Gus Dur dan Perempuan Indonesia


Oleh: Herlianto. A
Gur Dur. (Foto: Istimewa)

Mazhabkepanjen.com - Dalam pemahaman saya, Gus Dur melihat perempuan Indonesia sudah diposisikan dengan tepat baik secara sosial dalam konteks bernegara maupun secara agama (Islam). Lebih-lebih ketika dibandingkan dengan beberapa negara Timur Tengah, dan bahkan Amerika Serikat sekalipun. Tulisan ini mencoba menggali pemikiran Gus Dur tentang perempuan, yang terkesan periferal ketimbang gagasan pluralismenya, dengan berpijak pada dua bukunya: Islamku, Islam Anda, Islam Kita dan Islam Kosmopolitan.

Dua buku ini tidak berbicara tetang perempuan, tetapi menyinggung pada beberapa bagiannya. Bagian-bagian inilah yang saya olah. Menurut Gus Dur, perempuan nusantara telah mendapat lima hak dasar yang telah disayaratkan oleh agama, yaitu: hak keselamatan, hak berkeyakinan, hak kesucian keturunan, dan hak untuk profesi. Berarti secara umum apa yang disyaratkan agama atas perempuan telah terpenuhi di Indonesia.[1]

Menariknya lagi, kelima hak itu juga bersesuaian dengan hak asasi manusia atas perempuan. Secara kasar, hak asasi manusia perempuan Indonesia juga telah diberikan dengan baik. Namun apakah persoalan perempuan sudah selesai? Tentu saja tidak. Terlebih lagi berkembangnya gerakan perempuan, baik dari Barat yang berbau sekulerisasi maupun dari Timur Tengah yang anyir fanatisme.


Dalam keadaan terhimpit dua gerakan tersebut, menurut saya, rumusan Gus Dur tentang perempuan Indonesia sudah sangat moderat. Bagaimana alurnya? Dalam pandangan Gus Dur, konsepsi kesetaraan terutama yang diusung “feminisme radikal” tidak cocok dengan Indonesia bahkan terkesan aneh.

Ada kasus yang dia ceritakan di suatu negara Barat (Norwegia), seorang perempuan yang cuti bekerja karena melahirkan. Lalu setelah itu dilanjutkan dengan suaminya juga harus cuti untuk mengurus bayinya di rumah. Kisah ini menunjukkan bahwa kesetaraan itu harus ditunjukkan dengan sama-sama mengurus bayi di rumah.

Bagi Gus Dur ini tidak tepat, kesetaraan tidak mesti dipahami demikian. Suami bekerja mencari nafkah itu juga sama beratnya dengan bekerja mengurus anak, atau mengurus anak itu juga sama beratnya dengan mencari nafkah. Kesetaraan tidak harus memiliki bentuk yang sama, tetapi kesetaraan harus memiliki nilai yang sama, yang itu ditentukan dari peran masing-masing dalam keluarga.[2]

Memang catatan Gus Dur terhadap “feminisme radikal” tidak terlalu banyak. Sebaliknya, terhadap gerakan fanatis yang membawa isu agama dia memiliki koreksi yang cukup lumayan. Merentang mulai dari soal poligami, kepemimpinan, hingga kumpul kebo.

Kita mulai dari poligami. Poligami menurutnya mensyaratkan keadilan yang tidak bisa sembarangan ditentukan seenaknya oleh kaum lelaki yang ngebet beristri tiga hingga empat. Keadilan penentunya adalah perempuan sebagai objek yang akan dipoligami, bukan laki-laki sebagai subjek.

Analisa ini dianalogikan oleh Gus Dur dengan ketika negara melakukan penggusuran. Yang mana neraca keadilannya, dalam konteks berdemokrasi, bukan negara yang menggusur tetapi rakyat yang tergusur. Karena itulah, rakyat menuntut keadilan, takaran keadilannya pada rakyat.

Dengan nalar yang sama, dalam poligami objeklah yang mestinya menentukan keadilan. Maka Indonesia mengaturnya melalui undang-undang perkawinan, bahwa semua poligami harus mendapat izin tertulis dari istri yang sah. Jika ini tidak dipenuhi, maka laki-laki bisa dipenjara karena melanggar hukum negara.

Alhasil, tidak bisa seorang suami dengan sembunyi-sembunyi mengikuti seminar “cara mudah mendapat istri empat”, lalu setelah selesai seminar mempraktikkannya dengan tanpa izin istri sah. Dengan ini berarti, konstitusi Indonesia sangat memberikan ruang keadilan pada perempuan terkait poligami, ini mungkin tidak ditemukan di negara asal poligami.

Kemudian soal kepemimpinan perempuan. Ada ayat dan hadis, menurut Gus Dur, yang sering digunakan untuk menindas perempuan, yaitu Qs. Annisa (4): 33. Ayat ini menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin atas perempuan. Sementara hadisnya berbunyi: celakalah sebuah kaum yang dipimpin oleh perempuan.

Moderasi Gus Dur atas dua nash ini adalah dengan berangkat pada tafsir ayat tersebut, lalu mengajukan ayat lain yang menekankan kesetaraan laki-laki-perempuan. Misalnya Qs. Alhujarat (15): 13. Qs. Annisa (4): 33 bagi Gus Dur memiliki dua pemahaman, yaitu: 1) tanggung jawab secara fisik laki-laki atas perempuan, dan 2) laki-laki lebih pantas memimpin negara.[3] Tetapi sayangnya pandangan kedua lebih dominan, karena tentu saja laki-laki, yang tak paham perempuan, tidak ingin kehilangan dominasi sosialnya.

Lalu alternatif yang diberikan Gus Dur adalah memberikan dua paradigma yaitu teologis dan konstitusional atas ayat itu. Yang pertama contohnya misalnya ibadah, tentu saja laki-laki adalah imam atas perempuan. Tetapi soal bernegara tidak bisa menggunakan paradigma teologis melainkan konstitusional yaitu kesetaraan di depan hukum (equality before the law).

Dalam hal ini ditunjukkan oleh Gus Dur saat membela Inul Daratista. Betapa dia sangat menjunjung tinggi hukum atas perempuan. Inul yang saat itu banyak dikecam oleh yang beralabel agama dan moral. Bahkan Raja Dangdut Roma Irama melarang ratu “ngebor” itu untuk tampil di televisi.

Gus Dur memberikan pembelaan yang sengit, bahwa apa yang dilakukan Bang Haji itu sangat tidak konstitusional. Karena pelarangan atas aktivitas individu haruslah berdasar hukum, dalam hal ini harus ada putusan hukum terlebih dahulu. 

Tidak bisa melarang secara serampangan, sekalipun atas nama menjaga moral. Karena penegakan hukum juga butuh moral, yaitu dengan tidak serampangan. Terlebih Inul sebagai pekerja seni, yang tidak ada satu undang-undangpun atau satu konstituispun yang dilanggarnya.[4]

Sementara tentang hadis di atas, Gus Dur memberi tanggapan bahwa saat ini hadis itu sudah tidak memiliki konteksnya. Karena turunnya hadis itu pada saat masyarakat Arab berada dalam kepemimpinan personal dalam suku-suku.

Di mana seorang pemimpin adalah segalanya. Pemimpin juga harus memimpin perang, membuat aturan, mengatur ekonomi dan keuangan, memastikan keamanan anggota sukunya. Ditambah lagi masyarakat Arab yang suka berperang antar kabilah, saling menjarah, dst. 

Maka pemimpin yang kuat secara fisik dibutuhkan. Karena itu, kepemimpinan perempuan menjadi lemah bagi kabilahnya.

Tetapi saat ini, kepemimpinan sudah terlembagakan dan kerja-kerja kenegaraan terbagi ke berbagai lembaga. Sehingga memungkinkan perempuan untuk menjadi pemimpin. Dan, itu dibuktikan di Indonesia dengan naiknya Megawati sebagai presiden, Benazir Buto sebagai perdana menteri di Pakistan. Malah negara yang getol bicara kesetaraan perempuan sampai saat ini belum memiliki pemimpin perempuan, seperti Amerika Serikat misalnya.

Di samping itu, kehidupan di nusantara sudah cukup aman. Maka tidak perlu lagi ada pembatasan jam pulang malam pada perempuan. Inilah kelebihan Indonesia ketimbang negara-negara Timur Tengah, yang masih terheran-heran dengan Indonesia karena memiliki hakim perempuan.

Tetapi, moderatisme Gus Dur juga tidak sembarangan. Dia mengkritik “kumpul kebo” sebagai suatu jalan hidup yang tidak konstitusional. Aturan negara atas kumpul kebo, bukan untuk membatasi soal selera kelonan, tetapi justru negara ingin melindungi perempuan agar tidak ditinggal begitu saja. Laki-laki haru bertanggung jawab setelah “ngeloni” bertahun-tahun.

Akhirnya jelas sekali bagaimana Gus Dur meletakkan posisi perempuan Indonesia dengan budaya dan tradisinya masing-masing di tengah dua kekuatan gerakan perempuan internasional. Dia mampu mengelaborasi apa yang cocok bagi perempuan Indonesia dan membuang yang tidak cocok sekalipun berasal dari agama (Islam).


[1] Gus Dur. Islam Kosmopolitan., hal 375
[2] Gus Dur. Islam Kosmopolitan., hal  374
[3] Gus Dur. Islamku, Islam Anda, Islam Kita., hal 133
[4] Gus Dur. Islamku, Islam Anda, Islam Kita., hal 155

Posting Komentar

0 Komentar