan jenderal perang Athena, Perikles.[3]
Lalu
mengapa Sokrates masih dibunuh dengan sekian prestasinya itu? Jawabannya adalah
kebodohan binti kedunguan. Iya, kebodohanlah yang membuat masyarakat
Athena termakan oleh fitnah para politisi dan agamawan palsu yang kalap
kekuasaan. Para hakim dan jaksa tidak sempat melakukan refleksi akan
kebenaran-kebenaran yang ditunjukkan Sokrates. Sehingga begitu mayoritas
masyarakat dan pemangku kebijakan menjadi kehilangan akal dan nurani, maka
demokrasi manjadi liar sekaligus banal. Hukum bukanlah jaminan bagi kebaikan masyarakat
dalam negara demokrasi, karena hukum bisa dibuat, bisa dibatalkan, bahkan bisa
dimanipulasi. Nurani dan kebaikan morallah yang bisa mencegah lahirnya
manipulator, koruptor, dan penjahat-penjahat negara lainnya.
Maka,
yang penting dari tewasnya Sokrates bagi negara demokratis adalah bukan suatu
keprihatinan, tetapi kesungguhan untuk memberantas kebodohan dan kedunguan
karena keduanya inilah yang akan merusak visi mulia demokrasi. Minus moralitas
dan nurani demokrasi akan menjadi jagal yang akan terus mengorbankan
orang-orang terbaik lewat mekanisme suara terbanyak. Dengan apa memberantasnya?
Tentu saja melalui membangun tradisi pengetahuan yang jujur, baik, dan adil
yaitu suatu model pengetahuan yang jauh dari komersialisasi. Pengetahuan yang
diberikan bukan lewat penyedia “lapak-lapak pengetahuan” yang bisa berupa
sekolah-sekolah berlabel agama dengan harga begitu jahiliyah. Mereka menjual
pengetahuan dengan demikian mahalnya seperti yang dilakukan kaum sofis di
Yunani.
Akhirnya,
negara dengan sistem demokrasi tidak otomatis menjadikan negara itu baik dan
kuat dengan sendirinya. Kekuatan demokrasi perlu ditopang oleh warga yang
berhati nurani dan menjunjung moralitas. Jika tidak demikian, maka demokrasi
akan menjadi banal bersama hukum yang ada didalamnya. Dan, yakinlah, negara
yang demikian tak lama lagi akan terkubur sebagaimana terkuburnya Yunani.
[1]
Lihat catatan Plato, murid Sokrates, dalam buku Apology.
[2]
Anggota hakim yang berusia diatas 30 tahun ini dipilih dari suatu panel yang
beraggota 6000 orang laki-laki oleh demes. Henry J. Schmandt. (2009). Filsafat
Politik: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar., hal 41
[3]
Setyo Wibowo. (2015). Mari Berbincang Bersama Platon: Keberanian (Lakhes).
I Publishing., 19-21
0 Komentar