Oleh:
Herlianto A
Sumber: idssmile.com |
“Apa itu
kebenaran?” dan “apa indikator kebenaran?” Jawabannya adalah “follower”. Iya,
rezim teknologi yang dibrokeri oleh media sosial (medsos) cukup signifikan
memutar dan bahkan mereduksi habis-habisan persoalan kebenaran pada jumlah follower.
Suatu
pernyataan (proposisi atau putusan) yang dilempar ke publik dianggap benar
manakala dinyatakan oleh sosok yang memiliki follower medsos sangat
banyak. Para pengikut itu kemudian yang terlibat langsung memviralkan statemen
yang dianggap benar itu hingga nirbatas.
Alasan peraihan
otoritas inilah yang membuat memiliki jumlah follower banyak menjadi
impian setiap pemilik akun medsos. Dari situ diukur familiaritas dan bahkan
ketokohan seseorang. Tentu saja, motif lainnya adalah persoalan ekonomi.
Lantaran jumlah pengikut dapat dikapitalkan sedemikian rupa oleh sang pemilik
akun, melalui mode endorse atau iklan.
Namun tak
pelak, problem mendasar terjadi pada kebenaran yang diukur dari follower,
yaitu apa yang disebut Tom Nichols sebagai “The Death of Expertis” (matinya
kepakaran). Dalam hal ini temuan seorang pakar atau ahli yang dilakukan melalui
suatu penelitian yang panjang dan dengan metodologi yang ketat dan terukur akan
dikalahkan oleh pernyataan orang yang bukan siapa-siapa tetapi memiliki follower
melimpah.
Kebenaran ahli
tidak lagi memiliki dampak dan bahkan diabaikan, publik lebih percaya pada
pernyataan yang diviralkan oleh selebgram, facebooker, dan selebtwit,
ketimbang kajian ilmiah. Itulah yang kita lihat belakangan ini pada setiap
kasus yang viral.
Misalnya, bagaimana
sosok bersurban yang tidak jelas keahliannya, tiba-tiba mengomentari tentang
pertahanan militer calon ibu kota baru Indonesia di Kalimantan yang disebut mudah diserang
Cina. Sementara para ahli militer sendiri belum mengeluarkan kajian apapun.
Tetapi, sialnya, statemen sampah itu diyakini benar oleh para pengikutnya dan
diviralkan.
Memang,
petakanya, di zaman medsos ini semua orang dapat menyatakan pendapatnya secara
tidak terbatas di hadapan publik, secara anonim pula. Sehingga begitu para expert
dibunuh, maka lahirlah para ahli-ahli yang bisa menjustifikasi segalanya dengan
modal akun media sosial. Mereka lalu mengatakan apapun yang dimaui, termasuk
mencaci dan menghina.
Suatu hari,
saya melihat up date status di akun temen facebook saya. Dia sepertinya
mengomentari disertasi Abdul Aziz tentang Milk al Yakin dari sudut
pandang Syahrur yang lagi menyita perhatian. Teman facebook ini menulis begini:
“Milkul Yamin..? #Doktor_Sampah”. Tulisan singkat ini mempertanyakan tafsir milk
al yamin yang dianotasi Aziz. Lalu menjustifikasinya bahwa Aziz keliru dan
karenanya tak lebih dari doktor sampah.
Melihat ini,
saya mencoba bertanya: “apakah sudah membaca disertasi Aziz secara utuh?” Jawabannya
mengejutkan yaitu hanya melihat video Aziz saat diwawancarai salah satu stasiun
televisi. Kita tahu wawancara itu sangat terbatas, tidak membahas secara
tuntas. Dan sepertinya media hanya menonjolkan (framing dan pining)
sisi kontroversialnya ketimbang apa yang menjadi gagasan Aziz.
Kemudian, saya
membalasnya dengan singkat: “Itu disertasi ditulis selama tiga tahun. Dengan
penelitian yang panjang, menggunakan metode yang bisa diukur. Kemudian diuji
oleh dua profesor dan empat doktor. Dari para penguji ini ada ahli fikih, ahli
tafsir, ahli gerakan perempuan, dst. Walau banyak kritik dari pengujinya
disertasi ini dinilai memuaskan. Lah sekarang, mohon maaf, Anda itu
siapa? Apa kajian ilmiah Anda tentang milkul yamin?”
Balasan itu,
bukan untuk membatasi orang lain berkomentar di media sosial. Tidak sama
sekali. Melainkan sebatas ingin membedakan antara apa yang telah dihasilkan
oleh seorang ahli melalui riset yang rumit dengan seorang netizen yang hanya
bermodalkan kuota, yang terkadang hanya numpang wifi gratis.
Dalam tradisi
filsafat sendiri tidak mudah melakukan justifikasi benar dan salah. Perlu ada
perenungan yang mendalam, dengan menguji segala proposisi-proposisi yang
berkaitan. Atau bahkan menelusuri jejak pemikirannya hingga ke mana saja dan
siapa saja.
Walaupun
filsafat mencoba merumuskan beberapa teori kebenaran seperti korespondensi,
koherensi, dan pragmatis. Tetapi, rumusan itu masih problematis. Korespondensi
yang menyatakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara konsep (ide) dengan
realitas masih dianggap memiliki kelemahan-kelemahan. Terutama ketika berhadapan
dengan persoalan metafisik dan yang sublim lainnya.
Begitu juga
dengan teori koherensi yang mencoba menempatkan kebenaran sebagai suatu relasi.
Bahwa suatu proposisi dianggap benar sejauh masih ada kaitan (afirmatif) dengan
proposisi yang lain. Apabila ada proposisi lain yang negatif terhadap suatu
proposisi, maka proposisi itu dianggap terfalsifikasi dan tak lagi bernilai
universal.
Tak ketinggalan
teori pragmatis, yang juga masih menyimpan kelemahan terutama ketika segalanya
diukur sisi utilitasnya (kegunaannya) saja yang bersifat material. Karena tidak
semua yang tidak berguna lantas menjadi tidak benar, bahkan tidak semua
tindakan manusia bersifat pragmatis. Ada tindakan manusia yang voluntaris.
Dengan demikian,
perkara kebenaran bukanlah hal semudah “bercocot” di wall media sosial. Apalagi
sesegera menjustifikasi. Follower bukanlah jaminan kebenaran, sayangnya
emosi massa saat ini terbawa oleh suasana viral yang menciptakan sikap reaktif
luar biasa yang membuat mereka bukan saja menjadi ahli serampangan tetapi juga
membunuh pengetahuan.
0 Komentar