Oleh: Herlianto A
Sumber: pixabay.com |
Ramadan
telah berpamitan untuk undur diri, dan insyallah akan kembali bersua di
tahun yang akan datang, jika ada umur panjang. Namun, apa dan bagaimana setelah
Ramadan ketika tak ada lagi takjil di masjid-majid?
Pertanyaan
ini cukup reflektif untuk dijawab oleh kita semua, utamanya yang telah “katanya”
menjalankan ibadah mulia ini. Pertanyaan ini bukan untuk menilai apakah puasa
kita diterima atau ditolak oleh Tuhan. Biarlah jawaban itu menjadi otoritas
Tuhan, dan tetap enigmatis bagi kita semua.
Namun,
yang cukup kasat mata untuk menjawab pertanyaan di atas adalah habit sosial apa
yang bisa kita teruskan pasca bulan suci ini. Akankah rasa lapar sebulan penuh
hanya sebatas urusan “mahdah” yang berarti minus dimensi sosial, atau juga
sekaligus “ghairu mahdah” yang berarti menjadikan puasa sekaligus sebagai
ritual sosial. Dimensi pertama mungkin telah berakhir seiring berakhirnya
Ramadan, tetapi dimensi kedua akan terus berlanjut hingga bulan penuh rahmat
ini kembali datang.
Adalah
mafhum bahwa selama Ramadan kita berupaya membiasakan dan melatih diri dari
menahan diri dan melakukan beberapa hal yang dianjurkan. Kita melatih menahan lapar
dan dahaga serta keinginan akan kenikmatan lainnya. Lantas, apa nilai sosial
dari tidak makan dan tidak minum ini?
Salah
satu dorongan terbesar manusia adalah urusan perut alias makan. Manusia bekerja
keras dan mengumpulkan berjibun-jibun harta hanya untuk memastikan bahwa
dirinya, keluarga, beserta anak keturunannya tidak kelaparan.
Ini
tidak salah, bahkan Islam menganjurkannya. Salah satu falsafahnya menyatakan
bahwa kemiskinan dekat dengan kekufuran. Ini artinya kita harus menyelamatkan
perut kita dari kelaparan demi menjaga kekuatan aqidah dan ketangguhan keimanan.
Tetapi, bukan berarti menghalalkan segala hal demi memuaskan perut. Seperti,
korupsi, curang dalam berdagang, menipu, membegal dan kebejatan lainnya.
Jika
memang tidak memungkin untuk memenuhi kebutuhan perut secara halal, maka
sebaiknya berpuasa sebagaimana kita telah biasa lakukan di bulan Ramadan. Itu
artinya kita tidakkaget lagi dengan rasa lapar dan haus.
Kita
membiasakan salat taraweh berjamaah di malam Ramadan. Ibadah ini sebaiknya diletakkan
bukan sebatas memburu pahala. Tetapi ada dimensi persaudaraan yang dapat
mengeratkan integrasi sosial kita. Membangun kerukunan dan kekompakan sosial
lewat setiap salaman yang kita lakukan sehingga solidaritas sosial kian kokoh.
Kita
diwajibkan membayar zakat. Kita semua tak meragukan dimensi sosial ibadah yang
satu ini. Bila Aristoteles menegaskan zoonpoliticon, bahwa kodrat
manusia adalah mahluk sosial. Maka
kewajiban zakat bukan saja membenarkan ajaran itu, tetapi juga memperdalamnya hingga
bahwa hakikat sosial manusia mesti diwujudkan melalui pemberian oleh yang mampu
pada yang papa.
Harapannya
agar harmoni sosial dapat terjadi. Jurang pemisah antara “the have” dan the “the
poor” dapat terjembatani. Jembatan ini mesti terus dibangun dengan model shodaqah
yang tak terputus pasca ramadan. Dampaknya adalah kesetaraan sosial.
Dan, tak
kalah pentingnya Ramadan diakhiri dengan saling maaf memaafkan di hari raya
idul fitri sehingga menjadikan hari kita fitri (suci), kembali lebar sebagaimana
bayi baru lahir. Maaf bukan saja kerendahan untuk meminta maaf, tetapi juga
kerendahan untuk menerimanya. Pada penerimaan keduanya maka tak ada lagi benci
dan dendam. Kebiasaan mesti kita lestarikan meskipun tak ada lagi takjil
dibagikan di masjid dan di perempata jalan.
0 Komentar