Oleh: Herlianto A
Sumber: envirodad.com |
Kekuasaan termasuk poin urgen di dalam
studi filsafat. Pemikir-pemikir besar tak lupa, setelah berspekulasi panjang
lebar tentang manusia, semesta dan Tuhan, menyertakan kekuasaan di dalam
spekulasinya. Plato (427-347 SM) menilai kekuasaan sangat penting, karena itu
kekuasaan harus digenggam oleh seorang filosof (king philosopher) agar dapat dijalankan dengan benar.
Thomas Hobbes (1588-1679) menyangka
manusia adalah mahluk buas seperti di tengah belantara yang akan memangsa
siapapun demi keberlangsungan keberadaannya. Homo homini lupus, dia bilang. Karena itu, dibutuhkan negara sebagai
“setan/leviathan” (yang tak tampak)
untuk memegang kekuasaan demi mengatur kehidupan yang banal itu.
Kekuasaan harus dibagi, menurut
Monteaquieu (1689-1755, menjadi tiga lembaga: eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Masing-masing lembaga saling membatasi fungsi lembaga lainnya. Tanpa
pemilahan ini, kekuasaan menjadi otoriter dan akan memangsa rakyatnya sendiri.
Kekuasaan yang mewujud dalam bentuk negara
adalah hasil nota kesepahaman atau konsensus bersama manusia, demikian J.J
Rousseau (1712-1778). Negara adalah produk kontrak sosial yang merupakan konsekuensi
alamiah manusia yang sama-sama memiliki hak. Maka kekuasaanlah yang mestinya
menjamin terpeliharanya hak setiap orang.
Bagi Karl Marx (1818-1883) kekuasaan
adalah lembaga yang melegitimasi penindasan kaum borjuis atas proletar. Negara menjadi
agen yang digunakan dedengkot kapitalis untuk mengalienasi para buruh, orang
miskin, kaum fakir lainnya. Aktor-aktor kuasa melalui nomenklatur kontrak
formal justru menggusur lahan-lahan dan rumah-rumah warganya. Maka wajar jika
borjuis selalu bermain dikekuasaan.
Begitulah bagaimana kekuasaan menempati
posisi pentingnya dalam kehidupan manusia. Karena itu, Niccolo Machiavelli (1469-1527)
tanpa malu-malu meminta bahwa kekuasaan harus direbut dengan cara apapun.
Segalanya harus dihalalkan untuk kekuasaan. Jika kekuasaan itu semestinya
didapat tetapi tidak diberikan maka proteslah, peranglah. The end justifies to the means, fatwanya yang sangat mashur itu.
Ada ungkapan menarik untuk
menyederhanakan bagaimana pentingnya kekuasaan, yaitu: segenggam kekuasaan
lebih berarti daripada sekeranjang kebenaran. Seberapapun banyak dan hakikinya
kebenaran tetapi nilai kekuasaan masih lebih tinggi, dalam arti lebih memiliki
power.
Kita tahu, betapa hakikinya kebenaran
yang dibawa Sokrates, tidak hanya sekeranjang bahkan dua keranjang kebenaran. Tetapi
toh pada akhirnya dilibas oleh
kekuasaan. Sosoknya diadili oleh negara, bukan kebenarannya. Ia lalu menjadi
martir akan tak berdayanya kebenaran dihadapan kekuasaan.
Begitu juga yang dialami oleh Galileo
Galilei, terpaksa tersungkur bersama kebenarannya tentang bumi yang
mengelilingi matahari (heliosentris). Walaupun di kemudian hari semua kekuasaan
memujanya karena ternyata dia memang benar dan kekuasaan membutuhkan temuannya
itu.
Dalam tradisi timur, kita mengenal
Suhrawardi Al Maktul, Al Hallaj, Syehk Siti Jenar di nusantara. Betapa sosok-sosok
besar ini melahirkan anak-anak kebenarannya tentang Tuhan, tentang manusia dan
alam, tetapi dibawah kekuasaan semuanya tewas. Walaupun kebenaran tidak akan
pernah tertimbun ke dalam kubur kapanpun. Dia anakn melahirkan anak-anaknya
kembali.
Kisah dinasti Abbasiyah tak kalah
menariknya tentang kekuasaan dan kebenaran itu. Al Ma’mun dengan kuasaannya
berhasil menghimpun ilmu-ilmu Yunani. Meneruskan trah pemikiran mu’tazilah
yaitu rasionalisme. Di sisi lain “mendiskualifikasi” ajaran batiniah yang
dianggap bertentangan dengan kekuasaan. Ajaran As’ariyah termasuk yang minus
kekuasaan kala itu. Alhasil mazhab yang menamakan diri alhlussunnah tersebut tidak bersemi dengan baik.
Tetapi begitu Al Muatawakkil menggenggam
kekuasaan, cerita kebenaran berubah. Romantika filsafatpun meredup. Berkeranjang-keranjang
rasionalisme disenjakalakan dan digeser oleh As’ariyah yang sebelumnya dipresser
dengan ketat. As’ariyah menjadi ideologi resmi rezim Al Mutawakkil.
Berikutnya, tak kalah dahsyatnya, ketika
Mustafa Kemal Attartuk di tahun 1924 mengakhiri dinasti Ottoman di Turki. Maka
kisah Islamisme meluruh, sekulerisasi bangkit yang ditopang oleh rezim
Attartuk. Melalui segenggam kekuasaan yang direngkuh, dia menyorong Islamisme ke
pinggir danau masyarakat Turki.
Begitu juga yang terjadi di Indonesia.
Ajaran-ajaran khilafah yang dibawa oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
diselesaikan oleh kekuasaan. Ajaran utopis itu “dikubur hidup-hidup” oleh
kekuasaan, lantaran bertekat melawan konsensus resmi negara: pancasila. Ajaran bersumber
dari timur tengah ini kini tinggal rangka, tetapi belum sepenuhnya mati.
Artinya, di kemudian hari jika kekuasaan memungkinkannya maka rangka itu
kembali diberi tubuh dan ruh.
Atas alasan itu pulalah, mengapa pada
kontestasi pemilihan presiden 2019, mereka sangat bernafsu untuk menang. Mereka
ingin menggenggam kekuasaan untuk kemudian menabur sekeranjang benih yang
dianggap kebenaran. Tak pelak aneka siasat politik dilakukan, agen-agen politik
digerakkan, terutama memanfaatkan isu-isu agama.
Dari posisi yang berhadap-hadapan
bergerak pula elemen-elemen anti HTI untuk mengamankan kekuasaan. Mereka ingin
memastikan bahwa tanaman kebenaran yang disemai ingin tetap dikeranjangi
bersama dengan kekuasaan. Setidaknya tanaman itu adalah konsensus bersama sejak
para pendiri bangsa menanamkannya.
Begitulah kekuasaan itu yang meskipun
segenggam tetapi mengacak-acak kebenaran yang jauh lebih banyak. Pertanyaannya,
apakah kekuasaan harus dipertahankan secara mati-matian atau dengan
menghalalkan segala cara untuk kekuasaan sebagaimana anjuran Machiavelli?
Tentu saja, kekuasaan harus direbut
secara benar, lalu dipertahankan dengan benar pula. Adapun standar kebenaran
itu ialah kemanusiaan itu sendiri. Sebagaimana Gus Dur pernah memberi teladan
bahwa tak ada kekuasaan yang perlu dipertahankan secara mati-matian selama
mengorbankan kemanusiaan.
Kekuasaan adalah seni untuk menggerakkan
massa agar dengan ikhlas memberinya legitimasi kepada suatu konsensus yang
disebut negara. Begitu massa menolaknya, maka kekuasaan mesti dilepaskan dan
dibiarkan melahirkan kekuasaannya yang baru.
0 Komentar