Oleh: Herlianto
A
Sumber: bukurasi.wordpress.com |
Beriman, saya
memahaminya dalam dua hal: iman dalam arti taklid dan iman dalam kritis.
Pada pemahaman pertama iman berarti membenarkan dengan tanpa melakukan
pemeriksaan secara pribadi tentang apa yang diyakininya benar. Iman macam ini
biasanya dikenal dengan credo ut intelligam (bahasa Latin) yaitu
yaitu saya percaya lalu saya mengerti.
Pernyataan ini
dinyatakan oleh Anselmus (1033-1109). Menurut dia iman lebih dulu dari
pengetahuan, iman menemukan pengetahuan, atau iman mencari pengertian. Ini
berarti untuk sampai kepada pemahaman tentang Tuhan (kenenaran), maka terlebih
dahulu haruslah diimani. Baru kemudian, bertindak atau melakukan apa yang
diyakini benar itu.
Sementara dalam pemahaman yang kedua, iman merupakan konsekuensi epistemik, yaitu rasa iman terjadi karena ada upaya pencarian kebenaran tertentu sebelum berbaiat pada kebenaran itu. Berarti iman diawali oleh keraguan yang mendorongnya untuk mencari kepastian. Ada suatu pencarian sebelum memastikan keimanannya. Yaitu berusaha memahami agar percaya. Pemahaman ini bertolak belakang dengan yang pertama.
Sementara dalam pemahaman yang kedua, iman merupakan konsekuensi epistemik, yaitu rasa iman terjadi karena ada upaya pencarian kebenaran tertentu sebelum berbaiat pada kebenaran itu. Berarti iman diawali oleh keraguan yang mendorongnya untuk mencari kepastian. Ada suatu pencarian sebelum memastikan keimanannya. Yaitu berusaha memahami agar percaya. Pemahaman ini bertolak belakang dengan yang pertama.
Dari dua model
keyakinan ini, sebetulnya, tidak ada yang mesti dibuang atau didialektikkan
lalu dinegasikan salah satunya begitu saja. Tidak demikian, karena dalam
keseharian, kita tidak mesti memeriksa seluruh hal hingga meyakinkan secara
pribadi untuk melakukan sesuatu. Ada hal-hal yang kita lakukan justru diawali
dengan keimanan dulu, bahkan sama sekali tidak kritis baru kemudian ada
refleksi pada apa yang diyakini itu.
Misalnya, pada
saat hendak bepergian pada suatu tempat dengan menggunakan pesawat atau kapal
laut, atau alat transportasi lainnya. Kita tidak mesti perlu menginvestigasi
alat transportasi tersebut sebelum menaikinya. Kita mungkin kita mengecek
sendiri kodisi vitalitas pesawat. Kita hanya cukup membeli tiket lalu masukkan
bagasi terus berangkat dan sampai ke tujuan.
Sekalipun dipaksakan melakukan pemeriksaan pada alat transportasi tersebut, kita tidak mungkin memahaminya. Karena kita tidak memiliki ilmu tentang penerbangan dan perkapalan. Pilihannya cuma satu ikuti dan lakukan, inilah taklid. Cara ini juga terjadi pada bidang agama manapun terutama berkaitan dengan aturan-aturan agama atau hukum fikih tertentu yg mana kita tidak memiliki kemampuan untuk menggali hukum agama. Karena itu kita mengikuti hasil ijtihad dari para mujtahid.
Sekalipun dipaksakan melakukan pemeriksaan pada alat transportasi tersebut, kita tidak mungkin memahaminya. Karena kita tidak memiliki ilmu tentang penerbangan dan perkapalan. Pilihannya cuma satu ikuti dan lakukan, inilah taklid. Cara ini juga terjadi pada bidang agama manapun terutama berkaitan dengan aturan-aturan agama atau hukum fikih tertentu yg mana kita tidak memiliki kemampuan untuk menggali hukum agama. Karena itu kita mengikuti hasil ijtihad dari para mujtahid.
Kendati demikian,
juga tidak ideal mengikuti apapun tanpa pengetahuan pada semua yang kita
lakukan sama sekali. Artinya hidup secara taklid tidak bisa diterapkan segala
jenis perbuatan. Karena ada perbuatn yang harus kita ketahui sebelum kita
meyakininnya. Maka di sini model keimanan kedua dibutuhkan, dan bahkan harus.
Yaitu keimanan
yang didasarkan pada pengetahuan terlebih dahulu. Sebab itulah para
filosof-filosof Islam memulai pencarian ketuhanan sebelum memastikan jalan
keyakinan. Cara ini sangat jelas seperti yang dialami oleh Al Ghazali. Dia
melakukan pencarian keyakinan yang luar biasa hingga dia tiba pad keyakinan kebenaran
irfan.
Tak kalah pentingnya, ieimanan itu bersifat fluktuatif, tidak stabil, naik-turun atau melemah dan menguat. Maka, pencarian pengetahuan menuju sebesar-besarnya kepastian yang mendorong menguatnya keimanan bisa jadi wahana yang sangat dibutuhkan.
Tak kalah pentingnya, ieimanan itu bersifat fluktuatif, tidak stabil, naik-turun atau melemah dan menguat. Maka, pencarian pengetahuan menuju sebesar-besarnya kepastian yang mendorong menguatnya keimanan bisa jadi wahana yang sangat dibutuhkan.
Keimanan yang kta
baik secara taklid ataupun yang didasari melalui pencarian tertentu akan
berdampak terhadap kuatnya ketakwaan dan perbuatan lainnya. Ketakwaan dalam hal ini adalah kesungguhan
menjalankan ajaran keimanannya dalam kehidupan sehari-hari secara tanpa beban.
Takwa berarti menjalankan apa yang menjadi keharusannya dan meninggalkan apa
yang menjadi larangannya. Begitulah keimanan dan ketaktawaan serta pertalian
antar keduanya yang kemudian dialami manusia.
Pemahaman
keimanan ini, lalu saya caba tarik pada keimanan berfilsafat. Bahwa pada
filsafat pun kita (para pelaku filsafat) mesti beriman demi mengahrapkan dampak
ketakwaan pada filsafat. Keimanan kita pada filsafat adalah membenarkan sebagai
salah satu jalan menunju kehakikian.
Hanya saja
bedanya, pada filsafat tidak ada yang taklid semuanya mesti melalui
suatu pencarian yang radikal, mendalam, dan mendetail. Filsafat anti dogma,
sejauh dogma itu melanggar prinsip-prinsip rasional. Bahkan termasuk mengapa
kita mesti berkehendak pada filsafat pun harus diselidiki secara epistemik yang
mendalam. Kebutuhan kita pada filsafat juga harus rasional.
Karena kita
telah melakukan pencarian akan level kebenaran filsafat maka keimanan kita
adalah keimanan yang filosofis. Dalam arti ini keimanan filsafat adalah
keimanan yang harus terus menerus melakukan pencarian hingga pada batas yang
nirbatas. Bukan keimanan yang mandek, apalagi menjadi dogmatis pada satu ajaran
filsafat tertentu. Itulah syariat filsafat yang mesti dijalankan dengan penuh
takwa oleh pelajarnya.
Bila keimanan
ini udah mapan maka ketakwaan juga akan menjadi mapan. Ketakwaan dalam filsafat
berarti kita berbicara banyak terkait dengan konsep-konsep aksiologi yang tidak
hanya dikonsepsi tetapi juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Filsafat
haruslah menubuh dan membumi.
Melalui keimanan dan ketakwaan pada filsafat, maka menjadikan filsafat bukan hanya untuk menafsir dunia untuk suatu keyakinan tetapi juga bagaimana mengubah dunia untuk kehidupan yang lebih manusiawi. Ketakwaan pada filsafat berarti kesungguhan kita untuk terus menerus mengamalkan prinsip-prinsip filsafat dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui keimanan dan ketakwaan pada filsafat, maka menjadikan filsafat bukan hanya untuk menafsir dunia untuk suatu keyakinan tetapi juga bagaimana mengubah dunia untuk kehidupan yang lebih manusiawi. Ketakwaan pada filsafat berarti kesungguhan kita untuk terus menerus mengamalkan prinsip-prinsip filsafat dalam kehidupan sehari-hari.
Takwa kepada
filsafat berarti bersedia menjalankan syariat filsafat dalam kehidupan. Apa
itu? Dia adalah tidak mudah langsung percaya pada setiap informasi yang datang
atau tradisi-tradisi, dan pengetahuan yang dianggap mapan lainnya sebelum
melakukan upaya verifikasi secara pribadi. Artinya, segala keyakinan yang akan
kita terima mestilah harus teruji secara filsosofis. Begitulah, keimanan dan
ketakwaan kita kepada filsafat.
0 Comments