Oleh:
Herlianto A
Sumber: commons.wikepedia.org |
Dalam Oksidentalisme:
Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat Hasan Hanafi menyatakan bahwa momen
penting dari sejarah kemajuan peradaban Islam di masa lalu adalah penerjemahan
dan anotasi terhadap karya-karya luar Islam, salah satunya Yunani. Dalam hal terjemahan
ini, yang menarik adalah hadirnya Hunain Ibn Ishaq–nama lengkapnya Abu Zaid Hunain Ibn Ishaq al Ibadi–sebagai salah satu sosok
penerjemah utama. Dia rupanya, meski namanya berbahasa Arab, adalah seorang non
Islam (Nasrani) yang sangat dipercaya.
Namun begitu,
totalitas dan kemampuannya dalam melakukan penerjemahan karya-karya Yunani ke
dalam Islam tidak diragukan lagi. Bahkan, menurut Abed Al Jabiri dalam Formasi
Nalar Arab, dia dipercaya oleh khalifah Al Ma’mun untuk menjadi kepala biro
penerjemahan sekaligus kepala perpustakaan Baitul Hikmah yang menjadi pusat
ilmu pengetahuan di Bagdad kala itu. Hunain menangani penerjemahan karya-karya
pemikiran Yunani ke bahasa Arab, terutama Aristoteles.
Arti penting
kehadiran Hunain saat itu didukung oleh proyek Al Ma’mun untuk membangun
pengetahuan Islam dengan mempelajari pemikiran non-Islam. Langkah ini merupakan
penyempurnaan terhadap upaya transliterasi yang dilakukan oleh Yuhina Al Bitriq
sebelumnya. Catatan Philip K. Hitti dalama A Short History of Arabs bahwa
proses penerjemahan besar-besaran buku-buku non bahasa Arab ke bahasa Arab
sangat gencar di rezim dinasti Abbsiyah. Era transliterasi ini berlansung
kurang lebih seratus tahun dimulai sejak 750 M.[1]
Orang-orang
yang memiliki kemampuan bahasa asing dan dapat menerjemahkannnya mendapat
kredit nilai yang terhormat dan hidup sejahtera. Alam pemikiran Yunani memang
salah satu yang diincar. Sebelum kehadiran Hunain, para penerjemah lebih banyak
berbahasa Aramaik (Syria) sehingga menerjemah karya Yunani ke bahasa Armaik
baru kemudian ke bahasa Arab. Model terjemahan segitiga. Tetapi setelah Hunain
hadir penerjemahan dilakukan secara langsung dari bahasa Yunani ke Arab.
Diceritakan
oleh David W. Tschanz dalam Hunayn bin Ishaq: The Great Translator bahwa
awalnya dia adalah mahasiswa kedokteran dibawah asuhan Yuhanna bin Masawayh.[2]
Dia tertarik dengan karya-karya kedokteran klasik sehingga dia mempelajari
teks-teks Yunani. Menurut versi K. Hitti, Hunain sempat menjadi pembantu
seorang dokter. Kemudian diejek oleh majikannya itu, bahwa dia tidak akan mampu
memahami ilmu pengobatan. Hunain lalu tersinggung dan bertekat mempelajari
bahasa Yunani demi belajar ilmu kedokteran.[3]
Dia kemudian
melakukan penerjemahan terhadap teks-teks kedokteran dari Yunani berkat bahasa
yang dikuasainya. Karya-karya kedokteran populer Hippokrates, Aristoteles,
Galen, Discorides, dan beberapa komentatornya Oribasius dan Paul dari Aeginata
berhasil diterjemahkan. Hunain juga, dalam penelitian Greg de Young berjudul Ishaq
ibn Hunayn, Hunayn ibn Ishaq, and The Third Arabic Translation of Euclid’s
Elements berkolaborasi dengan anaknya Ishaq Ibn Hunain dalam membuat
terjemahan versi ketiga dari karya penting Euklides “Elements” dalam bahasa
Arab. Disebut versi ketiga karena versi kedua diterjemahkan oleh Al Hajjaj,
sementara terjemahan versi pertama sudah tidak ditemukan lagi naskahnya.
Setelah banyak
menerjemahkan teks-teks kedokteran, Hunain merambah buku-buku filsafat Yunani.
Dia menghidangkan buku-buku filsafat Plato dan Aristoteles dalam bahasa Arab.
Memang upaya ini sebagaimana semangat Al Ma’mun untuk mengenalkan pemikiran
rasionalisme Yunani kepada Islam, maka karya Aristoteles secara lengkap
diterjemahkan Hunain ke bahasa Arab. Mulai dari Organon, Retorika,
Puitika, Metafisika, tentang biologi dan astronomi dst. Ada sekitar
100 karya yang dinisbahkan ke Aristoteles, semuanya berhasil diterjemahkan oleh
Hunain yang disupport oleh Ibn Muqaffa, Ibn ‘Adi dan Ibn Zir’ah.[4]
Dengan
demikian, menjelang berakhirnya periode penerjemahan, semua karya Aristoteles
sudah dapat dinikmati oleh orang-orang Islam kala itu dalam bahasa Arab. Buku-buku
itu dapat dibaca sambil ongkang-ongkang kaki tentu saja dengan segelas kopi.
Hal ini, menurut K. Hitti, suatu kemajuan yang luar biasa dalam peradaban Islam,
bahkan di saat orang-orang Eropa tidak mengenal pemikiran dan ilmu Yunani sama
sekali. Saat Harun Al Rasyid dan Al Ma’mun tenggelam mempelajari filsafat
Yunani dan Persia, Eropa baru saja belajar menuliskan nama-nama mereka.[5]
Kendati
begitu, Tschanz mencatat juga, bahwa sebetulnya Hunain tidak hanya melakukan
penerjemahan, tetapi juga mengorbitkan orisinalitas pemikirannya sendiri. Salah
satu karya pentingnya yang dianggap orisinal adalah Introduction to Healing
Arts. Selain itu dia juga diketahui menulis tentang psikologi, anatomi dan
pengobatan mata yang penting bagi dunia optik. Karya-karya itu berpegaruh tidak
hanya di dunia Islam tetapi juga hingga ke Eropa.
Cerita kecil
lainnya, adalah konon Hunain sempat dihukum karena menolak permintaan khalifah Mutawakkil
untuk membuat racun demi membunuh musuhnya. Dia menolak dan menyatakan bahwa
ilmu yang dipelajarinya bukan untuk membunuh ataupun mencelakakan orang, dan
ini adalah sumpah bagi seorang dokter dan ahli fisika yang tidak boleh
dilanggar. Tapi akhirnya dia dibebaskan.
Pertanyaan
kecilnya: mengapa penerjemahan terjadi begitu masif kala itu dan terasa asyik? Selain
memang ada kepentingan yang cenderung politik rezim Al Ma’mun dengan
rasionalisme untuk mengatasi Batiniah dan Hermetisme, juga penghargaan yang
sangat tinggi kepada para penerjemah. Setiap karya terjemahan yang selesai akan
dibayar dengan emas seberat buku terjemahan itu. Hunain Ibn Ishaq sendiri
digaji sebesar 500 dinar perbulan oleh pemerintah.
Kendali
penerjemahan dikontrol langsung oleh negara, bukan oleh penerbit-penerbit
curang dan zalim. Penerbit yang hanya mengambil untung sebesar-besarnya tetapi
tidak mempedulikan kesejahteraan penerjemah. Maka, kehadiran negara untuk
mengawal proses penerjemahan ini menjadi sangat penting bagi perkembangan ilmu
pengetahuan. Namun sayangnya, di negara kita kesadaran mensejahterakan
penerjemah sama sekali tidak jelas.
Demikian,
peran Hunain Ibn Ishaq, sosok Nasrani yang memperjuangkan kemajuan ilmu
pengetahu Islam. Ilmu ternyata dapat menembus sekat-sekat agama, ilmu bersifat
universal.
[1]
Philip K. Hitti. (2018). A Short History of The Arabs., hal 132
[2]
David W. Tschanz. (2003). Hunayn bin Ishaq: The Great Translator., hal
39
[3]
Philip K. Hitti. (2018). A Short History of The Arabs., hal 133
[4]
Abed Aljabiri. (2014). Formasi Nalar Arab., hal 327
[5]
Philip K. Hitti. (2018). A Short Hitory of The Arabs., 135
0 Komentar