Oleh:
Herlianto A
Sumber: philosophyterms.com |
Kriteria
utama pengetahuan bagi Rene Descartes adalah membawa pada kepastian atau
absolut. Kriteria kepastian mensyaratkan penegasian atas semua hal-hal yang
meragukan dalam pikiran dan semua apapun yang dianggap benar dalam kehidupan
sehari-hari.
Inilah
salah satu visi dan misi filsafat dari filosof asal Prancis tersebut. Pemikiran
filosofisnya untuk menjawab pertanyaan itu tertuang di dalam dua buku
pentingnya: A Meditations on First Philosophy dan Discourse on Method.
Dalam
buku Meditations, pencarian Descartes akan pengetahuan yang pasti
dilakukan dengan metode skeptis, yaitu meragukan segalanya. Proses keraguan ini
diawali dengan memeriksa siapa dirinya.
Dia mengosongkan
semua pengetahuan tentang dirinya, baik yang dibentuk oleh agama, sains,
kebudayaan, maupun sejarah. Segala perangkat pengetahuan yang dia miliki
diasumsikan telah berbohong dan salah.
Tak
ada kepastian apapun di dalam dirinya. “Dalam keadaan demikian masihkah ada
kepastian?” tanya Descartes memulai meditasinya. Setipis-tipisnya kepastian
dalam asumsi ini adalah bahwa “tak ada yang pasti”, itulah kepastiannya.
Namun
kepastian yang tipis ini masih tak pasti karena itu berasal dari asumsi
fakultas pegetahuannya. Fakultas ini merupakan pemberian Tuhan, dan Tuhan
sebagai pemilik kepastian juga telah diasumsikan menipu atas semua yang manusia
ketahui termasuk pengetahuan Descartes bahwa tak ada yang pasti itu. Lalu apa
lagi yang masih pasti?
Tanya
ini membuat Descartes tenggelam dalam suatu lautan keraguan terombang-ambing
dalam kenihilan. Dia menggambarkan keadaan ini seperti masuk dalam pusaran air
yang dalam di mana dia tidak bisa berenang menuju permukaan dan juga tak bisa
berpijak pada dasar air itu. Suatu keadaan yang mengerikan.
Kemudian
perenungan dilanjutkan. Dia menelisik pada “penipuan Tuhan”. Di situ ditemukan
bahwa dalam adegan “penipuan oleh Tuhan” itu melahirkan kepastian, yaitu bahwa
penipuan itu terjadi karena dirinya adalah pasti. Seberapa canggih dan kejamnya
penipuan itu tetap membawa pada kepastian bahwa dia yang ditipu adalah pasti.
“Setelah
segala sesuatu dipertimbangkan dengan hati-hati, maka pada akhirnya harus
dikukuhkan bahwa putusan “aku ada, aku eksis” adalah mutlak benar bagaimanapun
aku menyatakan dan mempersepsinya dalan pikiran” demikian keyakinan Descartes (Meditations,
paragraf 15).
Temuan
ini masih menyisakan tanya, yaitu siapa Aku yang dimaksudnya dalam putusan “aku
ada, aku eksis” tersebut. Dalam menjelaskan siapa Aku, Descartes menjauhi
definisi umum tentang manusia ala Aristoteles: manusia adalah hewan yang
berpikir.
Definisi
ini tidak mengakhiri polemik, malah justru semakin jauh tenggelam ke pusaran
keraguan. Dia memilih mengidentifikasi Aku dari perangkat-perangkat pembentuk
atau penyususnnya. Bahwa aku tersusun oleh dua hal yaitu tubuh dan jiwa.
Tubuh
sebagaimana ditunjukkan dengan kaki, tangan, kepala, leher, dan organ-organ
lainnya. Sementara jiwa ditunjukkan oleh keinginan dan kehendak yang ada pada
tubuh: mulai dari kehendak untuk makan hingga kehendak untuk mengetahui.
Dengan
ini Descartes dapat dengan terpilah memahami tubuh tetapi tidak dengan jiwa.
Jiwa masih sumir. Namun setidaknya, secara sederhana dia mendapat pemahaman
bahwa dengan tubuh dirinya dapat mengerti atau memahami melalui pancara indera.
Kemudian dia yakin bahwa tubuh memiliki kemampuan untuk mempersepsi dan
berpikir.
Jika
demikian gambaran tentang Aku, bagaimana dengan Tuhan penipu, bukankah Aku yang
demikian itu telah diasumsikan tertipu? Serta bagaimana dengan asumsi bahwa
Descartes telah menolak atribut-atribut tubuh beserta organ-organnya? Kegamangan
lain muncul.
Descartes
lalu mengidentifikasi “berpikir” pada dirinya, bahwa aktivitas berpikir itu
sendiri tidak bisa dipisahkan dari dirinya. Seberapapun dihapusnya tubuh
manusia, berpikir dan pikiran tetap eksis.
Jika tubuh diasumsikan tiada, berarti Aku adalah sebagai sesuatu yang
berpikir (a thinking thing), inilah yang riil.
Penyebutan
sesuatu (thing) tidak dimaksudkan sebagai yang bersifat material jadi
pikiran bukanlah entitas material pada nomenklatur a thinking thing.
Mungkin tepatnya dimaknai sebagai entitas bepikir, “entitas” berarti tak peduli
material atau non material, namun yang pasti ada (bereksistensi).
Descartes
kemudian menguji seberapa independen sesuatu yang berpikir itu dapat
dipertahankan sebagai yang pasti eksis, jangan-jangan kepastiannya karena
dipikirkan oleh pikiran artinya ia ada sejauh diketahui.
Bagaimana
jika pikiran berhenti berpikir dan ia tidak diketahui, dapatkah a thinking
thing disebut eksis? Menurut Descartes tetap saja eksis karena apa yang dia
tidak ketahui tidak akan mengubah status eksis dari pikiran atau a thinking
thing.
Artinya
meskipun Descartes tidak mengetahui tentang entitas berpikir pada dirinya,
tetapi entitas itu tetap eksis karena eksistensinya tidak bergantung pada
pengetahuan yang dimiliki oleh Descartes sendiri.
Lalu
apa makna sesuatu yang berpikir itu? Menurut Descartes, a thingking thing
“berarti sesuatu yang meragu, mengerti, mengafirmasi, menolak, berkehendak,
tidak berkehendak, mengimajinasikan, serta memiliki persepsi indera”.
Kini
Descartes kembali menemukan berbagai atribut Aku yang sebelunya ditanggugkan
oleh asumsi keraguannya. Dia menegaskan bahwa tak ada yang memisahkan secara
terpilah antara Aku yang berpikir, dengan berbagai aktivitas berpikir lainnya. Maka
kepastian ditemukan, yaitu kepastian dirinya sebagai A Thingking Thing.
0 Comments