Cinta di antara Agama Tuhan dan Agama Manusia


Oleh: Herlianto A
Sumber: fotopribadi

Agama dan pemahaman manusia tentangnya selalu terdapat rentang jarak yang membuat keduanya berada pada posisi dualis, yaitu antara agama pada dirinya dan agama yang diinterpretasi manusia. Agama pada dirinya utuh, sementara interpretasinya beragam bahkan tak sedikit yang kontradiktif.

Realitas agama yang demikian digambarkan dengan baik oleh Haidar Bagir dalam bukunya Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spritualitas di Zaman Kacau. Dia berangkat dari dirinya sebagai sosok muslim, lalu menyelam dalam kemuslimannya.

Kemudian naik lagi kepermukaan dan menyadari dirinya berada di tengh komunitas manusia dengan beragam agama tetapi mayoritas Islam. Komunitas itu bernama warga negara Republik Indonesia. Dia lalu menyelam pada komunitas itu, pada selaman kedua inilah ditemukan keragaman. Keragaman beragama dan keragaman interpretasi atas (suatu) agama dalam hal ini Islam yang menjadi kajiannya.

Aneka rupa pengalaman itu yang disajikan dalam bukunya dengan mencoba mengidentifikasi beberapa hal, di antaranya: problemtika agama Tuhan dan agama manusia, potensi yang bisa dikembangkan dari keberagaman itu, pendekatan yang mungkin digunakan agar keragaman tidak melahirkan keretakan, dan solusi atas masalah keragaman yang timbul.

Problem “Agama Manusia”

Menurut Bagir situasi saat ini menunjukkan psimisme yang meningkat terhadap ideologi-ideologi besar dunia. Bahwa pada beberapa kasus sosialisme, kapitalisme, komunisme dst. tidak lagi dipercaya sebagai jalan keselamatan (hal 21). Bahkan pemetaan batasnya sudah kabur, negara-negara bisa besar menjadi sosialis dan kapitalis atau kapitalis sekaligus sosialis pada waktu yang sama.

Sementara itu, teknologi terus merambah kehidupan manusia yang membuat mereka mengalami krisis eksistensial. Semacam jiwa-jiwa yang kosong yang rindu pada lagu-lagu moralitas dan irama spiritual. Ideologi-ideologi itu rasanya semakin menjauh. Manusia lalu mencoba bergerak mengikuti ritme budaya, sayangnya melahirkan ketunabudayaan.

Mengekspor budaya dari Barat dan Timur Tengah, dan melupakan budaya sendiri yang telah membuatnya hidup dalam rentang ribuan abad. Alhasil, lahirlah upaya pemaksaan budaya yang berlabel agama maupun berlabel kemajuan (kemodernan) pada budaya sendiri. Realita ini, menunjukkan kegagalan dalam menyaring kebudayaan luar untuk diharmonisasi dengan budaya sendiri (hal 28).


Lalu problem berikutnya adalah “kekacauan media”. Media menggerus fakta dalam arti objektifitas menyusut dalam setiap informasi yang disampaikan. Menyitir Marshall MacLuhan, Bagir menyatakan di era informasi ini the medium is the massage (media adalah pesannya). Bahwa media bukan saja sebagai alat penyampai informasi tetapi juga sebagai isi dari setiap pesan yang disampaikan itu.

Media dapat mengubah dan membentuk cara berpikir dan cara hidup para penggunanya. Lebih-lebih media audiovisual yang dilengkapi dengan beragam fitur. Beragam simbol dapat dimainkan di sana, irama-irama tertentu digunakan untuk membangkitkan hasrat dan emosi (hal 34).

Sedihnya, setiap kelompok bahkan setiap orang dengan kepentingannya sendiri-sendiri dapat membuat media model begini. Yang terjadi adalah kesimpangsiuran kepastian, orang menyebutnya post-truth dan Bagir menyebutnya Zaman Kacau.

Tak pelak ketersediaan media dimanfaatkan oleh jaringan takfirisme. Satu jaringan yang berbekal satu interpretasi agama tertentu, tetapi kemudian mengkafirkan yang berbeda. Menempatkan dirinya sebagai “Tuhan”, dengan tanpa menyadari jarak antara mereka dan Tuhan. Mereka kemudian bergerilya di dunia maya, terbukti dari beberapa pelaku teror diawali belajar agama melalui media maya.

Bagir, pada gerakan takfirisme, menyadari bahwa bukanlah hal baru. Akar historisnya sudah ada sejak sepeninggal Nabi Muhammad. Mereka adalah golongan yang menyempal di era kekhalifahan Sayyidina Ali, yang disebut khawarij. Sempalan ini berhati beku dan ingin menerapkan hukum Allah yang dipicu oleh kepentingan perebutan kekuasaan. Abdurrahman bin Muljam adalah tokohnya yang mengerikan, sang pembunuh Sayyidina Ali.

Kecenderungan ekstrim ini akan terus muncul, karena memiliki bahan bakar berupa adanya individu-individu yang termarjinalkan. Lalu ada kelompok yang siap memfasilitasi kalangan termarjinal ini untuk dicuci otaknya, dan dilengkapi dengan ideologinya yang hingga hari ini masih ada.

Modal Potensial

Lalu bagaimana mengatasi kekacauan ini? Menurut Bagir ada beberapa potensi umat (Islam) yang bias dimaksimalkan yaitu daya-daya yang terdapat pada manusia itu sendiri. Daya ini berupa akal, imajinasi, pengalaman spiritual dan perkembangan sains.

Manusia perlu memaksimalkan akal dalam membaca segala keberagaman. Dalam hal ini belajar filsafat menjadi sangat penting. Sebagaimana hadis mengatakan “tak ada agama bagi orang yang tak punya (menggunakan) akal”.

Dengan rasio manusia dapat lebih inklusif terhadap teks-teks (agama) yang membuat mereka selama ini tertutup. Hermeneutika Alquran menjadi berjalan, bahkan bisa memadukan beragam metode heremeneutika yang ada. Tentang ini Islam sudah mengenalnya dengan istilah takwil.

Tidak semua pesan Alquran bersifat eksplisit, tetapi juga ada yang implisit. Untuk menggali yang tidak langsung ini maka metode takwil dibutuhkan. Kesadaran Alquran sebagai suatu teks berkonsekuensi pada keragaman tafsir. Sementara di sisi lain, teks suci itu tidak bisa menyatakan dirinya secara langsung. Artinya manusia harus menggalinya dengan memadukan antara dalil naql (teks) dan ‘aql (rasio).

Ibn Arabi menyatakan bahwa setiap orang memiliki akses terhadap kitab suci dan dapat memberikan pemahaman atasnya. Syaratnya selama ia mampu bersikap terbuka dan tulus yaitu dengan pemikiran sehat dan hati bersih tak tercampuri oleh hawa nafsu (hal 95).

Dengan keterbukaan demikian, agama menjadi tidak kaku. Agama dapat didialogkan dengan apapun termasuk yang terpenting dengan filsafat dan sains. Hakikatnya apa yang ditemukan filsafat dan ilmu pengetahuan tidak bertentangan dengan agama. Pencarian akal yang sungguh-sungguh akan sampai pada kesimpulan yang sama dengan teks suci.

Cara pandang ini akan membunuh kejumudan dan fanatisme atas suatu sekte dalam agama. Islam dengan metode ijtihadnya masing-masing dan secara konteks historis yang melingkupinya memiliki mazhab yang begitu beragam. Sebagaimana yang dinyatakan pada Risalah Amman tahun 2004 lalu.

Acara yang diikuti oleh 200 ulama dunia itu menyatakan ada delapan mazhab yang sah untuk diikuti di dunia. Di antaranya: empat dari kalangan sunni (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), dua dari kalangan syia’ah (Ja’fari dan Zaidi), dan dua lainnya (Ibadhi dan Zahiri). Mazhab-mazhab ini memiliki perbedaan tertentu terutama dalam fiqihnya. Namun semuanya tetap berasal dari Alquran dan Hadist (hal 129). Singkatnya modalitas kita adalah kesadaran rasional akan keragaman. 

Islam Cinta

Namun begitu, kita juga harus mengakui bahwa keragaman kita dalam beragama terancam oleh takfirisme dan radikalisme. Mereka menolak perbedaan, dan menggunakan senjata kebencian pada siapun yang berbeda. Celakanya, ajaran kebencian ini sudah banyak diikuti oleh masyarakat.

Untuk mengantisipasi ini kita mesti memunculkan kelembutan Islam, rahmat Islam, dan kasih sayang Islam. Itu adalah Islam cinta. Annamarie Schimmel, seorang ahli mistik Islam, mengatakan bahwa sebetulnya agama (Islam) bukan semata-mata berorientasi hukum (nomos oriented religion) tetapi juga berorientasi cinta (eros oriented religion) (hal 236). Maka dengan demikian, kelirulah jika melihat agama hitam-putih sebagaimana hukum.

Agama cinta lahir justru dari sisi spiritual agama itu sendiri, dalam Islam dikenal dengan istilah tasawuf. Pendekatan tasawuf adalah melihat segala sesuatu sebagai keutuhan. Mutasawwifin mendekat kepada Tuhan hanya memiliki satu alasan yaitu cinta pada-Nya. Kecintaan pada Tuhan akan mewujud pada cinta ke semua yang menjadi ciptaan-Nya.

Cinta merentang antara “Islam Manusia” dan “Islam Tuhan”. Islam cinta berupaya meposisikan diri dalam pencarian menuju Islam Tuhan dengan pandangan kasih sayang. Segala perbedaan yang ditemukan bukanlah lawan, melainkan ajang untuk terus mendialogkan dan mengoreksi semua pemahamannya tentang Tuhan dan sebagai wujud kebesaran-Nya.

Manusia bukanlah Tuhan, pemahaman manusia tentang tuhan juga bukanlah Tuhan itu sendiri. Apa yang disampaikan manusia tentang Tuhan tidak terlepas dari pengalaman pribadinya. Sementara itu, setiap pribadi memiliki pengalaman yang berbeda.

Singkatnya, adalah pasti Tuhan dalam pemahaman satu orang selalu berbeda dengan pemahaman orang lain. Tetapi agama cinta akan melihat perbedaan itu sebagai kemahakuasaan Tuhan. Begitulah cinta di antara agama Tuhan dan agama manusia.
      
Note: artikel resensi ini dari buku Haidar Bagir “Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spritualitas di Zaman Kacau” (edisi diperkaya). Diterbitkan Mizan tahun 2019.

Youtube: https://www.youtube.com/results?search_query=cahyaningNalar

Posting Komentar

0 Komentar