Oleh: Herlianto A
Sumber: moondoggiesmusic.com |
Sains termasuk “sosok” yang
berambisi untuk melahirkan teori segala sesuatu yang dapat diterapkan secara
tak terbatas. Namun ambisi ini terasa terlalu berlebihan. Ulasan ini dianotasi
dari buku Graham Harman Object-Oriented Ontology: A New Theory of Everithyng
(2017) Chapter I.
Harman menarasikan upaya jatuh
bangun sains menenmukan teori segala sesuatu sejak abad ke 16. Saat itu Galileo
menyatakan membantah pandangan fisika kuno tentang adanya sejenis tubuh di angkasa
yang mengatur dunia (fisik).
Tubuh dianggap kekal, tidak lapuk
dan tidak hancur ini, menurut Galileo tidak ada.Semua pengaturan semesta
kembali pada alam. Kayakinan ini diwujudkan oleh Newton menjadi teori gravitasi.
Bahwa yang mengatur pergerakan materi di dunia dikendalikan oleh bumi yaitu
daya tarik gravitasi.
Pada tahun 1860an, James C.
Maxwell berupaya lain dengan menyatukan elektrisitas dan magnetisme menjadi
elekromagnetik yang bergerak setara kecepatan cahaya. Temuan ini diyakini akan menjadi teori segala sesuatu yang dapat
menjelaskan segalanya.
Namun, awal abad 20 lahir teori
kuantum yang juga berupaya memadukan berbagai fenomena di antaranya: panas,
cahaya, dan gerak atomik. Menurut teori ini, berbagai fenomena ini terjadi
dalam lompatan yang berlainan.
Jadi perubahan bukanlah suatu
penambahan atau pengurangan yang bersifat kontinyu (berlangsung secara berkala)
melainkan tidak teratur. Kemudian, menjelang 1970an, empat daya semesta
berhasil diidentifikasi, di antaranya gravitasi, elektromagnetik, daya nuklir
kuat, dan daya nuklir lemah.
Tahun 1979 Abdus Salam dan Steven
Weinberg menemukan daya elektro lemah (electroweak force), sementara
daya elektro kuat ditemukan pada 1975 dengan sebutan kuatum kromo-dinamis (quantum
chromo-dynamic). Berikutnya pada 2012 ditemukan kuantum gravitasi.
Di awal abad 21 ini sedang
diperdengungkan bahwa ada teori segala sesuatu yang baru yaitu “sting theory” (teori
senar). Teori ini sedang digadang-gadang menjadi kandidat bagi lahirnya teori
segala sesuatu yang lebih otentik.
Konon hebatnya teori yang
sejatinya sudah dikembangkan sejak 1984 ini adalah mempostulasi bahwa materi
merupakan getaran senar satu dimensi yang berdistorsi (twist) melalui
sepuluh dimensi.
Temuan yang luar biasa
dibandingkan inovasi Einstein yang hanya empat dimensi (tinggi-lebar-ruang-waktu).
Entah apalagi pasca teori senar ini. Yang pasti pencarian sains akan terus
berlangsung hingga ditemukan teori yang aplikasinya tidak terbatas (limitless).
Namun menurut Graham Harman,
upaya pencarian teori segala sesuatu yang diupayakan sains adalah sesuatu yang
hampir mustahil. Karena teori segala sesuatu yang aplikasinya tidak terbatas
hanya ditemukan di dalam filsafat, bukan sains.
Terutama pada tipe filsafat yang
dikenal dengan Object-Oriented Ontology (Triple O). Harman lalu mengkritik
saintisme. Setidaknya empat kritik atas kelemahan sains yang membuatnya tidak
mungkin menemukan teori segala sesuatu. Kelemahan-kelemahan ini berasal dari
asumsi-asumsi sains yang keliru.
Pertama, asumsi: segala
sesuatu yang eksis pasti fisik. Asumsi ini jelas membuat sains tidak
berlaku di kawasan atau negara-negara yang religiositas masyarakatnya kuat. Para
agamawan akan menolak. Aktor agamis yang masih percaya pada Tuhan, jiwa, dan
bahkan setan, pasti juga menyagkal postulat sains ini. Pandangan demikian
dianggap sangat membatasi manusia yang enigmatis. Postulat ini membuat sains
jadi bahan olok-olok mereka.
Namun, katakanlah para agamais
itu tidak rasional karenanya tidak bisa diikuti argumennya. Mereka sesat
tentang materi sebagai yang riil dan non riil. Bagi Harman bantahan ini masih tidak kuat,
karena ada hal yang tidak material tetapi riil.
Contoh yang bisa diambil adalah
persekutuan dagang VOC, yang sebetulnya tidak material, tetapi ini riil. Kita hanya
melihat peninggalan VOC baik di Asia maupun di Eropa, tetapi peninggalan itu
bukanlah VOC itu sendiri, melainkan sebatas benda-benda yang sama sekali tidak
mengacu pada VOC. Artinya VOC adalah immaterial tetapi riil. Maka jelas asumsi
pertama sains sangat keliru.
Kedua, asumsi: segala
sesuatu yang eksis pastilah mendasar dan sederhana. Sains bisa membantah
lagi soal VOC di atas. Bahwa memang VOC itu immaterial, tetapi lihatlah
komponen-komponen VOC, mulai dari gedung, kapal-kapal, bendera, dan benda-benda
material lainnya.
Artinya VOC itu eksis melalui
perangkat-perangkat material itu semua. Dengan ini, komponen material tetap
menjadi penentu (substratum) bagi eksistensi VOC. Alhasil VOC adalah material.
Untuk membantah ini, Harman lalu
meletakkan sains sebagai paham “smallisme” yaitu pandangan yang berkeyakinan
bahwa sesuatu yang riil itu dapat dipecah hingga ke komponen terkecilnya. Lebih
jauh pandangan ini menandaskan bahwa entitas atau apapun yang muncul saat ini
terjadi apabila komponen penyusunnya bersatu.
Kebersandaran entitas pada
komponen ini menyisakan problem. Pasalnya, ada hal yang komponennya tidak jadi
bersatu, tetapi entitas itu tetap riil. Misalnya suatu “pernikahan” yang riil
karena maskulin A dan feminin B menikah.
Tetapi, sekalipun pernikahan ini
batal entitas “pernikahan” itu tetap sebagai sesuatu yang riil bukan ilusi. Ini
jelas bahwa komponen tidak mesti menentukan eksistensi suatu entitas. Karena
itu objek tidak hanya berkaitan dengan komponen penyusunnya tetapi juga
berkaitan dengan daya kausal yang dimilikinya yang itu, sayangnya, ternyata
immaterial.
Ketiga, asumsi: segala
sesuatu yang eksis pastilah riil. Asumsi ini tidak bisa diterapkan pada
sastra dan kisah-kisah fiksi lainnya, baik berupa novel, cerpen, maupun films.
Bagaimana asumsi ini dapat menganalisis fiksi heroik macam Sherlock Holmes,
StarWars, dll.
Semua yang ada di fiksi itu, baik
lokasi mapun karakter yang di dalamnya adalah tidak riil. Tetapi persoalannya,
fiksi telah menjadi suatu pengalaman sehari-hari yang dihayati oleh manusia.
Artinya, jika asumsi sains ketiga ini dipaksakana, maka ini akan menghilangkan
separuh kehidupan manusia itu sendiri.
Belum lagi misalnya kalau dibawa
ke dunia binatang. Manusia dapat mengidentifikasi warna mangga sebagai hijau. Tetapi
seekor kelelawar akan mengidentifikasinya secara berbeda dengan manusia. Bagi
kelelawar identifikasi manusia itu adalah tidak riil, begitu juga sebaliknya. Tetapi
nyatanya mangga itu eksis.
Keempat, asumsi: segala
sesuatu yang eksis pasti dapat dinyatakan secara akurat dalam proposisi literal
bahasa. Asumsi ini mungkin tidak akan mengalami persoalan pada kasus-kasus
yang menyatakan informasi secara langsung. Misalnya, “Presiden Indonesia adalah
Jokowi”.
Tetapi, rupanya tidak semua hal
riil dapat menyatakan diri secara langsung. Misalnya, saja tentang rasa makanan,
minuman, kopi, atau rasa bercinta. Bahasa literal tidak akan pernah mampu
secara sempurna menkodekan semua aneka rasa itu.
Upaya meliteralkan segala sesuatu―dalam pandangan object-oriented
ontology―adalah
jelas suatu tindak oversimplifikasi, karena hakikinya objek tidak pernah
sebagai seikat makna literal.
Karena itu, alternatif lain yang
mungkin dilakukan adalah melalui metafora. Di mana melalui metafor sesuatu
dapat dinyatakan secara tidak langsung, bahkan sekalipun sesuatu itu sangat
subtil dan tersembunyi.
Asumsi sains tentang literalisme
ini bertentangan dengan apa yang dinyatakan Aristoteles sebelumnya, bahwa
sesuatu tidak pernah bisa didefinisikan karena sesuatu selalu kongkret sementara
definisi disusun dari yang universal.
Demikianlah, bantahan object-oriented
ontology atas ambisi sains untuk menemukan teori segala segala sesuatu yang
dapat diterapkan secara tidak terbatas dalam kehidupan manusia.
0 Comments