Oleh: Herlianto A
Sumber: pinterest.com |
Puluhan bahkan ratusan kameramen
akan sibuk mengarahkan moncongnya ke sasaran. Hadirin mendial ponselnya, mengeklik
“camera”, lalu cekrek, kemudian berebut berswafoto. Tak lama kemudian
muncul di instatory masing-masing, juga di beranda-beranda medsos dengan
caption yang simpatik dan bahkan heroik. Kue bundar berlapis keju diletakkan
di meja yang di atasnya ada lilin bertuliskan angka 137 menyala apinya.
Hadirin lalu berdiri, dan
bernyanyi “happy birth day to you” serempak, berulang-ulang. “Tiup lilinnya,
tiup lilinnya” menggema dengan penuh riang. Lilin itu ditiup, asapnya mengepul,
lalu hadirin memberikan tepuk tangan yang paling meriah. Kue dipotong dan
diberikan pada para tokoh bangsa yang hadir. Beberapa anak-anak muda bertanya “apa
rahasia hidupnya hingga bisa bertahan di usia 137?”. Namun, pertanyaan itu tak
terjawab, saking ramainya suasana, semua pada sibuk salaman dan “tempal-tempel”
pipi.
Para “kuli tinta” sibuk mencari
ruang untuk wawancara. Mempertanyakan pendapatnya tentang politik nasional
mutakhir yang miskin konsistensi, tentang orang-orang dungu yang mensweeping
buku, tentang “perdagangan agama”, dan isu-isu kemanusiaan lainnya yang tak
selesai. Tentang pencabulan, tentang pendidikan, dan bahkan posisi Indonesia
dalam perseteruan internasional antara Amerika vs Cina dan Amerika vs Iran.
Begitulah bayangan saya awalnya,
andaikan HOS. Tjokroaminoto masih hidup hari ini. Iya, tepat 16 Agustus 1882 lalu dia lahir di Madiun.
“Raja Jawa tanpa mahkota” itu―begitulah
kolonial Belanda memberi julukan―dibayangkan
merayakan miladnya yang ke 137. Tapi saya kira bayangan saya ini sangat
salah. Tjokroaminoto tak secemen itu, dan tak segeli itu menempatkan dirinya
dalam kehidupan sosial. Malah, mungkin saja, pesta ulang tahun yang mubazir itu
yang akan dikecam habis-habisan.
Alih-alih hidup
mewah, sosok “Harimau Mimbar” itu akan melanjutkan proyeknya tentang “Islam dan
Sosialisme” bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang adil. Dia akan
mengevaluasi turunan-turunan dari anasir sosialisme Islam yang dirancangnya yaitu
kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan (gelijkheid-equality),
dan persaudaraan (broederschap-fraternity). Lalu membenahi di beberapa
bidang yang selewengkan oleh para muridnya semacam Semaun dan Kartosuwiryo.
Semaun bersama koleganya,
Darsono, menarik sosialisme Islam ke pojok paling kiri: marxis-sosialis. Suatu
corak sosialisme yang diragukan dapat bertahan lantaran pijakannya yang
berlebihan pada materialisme. Tjokroaminoto akan mengajari Semaun bahwa materialisme
merupakan hasrat kasar yang berlebihan
pada kebendaan yang harus dilawan dengan hasrat halus: spritualisme. “Ingatlah
materialisme boleh dirusak oleh suatu materialisme yang lebih besar.
Materialisme dapat dibinasakan tetapi spritualisme tidak” demikian nasihatnya (Islam dan Sosialisme, 2010: 30).
Karena itu, dia
cukup detail menggali nilai-nilai sosialisme Islam. Dia menemukan sepenuhnya di
sana, bahkan tak ragu mengatakan bahwa Islam itu sendiri adalah sosialis.
Tjokro begitu banyak menemukan ayat dan hadis yang menganjurkan kemerdekaan,
persamaan, dan persaudaraan. Begitu juga dengan tuntutan bersosial, dalam rumah
tangga, bahkan ibadah, terutama zakat yang dianggapnya sangat berdimensi
sosialis.
Para sahabat
Nabi, diyakini sebagai contoh yang tepat mempraktikkan hidup secara sosialis,
terutama Umar dan Ali yang dianggap aktor utama dalam mendirikan negara
sosialis. Dia juga meyakini bahwa imperium Islam zaman sahabat adalah imperium
sosialis yang berbeda dengan imperium Belanda yang kapitalis.
Pada
Kartosuwiryo yang menarik sosilismenya ke pojok kanan, Tjokro akan menjewer
telinganya karena salah menafsirkan bahwa nilai Islam telah sempurna sebagai
sumber sosialisme dipahami dengan mendirikan negara Islam, yaitu DI/TII. Dia
akan menceramahi kembali Kartosuwiryo bahwa yang cocok bagi nusantara adalah
bukan negara Islam tetapi negara bangsa (nation state). Islam adalah
nilai universal yang tidak bisa batasi oleh ruang bernama negara. Biarlah Islam
meresap pada semua prilaku berbangsa dan bernegara, terutama nilai-nilai
sosialisnya.
Lalu, mungkin
saja Tjokroaminoto akan menepuk-nepuk pundak Sukarno, dan sedikit memujinya,
yang cukup berhasil menerjemahkan sosialisme Islam menjadi Nasakom. Di mana
nasionalis, agama, dan komunis (sosialis) dapat dipertemukan. Hal ini sebagaimana
diulas oleh Sukarno dibukunya “Di bawah Bendera Revolusi”. Tekat Sukarno itulah
yang kemudian membawa Indonesia sebagai negara bangsa yang kemudian disebut “bangsa
Indonesia” memproklamasikan diri pada 17 Agustus.
Tetapi,
Tjokroaminoto tak akan lupa juga untuk mengingatkan Sukarno agar tidak
mempermainkan anaknya, Inggit Ganarsih, yang sempat dinikahinya. Dan sebisa
mungkin mencegah hasrat Sukarno untuk tidak terus-menerus mengkoleksi perempuan.
Agar segera mencukupkan diri bermain-main di gua garba.
Kemudian pada semua
murid-muridnya, Tjokroaminoto akan mengajarkan bahwa sosialisme Islam adalah
sosialisme dari bawah bukan dari atas. Sosialisme yang dibentuk bukan dari
kekuasaan seperti Bolsjevik ataupun diktator proletariat, melainkan dari bawah
dengan mengubah sifat dan akhlak tiap-tiap orang hingga terbangun sifat
sosialistisnya, itulah cara nabi (Islam dan Sosialisme, 2010: 136).
Terakhir dia
mengisahkan tentang seorang mata-mata (spion) raja suatu negeri yang
memantau cara kerja Sayyidina Ali dalam memimpin negeri Arab. Ketika mata-mata itu
sampai di Madinah, dia menanyakan istana raja. Betapa herannya dia, karena
rumah Ali terbuat dari lumpur. Kemudian dia bertanya di mana bisa melihat sang
khalifah. Lalu dia dibawa ke lokasi di mana Ali beraktivitas sehari-hari. Mata-mata
itu begitu kaget melihat Ali sedang menyiram tanaman di kebun seorang Yahudi
dengan air yang dibawa sendiri dipundaknya. Begitulah seorang sosialis terbesar
di zamannya yang memimpin negeri lebih besar dari Romawi itu (Islam dan
Sosialisme, 2010: 97).
Setelah,
menceritakan kisah terakhir ini Tjokroaminoto ini akan meminta murid-muridnya
itu untuk turun ke masyarakat, berdakwah tentang sosialisme Islam pada
mereka-mereka yang phobia terhadap Islam maupun mereka yang “ganjen” dengan
negara Islam. Agara sosialisme dapat dipahami dengan tepat dan proporsional.
Ya, itulah
sebuah imajinasi. Apa dikata, 17
Desember 1934, sang nasionalis berpulang pada sang khalik. Hanya
buku-bukunyalah yang terus hidup hingga hari ini dan merayakan ulang tahun
penulisnya dengan senyap di rak-rak buku, pada kutipan-kutipan di
jurnal-jurnal, artikel-artikel, dan media-media lainnya.
Tjokroaminoto adalah orang
pertama yang berhasil menyalakan lentera “Sosialisme Islam” di Indonesia yang
hingga hari ini lentera itu belum padam, sekalipun juga tidak kunjung
terkonversi menjadi lampu yang terang bagi negeri. Tetapi lentera itu masih
menjadi penerang di kegelapan ketidakadilan yang menyergap masyarakat terzalimi,
di rumah-rumah yang tergusur dan di sawah-sawah yang terserobot. Selamat ulang
tahun sang pejuang bangsa.!
0 Comments