Oleh:
Herlianto A
Sumber: kompasiana.com |
Sekitar dua
tahun lalu, saya sempat merencanakan suatu mini riset dengan judul “Fashion dan
Agama: Legitimasi Etik Berbusana Dalam Islam Terhadap Budaya Konsumtif Atas
Busana”. Asumsi awal riset ini adalah bahwa kehendak berbusana yang
dikembangkan sedemikian rupa oleh industri fashion tidak melulu soal
memperindah penampilan tetapi juga didorong oleh sikap etis sebagai insan
beragama (Islam). Prilaku konsumtif atas busana dimotivasi oleh upaya pemenuhan
terhadap tuntutan beragama yang dalil-dalil etiknya dapat dijumpai dalam
Alquran dan hadist.
Dalil-lalil
itu di-framing dan di-pining yaitu dikemas dan ditonjolkan
sedemikian rupa oleh para pelaku fashion melalui iklan atau bahkan menyewa
“ustad” sebagai juru bicaranya, sehingga menghantui insan beragama untuk terus
berbelanja fashion secara gila-gilaan. Alhasil, berbelanja busana dianggap
sebagai suatu pengabdian atas perintah agama.
Hipotesa ini,
sebetulnya, mengabil “template” dari “The Protestant Ethics and Spirit of
Capitalism” karya Max Weber. Weber menyatakan bahwa etika protestan yang
disebut panggilan (Ing: calling) atau (Jer: beruf) menganjurkan
umatnya untuk bekerja sekeras-kerasnya, karena itu yang diinginkan agama
(protestan). Dorongan etik ini yang dimanfaatkan oleh kapitalisme untuk
meningkatkan akumulasi modalnya, dengan memaksimalkan kerja buruhnya.
Nah, hanya
saja dalam riset ini rencananya dispesifikkan pada fenomena berbusana dalam
Islam (Indonesia). Sayang, meski sebetulnya tidak terlalu sulit
merealisasikannya, tetapi beberapa kendala cukup mencegahnya sehingga mangkrak.
Namun,
belakangan ini saya memikirkan kembali rencana itu seiring dengan maraknya
fenomena hijrah yang kini menjadi isu primadona. Tampaknya asumsi etika
berbusana yang sebelumnya saya hipotesiskan berlanjut ke sikap etik berhijrah.
Hijrah adalah kelanjutan “kampanye” industri fashion nusantara untuk terus
mendorong “pelaku agama” tetap menggila berbelanja pakaian, wabil khusus
kaum “emak-emak”. Mengapa demikian?
Hijrah yang
saya jumpai, untuk sementara, di beberapa tempat mensyaratkan identitas
kehijrahan, yaitu busana gamis panjang dengan jilbab yang juga panjang. Hijrah
diidentikkan dengan busana besar dan menjulur menyapu tanah. Maka, agar dinilai
hijrah secara simbolik, seseorang harus mengenakan pakaian besar tersebut yang
bisa didapatkan di butik-butik terdekat atau toko online. Di sinilah genderang
kontestasi belanja ditabuh.
Namun soalnya,
adakah relasi substantif antara hijrah dengan identitas busana tersebut? Saya
kira relasinya sebatas tanda saja tak lebih. Dari tak berhijab ke berhijab
sebagaimana disyariatkan. Tetapi itu bukanlah yang primer karena hijrah
sesungguhnya adalah tekat mempelajari agama dengan baik dan benar lalu
mempraktikkannya dengan sungguh-sungguh, bukan berlomba besar-besaran busana.
Sayangnya
fenomena ini sudah menjadi trend, trensetter dan lifestyle. Para
pengguna busana besar itu sudah membangun komunitas-komunitas untuk mengekslusi
diri dari yang tak berpakaian besar. Menyelenggarakan event-event yang hanya
berlaku bagi kalangan mereka saja. Biasanya, pola bahasa sapaannya (addresse)
juga tertentu misalnya: sis, jeng, non. Komunitas ini yang
belakangan dikenal dengan “emak-emak sosialita” yaitu kalangan istri-istri dan
ibu-ibu muda yang sevisi dan seidentitas dalam bingkai hijrah lewat identitas
fashionnya.
Menariknya
lagi, harga pakaian besar yang dikenakan sama sekali tidak murah. Jenis mode
itu adalah pakaian yang tak mungkin dikenakan oleh ibu-ibu pedagang sayur yang
pontang-panting ngangkut sayurnya sendiri menggunakan motor ke pasar, baik
secara harga maupun desainnya. Juga tidak mungkin digunakan penjual pecel,
termasuk kalangan petani. Rupiah yang mereka dapatkan dari jerih payahnya hanya
cukup untuk makan sehari.
Pendek kata,
identitas kehijrahan melalui busana adalah sekaligus menjadi penanda kelas
sosial. Paling tidak penikmat busana hijrah berasal dari kelas menengah ke atas
atau istilahnya OKB (Orang Kaya Baru) yang tidak perlu memikirkan ngangkut
sayur, ngolah sambel pecel, apalagi bercocok tanam di sawah. Itulah sebabnya,
mukena Syahrini seharga 3,5 juta rupiah laris manis di kalangan mereka, yang
tak mungkin dibeli kelas bawah. Hijrah yang disimbolkan lewat busana ini lebih
kepada tentang kelas ketimbang agama.
Jadi, fenomena
ini kembali menunjukkan bagaimana legitimasi etik agama selalu dapat di-framing
oleh industri plus kapital untuk meningkatkan penjulan produksinya demi
mengumpulkan modal sebanyak-banyak. Kita akan terus menyaksikan pergeseran-demi
pergesera mode fashion yang tetap dikaitkan dengan agama, walaupun sebetulnya
sebatas “memanipulasi” agama.
0 Komentar