Oleh: Herlianto A
Sumber: wikepedia.or |
Pada suatu kesempatan guru saya, Ach.
Dhofir Zuhry, mengatakan bahwa “membuktikan ketiadaan Tuhan sama sulitnya
dengan membuktikan keberadaan Tuhan”. Suatu postulat teologis-ontologis yang
mengharuskan kita mikir untuk
mehaminya. Memang, sekilas, terkesan kontroversial menyetarakan “keberadaan”
dan “ketiadaan” Tuhan dalam suatu pencarian.
Tetapi realitasnya memang manusia
mengalami pencarian yang tidak tuntas, dan mungkin tidak akan pernah tuntas,
tentang Tuhan. Lebih-lebih kemajuan pengetahuan yang pesat ini, teknologi
informasi dan teknologi rekayasa yang semakin canggih dan menubuh dengan
manusia. Terpaksa, saya katakan proposisi guru saya itu (semoga Tuhan
senantiasa melimpahkan kesehatan baginya) adalah yang paling postulatable untuk menggambarkan realitas
ketuhanan kita.
Dawkin
Ikon Ateis
Ngomong-ngomong, ateis ini mau
diapain? Baiklah. Ateis sering menyatakan diri sebagai sosok yang berpegang
pada ketiadaan Tuhan, atau setidaknya lari dari Tuhan. Contoh, yang paling
tepat sepertinya adalah Richard Dawkin, sosok yang terang-terangan ingin lari
dari agama. The God Delusion dan The Selfish Gen adalah dua bukunya
membahas bagaimana sebenarnya Tuhan bagi manusia.
Menurutnya, kepercayaan manusia pada
Tuhan (dan pencipta lainnya) adalah sebuah delusi atau penyakit psikologis yang
biasa percaya pada kesan-kesan kosong. Penyakit ini diderita selama
berabad-abad, hingga Charles Darwin hadir mengobati manusia dengan teori
evolusinya. Teori ini yang kemudian juga dikembangkan Dawkin dalam The Selfish Gen (gen yang egois).[1]
Walaupun tak sedikiti yang menceritakan bahwa dikahir hayatnya Darwin ditemukan
memeluk injil.
Di bagian akhir (apendiks) The God Delusion, Dawkin menyediakan daftar
alamat (email, fax, nomer jalan, dan website) yang siap membantu siapapun yang
butuh dukungan dan ingin melarikan diri (escaping)
dari agama. Alamat-alamat itu terdapat di beberapa negara termasuk Amerika,
Inggris, Australia, Selandia Baru, Canada, India, dan Islam.
Pada setiap lembaga di alamat itu
disiapkan semacam konsultan yang akan memberikan cara pada kliennya bagaimana “melupakan”
agama (berikut Tuhannya). Dan tanpa merasa berdosa dan salah. Ini suatu upaya
serius untuk benar-benar terbebas dari “penyakit beragama” dan alternatifnya menjadi
ateis. Saya kira, dalam hal ini Dawkin cukup layak menjadi ikon ateis internasional.
Kehendak
Untuk Percaya
Lalu bagaimana? Apakah kita mesti daftar
di situ? Tunggu dulu. Yang menarik sebetulnya ketika Dawkin dan para
pengikutnya mengajukan alternatif lain, yaitu itu sains terutama teori-teori
evolusi. Artinya, sains dianggap menjadi penyebab penting mundurnya peran agama
berikut Tuhannya dalam kehidupan manusia.
Dengan sains semua yang disangka disebabkan
Tuhan ternyata terjadi secara alamiah dan begitu saja. Itulah yang
dipresentasikan oleh riset-riset baik yang kosmologis maupun yang lebih mikro
seperti atom-atom.
Ditambah lagi banyaknya ketidakcocokan
keyakinan agama(wan) tentang alam dengan bukti-bukti yang lebih verifiable yang dibawa sains. Sementara
kehidupan sosial manusia sendiri lebih cenderung pada sains, lantaran lebih
riil (utility) dan bersentuhan langsung
dengan kebutuhan manusia. Ini yang disebut oleh Charles Taylor sebagai
sekulerisasi secara sosiologis.
Di tengah optimisme ateisme ini, rasanya
penting mengajukan satu pertanyaan: mengapa dan untuk apa ateis mempercayai
hasil dan temuan sains? Jawaban atas pertanyaan ini telah dibongkar
habis-habisan oleh Nietzsche, terutama dalam bukunya The Gay Science. Setyo Wibowo dalam Gaya Filsafat Nietzsche dan Sr. Sunardi dalam Nietzsche memberikan penjelasan paling gambang bagaimana “si gila”
itu menelanjangi para saintis.
Bahwa yang tidak dibuktikan secara
saintifik oleh para saintis adalah mengapa mereka berkehendak pada kebenaran
sains. Atau, fakta-fakta lainnya, misalnya, seorang ateis tetapi kemudian
menjadi fanatik pada politik tertentu atau pada ideologi tertentu. Semua ini
adalah kehendak untuk percaya yang tidak bisa ditolak oleh ateis termasuk kaum Dawkinis.
Pendeknya, Dawkinis hanyalah orang-orang yang pindah agama dari satu agama
tertentu ke agama sains. Ateis adalah jalan lain untuk percaya.
Karena itu, Nietzsche mengejeknya, bahwa
mereka tak ubahnya para penganut agama pada umumnya. Yaitu, bahwa mereka pun
tetap menginginkan keteraturan, keharmonisan, pegangan, dan ketertataan dan
bahkan ketenangan dalam hidup. Itulah sikap paling pengecut yang tidak berani
menghadapi hidup apa adanya. Beratnya, hidup apa adanya, menurut Nietzsche,
sesungguh adalah kaos.
Poinnya, yang “dibunuh” oleh Nietzsche
bukan hanya Tuhan tetapi juga sains. Atau lebih tepatnya dia membunuh semua kebutuhan
manusia akan ketertaan termasuk semua rasa percaya pada apapun, dan mengajaknya
untuk menghadapi hidup yang sesungguhnya yaitu yang kaos dan penuh
ketidakpastian. Itulah hidup apa adanya menurut Nietzsche, dan manusia tak
boleh cemen.
Kemudian, beberapa pemikir kontemporer
lainnya malah memberikan pembuktian yang berkebalikan dengan Dawkin dan bahkan
berbeda dengan Nietzsche. Mereka justru menunjukkan ketidakbedayaan manusia
kepada kehendaknya untuk percaya. Temuan ini diwakili oleh William James,
Fritjof Capra, Frijof Schoun, dan pemikir spritualis lainnya.
Lalu, Peter L. Berger terpaksa menulis The Secularization of The World untuk
menunjukkan bahwa manusia secara sosiologis justru kembali ke hakikatnya
sebagai mahluk spiritual. Buku ini boleh dibilang bantahan atas A Secular Age oleh Charsles Taylor.
Teilhard de Chardin merumuskan realitas
dengan sangat baik yaitu bahwa manusia adalah mahluk spiritual yang mengalami
pengalaman manusia, dan bukan mahluk mortal yang mengalami pengalaman spiritual.
Artinya, bahwa hakikat manusia adalah spiritual.
Akhirnya, saya menjadi sedikit paham
dengan apa yang dikatakan guru saya diawal. Bahwa memang tidaklah mudah
membuktikan keberadaan dan ketiadaan Tuhan. Semoga waktu segera berputar, dan
kembali ngalap barokah ruang-ruang
sunyi bersama sang guru. Lalu disertai debat-debat kecil bersama para Luhurian dan Alfarabian yang terbatas namun penuh antusias.
[1] Teori selfish gen dari Dawkin menyatakan bahwa pada dasarnya gen dari
semua mahluk hidup adalah satu, tetapi kemudian berevolusi pada tubuh-tubuh
yang berbeda-beda. Tubuh-tubuh yang berbeda inilah yang disebut seperti
cangkang dimana isinya pada semua cangkang adalah sama, yaitu sau gen yang
sama.
0 Komentar