Oleh: Herlianto A
Sumber: blog-aos.blogspot.com |
Tahun 2017 lalu terbit buku “Object-Oriented Ontology: A New
Theory of Everything” ditulis Graham Harman. Satu buku yang berisi upaya serius
untuk memberikan alternatif baru terhadap pembacaan kita atas realitas, baik
politik, kebudayaan, arsitektur (seni), maupun filsafat itu sendiri. Melalui
buku itu, Harman mengajukan suatu gagasan filosofis yang disebut Object-Oriented
Ontology (ontologi berorientasi objek atau disebut juga filsafat berorientasi
objek). Teori ini secara singkat disebut Triple O (karena berinisial tiga O).
Menurut pengakuan Harman sendiri, gagasan filsafat ini
merupakan yang paling cukup provokatif di abad 21 di banding dengan
filsafat-filsafat yang bersandar pada bahasa macam Derrideanisme dan “konco-koncone”.
Berkembang sejak 1990an, tetapi pertama kali diseminarkan ide itu pada April 2010
di Atlanta. Bersamaan dengan gagasan Harman ini, turut berkontribusi di antaranya:
Ian Bogost, Timothy Morton, dan Levi R. Bryant (Harman, 2017: 8).
Triple O secara sederhana ingin mengatasi dua karang besar
dalam sejarah filsafat yang disebut “undermining” dan “overmining” (dua hal ini
disingkat menjadi duo mining). Undermining adalah kasadaran yang
meyakini bahwa objek itu dapat diakses secara langsung sehingga pengetahuan
manusia tentang objek adalah pengetahuan langsung. Dalam hal ini sebagaimana
dilakukan oleh sains.
Filsafat pra-Sokrates yang meyakini kosmos terbentuk dari komponen atau anasir
semesta berupa air (Thales), udara (Anaximes), api (Herakleitos), dan atom (Demokritos)
dst. juga termasuk di dalam golongan undermining ini. Karena itu filsafat
pra-Sokratik disebut juga physikoi yang berarti mereka yang konsen
dengan alam (Harman, 2017: 42-46).
Sementara, overmining merupakan kesadaran yang berkebalikan
dengan undermining. Overmining meyakini bahwa objek (realitas) tidak bisa
diakses secara langsung sama sekali. Pengetahuan manusia selalu negatif
terhadap objek hakiki itu. Tentu saja di barisan ini kita menemukan tokoh
utamanya yaitu Immanuel Kant. Dia bilang ada dunia noumena yang sama
sekali tidak bisa disentuh oleh pengetahuan. Dunia itu berada pada dirinya (das
ding an sich atau the thing in itself).
Senada dengan Kant berderet beberapa pemikir, di antaranya: Berkeley,
bahwa yang disebut objek tak lebih dari apa yang kita persepsi; kalangan
pragmatis (Peierce dan James), bahwa sesuatu adalah sejauh ia memberikan perbedaan
terhadap sesuatu yang lain; Husserl, bahwa objek dapat eksis lantaran secara
potensial berkorelasi dengan kesadaran; Derrida, tidak ada apapun selain teks (there
is nothing outside the text). Tentu saja juga beberapa orang yang sealiran
lainnya, yang disebut secara presisi oleh Quentin Meillassoux dengan sebutan figur
“korealsionisme”.
Dengan pembacaan demikian, Harman ingin membuat kapal yang
dapat berlayar di antara dua kesadaran itu. Nah kapal ini yang disebut aesthetics
(estetika). Dengan sangat antusias dia menyebut “aesthetics is the root of all
philosophy”. Estetika ini dibangun dari bahan bernama metafora yang gagasannya
diambil dari Jose Ortega y Gasset, pemikir asal Spanyol. Ortega, menurut Harman,
memberikan inspirasi yang luar biasa sehingga Triple O dapat bangkit, bahkan
sekaligus membenamkan sainstisme dan korelasionisme di senja yang kabut.
Melalui metafora, Harman ingin menegaskan keter-aksesan the
thing in itself tetapi tidak secara langsung sebagaimana saintisme,
melainkan melalui relasi yang tidak langsung. Bahwa metafora secara afirmatif
dapat menggambarkan sesuatu yang sublim itu dengan caranya sendiri yang unik. Metafora
tidak hanya soal kemiripan antara yang digambarkan (source domain) dan yang
menggambarkan (target domain) tetapi merupakan suatu koinsidensi yang
diawali dengan saling bertolaknya dua hal, lalu saling bertabrakan kemudian mencair
dan menemukan bentuk baru. Inilah yang disebut estetika yang tidak dibedakan
dengan metafora (Harman, 2017: 73).
Jadi, misalnya kita mengatakan hoaks (fitnah) itu seperti
api. “Hoaks” dan “api” adalah dua hal yang berbeda. Artinya hoaks adalah hoaks
pada dirinya, begitu juga dengan api. Tetapi kemudian perbedaan ini bertemu,
lalu api menarasikan hakikat hoaks (yang ada pada dirinya itu) yaitu dengan
sifat api yang membakar.
Bahwa hoaks dapat merusak kehidupan sosial seperti api yang
membakar. Maka “hoaks seperti api” adalah estetik atau metaforik. Kesubliman
hoaks disingkap secara tidak langsung oleh gambaran sifat api. Cara ini yang
dianggap membedakan object-oriented ontology dengan saintisme dan
korelasionisme.
Dengan penjelasan tersebut, ada dua hal penting yang bisa
kita catat. Pertama, konsekuensi dari teori ini menyerang empat corak filsafat
sebelumnya: yaitu fisikalisme dan paham atomistik (smallism) yang
diidentikkan dengan undermining, paham anti fiksi, dan literalisme. Kedua,
Harman menempatkan definisi baru tentang sesuatu (thing). Dia lebih
menyebut objek dan bukan sesutau (thing).
Objek berarti apapun yang tidak bisa direduksi pada
komponen-komponen penyusunnya (inwardarness), juga tidak bisa direduksi
pada akibat yang ditimbulkan pada sesuatu yang lain (upwardness) (Harman,
2017: 43). Artinya Triple O bukanlah materialisme baru juga bukan idealisme
baru. Dengan begitu, Harman mendeklarasikan ontologi berorinetasi objek sebagai
teori segala sesuatu yang baru (a new theory of everything) yang
melampaui materialisme dan idealisme.
Walaupun begitu tentu saja kita perlu membicarakn lebih jauh
dari gagasan Harman ini. Tetapi kira-kira petanya seperti itu. Lalu apa
hubungannya dengan sufisme? Adalah menarik, menurut saya, ketika pengetahuan
yang dicapai melalui relasi tidak langsung (metaforik) itu dianggap suatu jalan
alternatif yang menjanjikan di abad 21 ini.
Pasalnya, kalangan sufi sejak lama menggambarkan Tuhan
sebagai the things in itself melalui estetika berupa puisi yang mana
tentu saja penuh dengan metafora. Salah satunya yang sangat kita kenal adalah
Jalaluddin Rumi, begitu juga dengan Muhammad Iqbal, Abdurrahman bin Jami, dan
sufi-sufi lainnya.
Apakah temuan Harman ini menjadi satu perkembangan baru
yaitu sufisme saintifik. Dalam hal ini mencoba membenarkan secara saintifik
cara-cara sufistik dalam menyingkap keindahan Tuhan dan mengintimkan cintanya
pada-Nya. Karena apapun alasannya, sekalipun Harman menolak cara-cara sains,
tetapi dia sebetulnya memunculkan alternatif sains yang lebih mengkover
realitas bahkan cara yang estetik sungguh mengesankan.
Walaupun itu, tentu banyak pertanyaan yang akan muncul.
Apakah filsafat berorinetasi objek ini sebatas mengilmiahkan cara-cara
sufisktik sebagaimana banyak dilakukan saat ini oleh beberapa penulis? Atau
akan turut membenarkan bahwa pencapaian sufistik juga sekaligus saintifik? Jika
begitu, bagaimana kita dapat mempertarungkan temuan ilmiah sufistik itu di meja
perdebatan saintisme kontemporer yang verifikasionis? Tentu saja ini persoalan
yang tidak mudah, namun begitu tetap menarik untuk kita perbincangkan lebih
jauh bagi perkembangan pengetahuan ke depan.
0 Comments