Oleh: Herlianto A
Sumber: thebluediamondgallery.com |
Setelah menerjemahkan Being
and Time dari Jerman ke Inggris, Macquarrie dan Robison menyatakan bahwa magnum
opus Martin Heidegger itu merupakan buku yang sangat sulit, bahkan bagi
pembaca Jerman itu sendiri. Tidak semua orang dapat memahaminya dengan tepat.
Saking sulitnya, sebagian kalangan tidak terlalu berkenan untuk menerjemahkan
karya tersebut dari bahasa aslinya: Jerman, ke bahasa apapun. Upaya
penerjemahan akan membuat makna-makna yang tergurat pada diksi buku tebal itu
akan mengalami pendangkalan. So, it has often been called “untranslatable”.
Pengalaman ini hanya satu contoh
dari ekspresi rumitnya filsafat. Kita akan merasakan hal yang sama dengan Macquarrie
dan Robison saat membaca karya-karya lainnya baik dalam tradisi filsafat Barat
maupun Timur (Islam). Bagi yang ingin mencoba bisa dibaca Phenomenologi of
Spirit dan Science of Logic karya GWF. Hegel atau Al Isyarah Wal
Tanbihat karya Ibn Sina, versi Inggrisnya diterjemahkan Shams C. Inati
dengan judul Remarks and Admonitions. Tentu saja beberapa karya besar
dan tebal lainnya.
Membaca karya-karya itu kita akan
berhadapan dengan diksi-diksi yang begitu asing dan maknaya yang kadang tidak
sederhana (literal). Ditambah cara menyatakannya menggunakan kalimat yang
sangat panjang dan penuh frasa-frasa tambahan (appositive). Beratnya
lagi, filsafatnya ditulis dalam buku yang sangat tebal dan berjilid-jilid. Dahi
menjadi semakin mengernyit.
Maka membaca teks filsafat
demikian, kita harus memiliki tiga kekuatan (endurence): kekuatan secara
fisik, tidak mudah lelah dan ngantuk; kekuatan pemahaman, cepat dan tepat
menangkap makna; dan kekuatan kesabaran untuk mengulang-ngulang paragraf yang
kompleks dan subtil, serta memeriksa konsep dari suatu kata. Beberapa kenyataan
inilah yang lalu membuat filsafat diidentikkan dengan “rumit”. Beberapa penulis
pun komentator filsafat kemudian merasa belum sah sebelum menulis dengan
kalimat-kalimat yang rumit dan “membingungkan pembaca”.
Persoalannya, untuk apa kerumitan-kerumitan
itu? Pertanyaan ini mungkin akan dikecam sebagai terlalu pragmatis dalam berfilsafat. Namun
bukankah yang diinginkan oleh filsafat itu adalah pemahaman dan lebih jauh
praktik dari pemahaman itu. Karena itu pemahaman mestinya lebih diutamakan
ketimbang keindahan kata-kata yang terkesan sublim.
Filosof menjelaskan realitas
bukan saja kepada sesama filosof atau para akademisi tetapi kepada rakyat juga,
yaitu orang-orang yang sehari-harinya tidak bergelut dengan teks filsafat. Maka
upaya untuk meringankan penggunaan kalimat-kalimat filsafat menjadi perlu
dilakukan oleh penulis filsafat.
Mereka mesti menghadirkan
paragraf yang mudah dipahami oleh khalayak agar spirit emansipasinya
tersampaikan dan tidak tenggelam dalam diksi yang berbelit. Filsafat mestilah
populer agar dapat diakses oleh “rakyat”. Artinya filsafat perlu disajikan
seperti bacaan pada koran yang bisa dibaca oleh siapapun mulai dari tukang
becak, ibu rumah tangga, petani, nelayan hingga akademisi. Pendeknya, filsafat
untuk rakyat.
Kesederhanaan kalimat dalam
mengungkapkan gagasan filosofis sama sekali tidak akan mengurangi arti penting
dari gagasan tersebut. Secanggih apapun rumusan filsafat tetapi tidak dipahami
oleh orang lain, maka berarti tidak memiliki urgensi sama sekali.
Dengan demikian, menjadikan
pemikiran filsofis dijangkau oleh lebih banyak kalangan merupakan persoalan di luar
isi filsafat yang mesti dipikirkan. Filsafat populer bisa jadi satu alternatif
yang mungkin dilakukan lebih-lebih di era serba instan ini di mana kemudahan
menjadi kunci bagi hal apapun. Dengan melenturkan metode penyampaian ini,
berarti filsafat populer menyajikan ide-ide filosofis atau komentar-komentar
atas filsafat dengan lebih renyah, ringan, populer namun tanpa mengurangi
kekuatan ide-idenya.
Lebih-lebih saat ini kita sudah
dihadapkan pada era digital, media daring, dan medsos yang merajai dunia maya. Teknologi
informasi ini telah menyasar pada semua lapisan masyarakat dengan segala level
pengetahuannya, dari yang sangat ahli filsafat hingga yang baru mendengar kata
filsafat. Melalui media itu pula tak sedikit tulisan-tulisan filsafat dipos dan
di dibagikan secara online tanpa batas. Ini berarti tulisan itu akan menyasar
pada semua orang tanpa peduli apakah mereka sudah memiliki dasar filsafat atau
tidak.
Penulis filsafat bisa saja tidak
peduli dengan pembaca yang tidak memiliki dasar filsafat, namun sikap demikian
sama sekali bertentangan dengan kearifan berfilsafat itu sendiri. Di mana
filsafat untuk memudahkan manusia mengarungi hidup ini, filsafat menyelamatkan
bukan menjerumuskan. Disamping itu, era cyber ini memungkinkan semangat
menjalani hidup yang diperiksa itu dapat dipersuasifkan. Dengan kata lain,
filsafat populer akan memungkinkan para pembaca yang lebih luas tentang ide-ide
dan metode-metode filsafat serta semagat emansipasinya.
Akhirnya, pada mulanya filsafat
dinyatakan dengan mudah, karena itu Plato menulisnya dalam bentuk dialog-dialog
yang ringan. Perkembangannya di kemudian harilah yang membelotkan semangat
mudahnya penyajian filsafat ini menjadi begitu subtil. Lebih-lebih filsafat
yang tumbuh di abad modern utamanya filsafat kontinental yang cenderung
berspekulasi dengan kata-kata sastrawi. Wajar kemudian, jika Wittgenstein
dengan nada sedikit frustasi menyatakan filsafat (terutama metafisika) tak
lebih dari “permainan kata-kata”.
0 Komentar