Oleh: Herlianto A
Sumber: makna.ner |
Beberapa waktu lalu saya
memberanikan diri menerjemah tiga karya Plato: Apology, Meno, Parmenides
dan satu karya Rene Descartes Meditations on First Philosophy. Keempat
buku tersebut diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Karya
Plato sebelumnya diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Benjamin Jowett karena
bahasa aslinya adalah Yunani, sementara karya Descartes dialih-bahasakan dari bahasa
Prancis ke Inggri oleh Roger Ariew.
Sayangnya, keempat hasil
terjemahan ini belum diterbitkan ber-ISBN karena berbagai persoalan. Mulai dari
kurang “respeknya” penerbit kepada penerjemah yang ditunjukkan dengan murahnya
penawaran hingga keraguan akan kepadanan atau ketepatan penerjemahan antara
bahasa sumber (source language): bahasa Inggris yang digunakan beberapa karya
tersebut dan bahasa target (target language): bahasa Indonesia yang
menjadi tujuan.
Keraguan akan ketepatan penerjemahan
ini sebetulnya menghantui saya selama proses alih bahasa. Pertanyaan yang terus
meronta di dalam benak adalah “apa hak saya menerjemah teks-teks filsafat itu?”
Hak dalam hal ini bukan legalitas formal, seperti misalnya sudah mendapat izin dari sang penulis atau dari ahli warisnya
untuk menerjemahkan buku bersangkutan, melainkan suatu gugatan pada kapasitas
yang memungkinkan proses penerjemahan dilakukan.
Sederhananya, bisakah saya
mengungkapkan gagasan Plato dan Descartes yang ada dalam karyanya itu ke dalam
bahasa Indonesia tanpa ada intervensi dari kapasitas yang saya miliki, baik
berupa lemahnya pengetahuan saya atau penambahan yang berlebihan, sehingga yang
saya tulis dalam bahasa Indonesia itu betul-betul menunjukkan pemikiran penulisnya
dan bukan pemikiran saya. Dan, pembaca betul-betul dapat menangkap pemikiran
dua tokoh beda generasi itu, bukan pikiran saya. Alhasil, pada saat buku itu dicetak
masih layak disebut karya asli Plato dan Descartes. Persoalan kesepadanan
inilah yang mungkin juga melatari keluhan beberapa teman ketika membaca
buku-buku terjemahan, dimana ada pemahaman yang berbeda ketika membaca hasil
terjemahan dengan karya bahasa asalnya.
Intervensi Penerjemah
Lembaga penerjemah atau pribadi
bolehlah sebagai agen yang tersumpah untuk menerjemah yang kemudian dipercaya
menerjemahkan beberapa karya dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia.
Tetapi bagaimana memastikan bahwa hasil terjemahan itu tanpa intervensi dari
kepasitas penerjemahnya? Ada beberapa hal yang membuat intervensi penerjemah
tidak bisa dihindarkan. Pertama, terkait dengan konteks teks-teks yang ditulis
oleh penulis di bahasa sumber. Apabila konteksnya masih berkaitan dengan “meta
konteks” atau konteks yang ada dalam teks itu sendiri masih memungkinkan untuk
ditelusuri, tetapi apabila konteks itu berada diluar teks bagaimana penerjemah
mengatasinya, misalnya situasi sosial atau psikologis yang melatari lahirnya
suatu teks.
Maka sudah pasti konteks yang
berada diluar teks tidak akan terjangkau, tidak mungkin saya kembali ke zaman
Plato dan Descartes untuk memperoleh konteks tersebut. Mungkin saja, beberapa
buku menyediakan konteks lewat deskripsi historis, tetapi seberapa kita mampu
dapat menjiwai konteks lewat buku itu. Di dalam bahasa atau komunikasi, konteks
menentukan makna suatu teks atau ungkapan.
Ilustrasi soal konteks begini:
kata (mohon maaf) jancok adalah ungkapan misuh dalam bahasa Jawa.
Ungkapan ini bermakna negatif, kemarahan, atau kekecewaan. Tetapi ketika
teman-teman di Jawa Timur bertemu dengan teman lamanya mereka bilang: “wah
jancok,, ayu tenan bojomu”. Maka kata itu tidak bisa dinyatakan sebagai
ungkapan kemarahan, melainkan bisa pujian atau solidaritas karena konteksnya.
Bedakan dengan seorang bos yang mengatakan: jancok gaweanmu ancen ngawur.
Maknanya akan menjadi kemarahan dan kejengkelan bukan solidaritas apalagi
pujian. Nah, dua pernyataan tersebut jika diterjemahkan oleh orang yang tidak
memahami konteksnya akan menjadi sama yaitu bahwa teman-teman dan bos itu marah.
Kita bayangkan persoalan ungkapan
tersebut terjadi pada teks-teks filsafat yang para penerjemah lakukan. Yang
terjadi pastilah kesalah-mengertian yang berakibat pada kesalah-pahaman para
pembaca saat membaca hasil terjemahan. Parahnya lagi, pembaca ini menulis suatu
karya filsafat dengan merujuk pada terjemahan itu. Lalu penulis lain juga
menulis teks filsafat dengan merujuk pada hasil rujukan penulis sebelumnya itu.
Maka yang terjadi adalah jalinan karya-karya yang berisi kesalah-pahaman.
Bisa dibayangkan misalnya, para
penerjemah filsafat Yunani ke dalama bahasa Arab di era kejayaan Islam terjadi
mis konteks, lalu para penulis dari Barat mengacu pada karya-karya itu. Berikutnya
orang-orang modern mengutip, kutip-mengutip dilanjutkan oleh pemikir-pemikir
pascamodern. Maka, rangkaian filsafat tidak seperti yang dibilang oleh Alfred
North Whitehead bahwa filsafat di Barat adalah footnote dari pemikiran Plato,
melainkan catatan kesalah-pahaman atas pemikiran Plato. Namun menariknya, kita
menikmati itu semua sebagai filsafat, bahkan dapat mengubah tatanan sosial dan
peradaban dunia.
Persoalan kedua adalah
relativitas bahasa yaitu suatu bahasa tidak bisa disepadankan secara persis
dengan bahasa lain baik secara sintaktik maupun morfologis. Bahasa Jawa
memiliki kata “ijo” untuk menyatakan warna hijau tetapi orang Madura memiliki
cara yang berbeda yaitu dengan kata “biruh deun” (biru daun). Ada unsur
tumbuhan dalam bahasa Madura sementara bahasa Jawa tidak. Relativitas seperti
ini juga ditemukan antara bahasa Indonesia dengan bahasa-bahasa asing lainnya.
Misalnya, ketika orang Inggris menyatakan “rice” maka dalam bahasa Indonesia
harus dipertegas apakah beras yang sudah dimasak, yang masih dipohon padi, atau
yang masih berbentuk gabah. Dalam filsafat (inggris) misalnya ditemukan kata
exist, present, being setelah diindonesiakan ditemukan
kata ada sebagai ungkapan padahal ketiga berbeda.
Belum lagi corak bahasanya yang
berbeda, misalnya bahasa rumpun Jerman seperti bahasa Jerman, Belanda, Inggris,
dan kawasan Skandinavia lebih menekankan pada logika. Bahasa Roman seperti
bahasa Prancis, Spanyol, dan Portugis lebih mementingkan keindahan berbahasa.
Sementara, bahasa-bahasa di Asia lebih mencolok kesopanan dan solidaritasnya. Relativitas
ini membutuhkan usaha lebih ditaklukkan oleh seorang penerjemah, sehingga mau
tidak mau dalam proses penerjemahan (teks-teks filsafat) intervensi penerjemah
pasti ada.
Dua faktor (konteks dan
relativitas bahasa) tersebut yang membuat para penerjemah di Eropa mewacanakan
menyamakan hasil terjemahan dengan karya sendiri sehingga pertanggung
jawabannya kepada publik pembaca sama dengan karya teks sendiri.
Tak Perlu Terjemahan?
Jika pertanyaannya: apakah masih
perlu penerjemahan? Menurut saya proses penerjemahan tetap diperlukan untuk
transformasi pengetahaun termasuk pikiran-pikiran filosofis. Sejarah
menunjukkan bahwa betapa penerjemahan memberi kontribusi besar berkembangnya
pengetahuan. Kita bisa saksikan bagaimana kebudayaan Arab gurun pasir yang
awalnya sama sekali tidak memiliki tradisi filsafat dapat berkembang sedemikian
besar dalam berfilsafat berkat penerjemahan di era Harun Ar Rasyid hingga Al Ma’mun
(dinasti Abbasiyah). Yang kemudian memungkinkan lahirnya pemikir-pemikir besar
Islam di abad ke 8 hingga ke 12.
Begitu juga dengan peradaban Barat
yang baru belajar mandi di abad ke 8 dapat berkembang sedemikian rupa hingga
lahir renaisance abad 15 dan enlightenment abad 17 dan
gemerlapnya modernitas. Semua itu tidak terlepas dari penerjemahan karya-karya
pemikir Islam ke dalam bahas Latin dan bahasa-bahasa Barat lainnya. Saat ini,
kembali terjadi sebagaimana abad ke 8, di mana karya-karya pemikir Barat diterjemahkan
ke dalam dunia Arab dan Islam pada umumnya, termasuk di Indonesia. Melihat
peristiwa ini, rasa penerjemahan menjadi satu kunci penting yang tidak boleh
ditinggalkan, entah bagaimana mengaturnya kemudian.
Yang pasti, menerjemah tidak sama
dengan berargumentasi. Saya kira jauh lebih sulit menerjemahkan karya orang
lain dari bahasa tertenti ke bahasa lain ketimbang menuliskan argumen kita
sendiri menjadi karya-karya tertentu. Lalu? ya kita tetap menerjemah dan
menulis.
0 Komentar