Oleh: Herlianto A
Ilustrasi mahasiswa. (Foto: mudanews.com) |
Mazhabkepanjen.com - Beberapa penulis
macam Hermawan Sulistyo, Arbi Sanit, dan Hasibuan menempatkan peran mahasiswa
hampir sempurna dalam perubahan sosial di Indonesia. Mahasiswa dianggap selalu
hadir di kala ketimpangan mendera rakyat. Mahasiswa datang untuk memerangi para
bromocorah yang sewenang-wenang menggunakan otoritas untuk menyandra yang lemah
dan menindas kaum duafa’.
Para penulis itu
memang terkesan “menuhankan”
mahasiswa, dan sekilas memang ada benarnya. Tetapi ini hanya akan melahirkan ketergantungan pada mahasiswa untuk melakukan aksi, terbukti jika ada
kebijakan pemerintah yang dirasa kurang berpihak pada rakyat selalu mahasiswa
yang ditanya gerakannya. Padahal negara ini bukan hanya milik mahasiswa saja.
Emangnya yang lain
ke mana? Mengapa harus mahasiswa yang menjadi “peluru” sementara yang lain
menjadi penikmat jerih payah mahasiswa. Dan, celakanya, ternyata mahasiswa
tidak dapat memenuhi harapan itu sepenuhnya. Mahasiswa manusia biasa, bukan tuhan.
Keyakinan para penulis tersebut menutup peluang bagi non-mahasiswa untuk berkiprah dalam perubahan, bahkan
keterlibatan masyarakat dianulir, semua dianggap hasil usaha mahasiswa.
Padahal, seiring perkembangan zaman, intelektualisme didapat tidak hanya
di kampus, internet jauh lebih luas.
Intelektual adalah
mereka yang belajar, membaca, meneliti, dan menulis dan tidak serta merta mereka
yang ada di perguruan tinggi. Gerakan aksi buruh yang belakangan menggejala
baik di kota-kota besar ataupun di daerah adalah hasil kombinasi antara antara
anak-anak lulusan SMA, pemuda dan mahasiswa. Tidak melulu mahasiswa.
Baca Juga:
Ini menguatkan
bahwa apa yang dirumuskan oleh beberapa pemerhati mahasiswa di atas hanyalah
hipotesa. Memang mereka berangkat dari sejarah di mana belum banyak orang
pandai pada pra-kemerdekaan, orde lama dan orde baru. Waktu itu orang pandai didominasi
oleh mereka yang lahir dari bangku kuliah dan ruang sekolah.
Alat-alat untuk
belajar dan informasi pengetahuan hanya ada di universitas sehingga masuk
universitas menjadi kesempatan langka yang perlu dikagumi, ditambah lagi dengan
pemetaan-pemetaan pelajar pada zaman Belanda.
Tetapi saat ini
mahasiswa tidak ada bedanya dengan masyarakat pada umumnya. Jika mahasiswa
dianggap sebagai kelas yang beruntung kerena punya kesempatan belajar sehingga
punya pengetahuan yang lebih. Maka alasan itu termentahkan dengan sendirinya,
karena memperkaya ilmu pengetahuan tidak harus diruang kuliah dan dikampus yang
besar.
Berkembangnya
teknologi menjadi pembongkar sekat antara mahasiswa dan non-mahasiswa, antara
alam dan kampus. Jargonnya kini adalah “setiap orang adalah guru dan alam
adalah sekolah”. Pengetahuan menjadi milik siapapun yang bersungguh-sungguh
belajar. Kita mengakui bahwa Google, Yotube
dan media lainnya adalah professor paling cerdas saat ini, yang untuk dapat
belajar padanya tidak perlu kuliah.
Maka, untuk menjadi
intelektual kritis tidak perlu menunggu empat tahun di universitas. Apalagi dengan
mahalnya biaya kuliah, hari demi hari sebagai mahasiswa tidak lagi menjadi
perlambang intelektulitas tetapi perlambang dari kelas yang beruang dan mapan
serta elitis. Tidak ada jaminan bahwa yang kuliah pasti mengalahkan yang tidak
kuliah baik secara intelektualitas, kreatifitas, sikap kritis maupun moral.
Perubahan dasarnya
adalah bukan semata fisik dan usia (seberapa tua/muda) atau tanggung jawab
secara status, tetapi kesadaran yang muncul dari dalam diri setiap warga yang
merupakan motor perubahan sebenarnya, orang-orang bilang people power. Dan ini sudah teruji dihampir semua negara yang
berhasil melakukan perubahan besar.
Negara bukan milik
mahasiswa, bukan milik presiden dan menteri dan bukan milik politisi, negara
milik kita bersama. Maka mestinya tanggung jawab perubahan tidak berkaitan
dengan status ataupun umur manusia, melainkan seberapa sadar dan kemauan yang
dimiliki untuk segera beranjak melakukan perubahan itu sendiri.
Klasifikasi tua dan
muda harus dihapus dari kamus perubahan dan konteks merebut keadilan, bahkan
revolusi, yang tua bisa berjiwa muda yang memiliki spirit, optimisme dan antusiasme untuk berubah. Sebaliknya fisik
muda bisa jadi terjebak dalam jiwa yang tua memiliki seribu alasan untuk psimis,
malas dan putus asa.
Tulisan in tidak
sedang membuat kontradiksi gagasan tentang mahasiswa, antara memiliki peran
penting dan peran sebagaimana layaknya rakyat, sehingga ini menjadi lucu dan
kontradiktif. Penulis tidak ingin terlalu melampaui dan membesarkan hingga
menuhankan peran mahasiswa, ini berbahaya karena ditengah harapan yang sungguh
besar ini justru mahasiswa tidak kunjung hadir dengan porsinya sebagaimana yang
diharapkan.
Kita semua mafhum
bahwa sering kali aksi-aksi jalanan mahasiswa ditunggangi oleh kepentingan
tertetu. Itulah yang kita lihat pada aksi-aksi 23 September lalu. Di mana
ribuan mahasiswa demo ke gedung DPR RI untuk menolak pengesahan RKUHP, tetapi
mahasiswa dari organisasi PMII malah demo ke KPK membela seniornya yang
ditetapkan jadi tersangka. Sungguh aneh!
Pasrah pada mahasisiswa
akan mematikan potensi lahirnya agen-agen perlawanan dari tubuh rakyat akibat
terlalu menyerahkan persoalannya pada mahasiswa. Dilain hal, artikel ini juga
tidak sedang dalam upaya menghapuskan peran mahasiswa, baik yang telah dicatat
oleh sejarah maupun yang masih mau dicatat oleh sejarah.
Adalah fakta bahwa
mahasiswa merupakan bagian dari rakyat yang saat ini sedang belajar di perguruan
tinggi, dan berjuang bersama rakyat. Karena itu menjaga posisi untuk terus
kritis dan tidak terlalu pecaya diri hingga melebih-lebihkan perannya menjadi
sangat penting.
0 Comments