Oleh: Herlianto A
Sumber: pixabay.com |
Terlepas apakah mungkin seorang
atheis betul-betul bisa menjadi “kaffah” keatehisannya, rupanya tak sedikit
bukti yang menunjukkan bahwa atheis dapat hidup secara bermoral. Berdampingan
dengan orang lain secara damai, menghormati perbedaan, memperlakukan tetangga
dengan baik, dan menempatkan manusia sebagai manusia.
Berkaca dengan ini, tradisi Barat
lalu meyakini sekulerisasi sebagai jalan yang “menjanjikan” menuju rumah masa
dapan. Setidaknya ini yang digambarkan oleh Charles Taylor dalam buku “A Secular
Age”. Tak heran, bila di Barat (Eropa) ada gereja yang dijual dijadikan museum,
atau dibeli muslim kaya utuk diubah menjadi masjid. Dan nyatanya, meski perlu
penjelasan yang panjang proses kausalnya, Barat dapat berkembang dan maju
secara sosial. Atau setidaknya, kita saat ini sedang berlomba ingin seperti
Barat secara sosial.
Sebaliknya, pada beberapa kasus
seorang pemeluk agama tak henti-hentinya mengusik atheis, alergi dengan
perbedaan, phobia dengan simbol-simbol, dan bahkan sadisnya menjadikan manusia
lain termasuk dirinya sebagai alat memuaskan egoisme keagamaannya, ini yang
dipertontonkan oleh pelaku pembunuhan dan bunuh diri atas nama agama.
Beberapa masyarakat, tidak semua,
yang menyatakan berbasis pada agama kocar-kacir kehidupan sosialnya, ya
korupsi, ya menipu, mempersekusi, mempraktikkan instrumentalisasi agama.
Juga, anggota masyarakatnya yang berselimut agama begitu mudah diadu domba
justru dengan atas nama agama. Agama di tangan mereka “kurang berhasil” sebagai
jalan keselamatan, kemerdekaan, kemenangan, dan kemanusiaan. Barangkali realita
ini yang kita cermati di belakangan ini kawasan timur tengah, atau mungkin
sedikit di asia Tenggara, Indonesia dan Myanmar, misalnya.
Tak berlebihan, jika kemudian
Abdullahi Ahmed An-Naim, murid Muhamed Toha, pendiri Republikan Brotherhood
(persaudaraan republik) di Sudan, menulis “Islam and The Secular State:
Negotiating the Future of Shari’a”. Dia menyatakan bahwa situasi sekuler justru
dibutuhkan untuk berkembangnya agama (termasuk Islam) agar syariat-syariatnya
dapat dijalankan dengan sepenuhnya.
Peristiwa-peristiwa yang dijadikan
kasus di atas, bukan dalam rangka membandingkan Timur (tengah) dengan Barat.
Melainkan ini sudah kesadaran umum. Karena itu, Hasan Hanafi juga menegaskan
telah menemukan Islam tanpa muslim di Barat, dan menemukan muslim tanpa Islam
di timur. Interpretasi kasarnya atas diktum ini ialah atheis minus agama tetapi
(moralnya) seperti beragama dan agamais plus agama tetapi (moralnya) seperti
tak beragama.
Artinya atheisme, tidak seperti
tuduhan agamais, yang selalu buruk dan minus moral. Atheisme seperti agamaisme
juga menyediakan realitas moral, yang membuat atheis memiliki potensi sebagai
suatu jalan yang mungkin bagi kehidupan sosial yang baik di masa depan. Maka
dengan ini, pertanyaan pentingnya (secara sosiologis, mungkin juga teologis)
adalah apa derita dunia bila agama mundur, toh atheis bisa hidup tak
kalah “agamisnya” dengan yang beragama?
Inilah pertanyaan yang mesti
dijawab oleh kita semua yang masih mengikatkan diri pada tali agama. Tentu saja
bukan jawaban egois, melainkan objektif dan universal yang dapat diterima oleh semua baik yang beragama pun atheis.
Sebagai stimulasi awal atas
pertanyaan tersebut, bisa diawali dari peristiwa modernisasi di kebudayaan Barat.
Modern adalah lompatan besar bagi “tragedi” beragama di Barat. Betapa tidak, bila
di abad tengah kehidupan yang baik adalah terikat pada beragama, berserah pada
agama, lalu berubaha secara diametral menjadi hidup yang tenang adalah tanpa
agama: atheis. Yang kemudian disebut sekulerisasi.
Sekulerisasi dibarat, menurut
Taylor, merambat pada empat hal: pertama, sekularitas publik yaitu agama tidak
lagi boleh menampilkan tariannya di ruang publik, ia dialihkan ke domain
privat. Agama di ruang publik selamanya “dikutuk” terjebak pada praktik instrumentalisasi
agama, yang paling menonjol ialah politisasi agama.
Kedua, sekuleritas sosilogis yang
meyakini bahwa agama akan hilang dengan sendirinya berkat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, semuanya bisa dijelaskan oleh ilmu sebagai ganti
agama. Keyakinan ini diorasikan orang macam August Comte, Sigmund Frued,
Richard Dawkin. Dan mungkin belakangan Yuval Noah Harari lewat dua set bukunya
“Homo Sapiens” dan “Homo Deus”.
Ketiga, sekularitas teologis,
mengklaim secara tegas bahwa memang dari awal agama tidak dibutuhkan, atau
tidak ada. Agama tidak hakiki melainkan pelarian manusia dari penderitaannya.
Keyakinan ini ada sejak era Epikurus, di zaman Yunani klasik. Keempat, sekuleritas
filosofis, yaitu kajian-kajian filsafat yang anti metafisika, melihat
metafisika sebagai senjakala di ujung senja. Ide-ide ini dinyatakan tokoh-tokoh
pemikir materialistik (mekanik). Begitulah proses sekulerisasi di Barat.
Rupanya ini tidak memuasakn, lalu
belakangan muncul kajian post-sekularisme. Kajian ini berbeda dengan
de-sekulerisasi. Jika de-sekulerisasi melawan sekulerisme, maka
post-sekulerisme merasa bahwa sekulerisme kurang berhasil membaca manusia. Ada
banyak enigma dan misteri pada manusia yang diabaikan oleh sekuleris. Karena
itu, mereka mencoba kembali mengurai hal-hal yang tersembunyi pada diri
manusia, yaitu spritualitas.
Hanya saja apakah spritualitas
ini berarti agama berikut lembaganya? Atau tidak, sehingga ada keyakinan
bertuhan tanpa agama. Atau spritualitas itu cukup berupa kepuasan batin sepeti
saat kita mendengarkan musik, pergi wisata, chat dengan kekasih, update status,
duduk dengarkan ceramah agama? Atau apa? Mari kita renungkan.
artikel ini sebelumnya dimuat di Qureta, 14/6/2019
0 Komentar