Oleh: Herlianto A
Salah satu keraguan besar abad modern
adalah dapatkah segala realitas―dari yang sublim, misteri, batini, klenik,
hingga yang transendetal-metafisik―dinyatakan secara diskursif melalui bahasa?
Skeptisisme ini menguji kembali segala proposisi atau diskursus yang telah terlanjur
diiyakan.
Benarkah segala yang disampaikan
melalui konsep-konsep abstrak, baik tuturan maupun tulisan merepresentasikan
realitas yang diacunya, baik dalam bidang filsafat, teologi, dan cinta
(sufistik)? Bila selama ini teolog enak bercerita tentang Tuhan, job deskripsi
malaikat, beserta sungai-sungai mengalir di surga, kemudian para filosof juga
dalam histeria mengobral narasi-narasi immateri, dan hal tak tampak lainnya.
Sufi bercerita romantika indahnya “fana’ fillah”. Maka kini disanksikan apakah
itu semua sebatas bahasa atau memang memiliki referen riil.
Kemungkinan kesesuaian antara bahasa
(konsep atau proposisi) dengan realitas, tidak menjadi bahasan di tulisan ini.
Itu merupakan domain epistemologi yang membutuhkan ruang lain. Tetapi, artikel
ini menyoroti bagaimana bahasa berperan dan berusaha merepresentasikan yang tak
tampak. So far, bahasa mengenal metafora yang biasa digunakan untuk
mengekspresikan yang tersembunyi.
Secara teknis, Gorys Keraf mengatakan
bahwa metafora adalah bahasa kiasan yang sekaligus bagian dari majas
perbandingan tetapi tidak menggunakan kata-kata pembanding, seperti kata:
bagai, laksana, bak, dst. Metafora membandingkan antara dua hal secara langsung.
Misalnya, “berdebat adalah berperang”,
“berdiskusi adalah menari”, dst. Dalam bahasa agama misalnya, “Tuhan adalah
raja”, “malaikat mencatat amal baik”. Dalam filsafat dikenal “metode apel
busuk” (Descartes), “epistemologi pesawat dan landasan pacu” (Whitehead), dst.
Dalam cinta (sufistik) misalnya: “Tuhan adalah perempuan”, “Tuhan adalah aku”,
dst.
Ungkapan metafor ini tidak bisa
dimaknai secara semantik, karena akan melahirkan kesalah-pahaman dan
kebingungan. Ambillah contoh “metode apel busuk”. Secara literal ini dimaknai
metode yang sudah busuk seperti apel. Padahal tidak demikian maksudnya, di
sinilah konteks diperlukan. Rupanya yang dimaksud metode apel busuk oleh
Descartes dalam bukunya “Meditations of Fisrt Philosophy” adalah teknik
purifikasi atas pengetahuan yang meragukan.
Bahwa pengetahuan manusia tidak
semuanya bersifat mutlak (necessary) tapi ada yang sementara dan labil (contingent).
Pengetahuan labil inilah yang harus dibersihkan dengan cara meragukannya,
sehingga kita dapat menyeleksi segala pengetahuan yang kita punya sejak kecil
seperti memeriksa apel busuk untuk memilih yang masih baik. Begitula
kira-kira.
Alhasil, tanggap McFague, metafora
memberi penegasan atau justifikasi tentang keserupaan atau ketidakserupaan
antara dua hal. Dengan kata lain menyatakan sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Metafora digunakan pada saat pembicara tidak bisa menyatakan gagasan tertentu
dengan bahasa yang lebih gamblang. Metaforis berarti meletakkan sesuatu dalam
jalinan benang kemiripan.
Pada titik inilah, makna kehidupan yang
mendalam termasuk gagasan yang tidak bisa disampaikan secara gamblang oleh
manusia. Ia yang begitu abstrak, sublim, dan tersembunyi, dapat dinyatakan
melalui metafor. Relita kehidupan yang transenden serta penuh cinta ini
memerlukan simbol-simbol imanen yang dekat dengan kehidupan manusia agar dapat
dinyatakan lewat bahasa sehingga bisa dikomunikasikan.
Melalui fakta itu, Lakoff dan
Johnson dalam bukunya “Metaphor We Live
By” menemukan bahwa metafora adalah keadaan alamiah (state of nature) manusia
uatamanya dalam mengkonseptualisasi pandangan dunianya (worldview).
Karena, ia berkaitan dengan pemahaman dan tindakan. Metafora bukanlah sebatas
bunga-bunga retorika atau imajinasi puitis yang bersifat eksternal dalam
bahasa, tetapi jauh melampaui itu, metafora meresap dalam kehidupan
sehari-hari.
Ia bukan hanya persoalan kata, kalimat,
dan diskursus, tetapi juga menyangkut pikiran dan tindakan itu sendiri. Bahkan
metafora mengatur cara berpikir manusia, bagaimana memahami dunia, dan
bagaimana berhubungan dengan orang lain. Pendeknya, metafora bersifat kognitif.
Jadi, dengan demikian metafora tidak
bisa dimaknai secara skriptualis atau literal, karena tidak menyatakan makna
(semantik) atau referen dari pembicara dan teks melainkan maksud (pragmatik).
Tokoh-tokoh terkemuka macam John Searle dan Stephen Levinson sepakat bahwa
interpretasi metaforis harus melampaui sisi semantik dari suatu teks atau
diskursusnya, bahkan bisa jadi mekasud suatu metafora berkontradiksi dengan
makna semantiknya.
Dalam kajian eksegetik, yaitu teks-teks
sakral termasuk kitab suci, ini disebut takwil atau interpretasi. Para pemikir
Islam tidak banyak berbeda soal perlunya takwil. Hanya saja perlu pembagian
pada teks yang perlu ditakil dan yang tidak. Ini yang melahirkan pembelahan
ayat mutasyabihat dan muhkamat. Walaupun masih dalam perdebatan klasifikasi
ayat-ayat mana saja yang masuk di dua klasifikasi itu.
Al Ghazali dan Ibn Rusdy, misalnya,
seberapapun keduanya bertikai di lapangan filsafat. Tetapi “the two great
thinkers” sepaham soal perlunya takwil. Hanya saja, bagi Ibn Rusdy takwil tidak
bisa dilakukan oleh sembarang orang sebagaimana ditegaskan dalam “Al Kashfu an
Manahij al Adillah fi Aqaid Al Millah” (diterjemahkan Aksin Wijaya dengan judul
“Kritik Nalar Agama”).
Ibn Rusdy memperingatkan bahwa takwil
yang dilakukan oleh bukan ahlinya, seperti orang yang tidak tahu tentang
kedokteran (bukan dokter), lalu menafsir jenis obat pada resep yang dibuat oleh
dokter. Tafsirnya meleset, dan pastinya akan merusak tubuh yang mengkonsumsi
obat tersebut. Karena itu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang
penafsir agar tidak sebatas cocokologi yang menyesatkan.
Akhirnya, filsafat, teologi, dan cinta
(sufistik) menemukan medannya di ruang-ruang metaforik. Keempatnya berbaur
dalam makna dan maksud yang tergores pada fonem, kata, kalimat, dan diskursus.
Komunikator yang baik dalam filsafat, teologi, dan cinta adalah mereka yang
berstyle metaforis.
#dimuat di Qureta sebelumnya 22/06/2019
0 Komentar