Oleh: Herlianto A
Sumber: pixabay.com |
Berada di Indonesia mempelajari filsafat
mendapat banyak tantangan. Mulai dari ketersediaan buku-buku terjemahan yang
baik, soal nyinyiran tetangga tentang filsafat, prospek filsafat yang dianggap
rendahan, filsafat distigma ateis alias anti agama dan Tuhan. Tak pelak,
jurusan filsafat di kampuspun juga menjadi sasaran stigma buruk itu.
Dari beberapa tantangan itu akan kita
dibicarakan poin per poin. Tentang buku terjemahan. Dalam studi filsafat akses
terhadap sumber primer karya seorang pemikir yang dipelajari adalah sangat
penting. Hal ini berkaitan dengan keabsahan kita dalam memberi penafsiran yang
lebih ketat pada seorang pemikir.
Persoalannya, pemikir-pemikir hebat
menulis dengan bahasa ibu (mother tangue)
mereka, seperti Prancis, Jerman, Yunani, Italia, dan juga bahasa Arab. Untuk
mengakses karya-karya itu, pelajar Indonesia harus mengandalkan terjemahan
lebih-lebih yang hanya menguasai bahasa Indonesia atau paling jauh bahasa
Inggris, seperti saya.
Para penerjemah di Indonesia, tidak
semua memiliki bekal filsafat dalam menerjemahkan karya-karya filsafat sehingga
ada banyak register (istilah-istilah pemikir yang diterjamahkan) yang tidak tepat.
Termasuk penggunaan istilahnya tidak presisi (padan). Alhasil ketika dibaca
sangat susah dipahami maksud kalimatnya.
Ditambah lagi keterbatasan kosa kata bahasa
Indonesia yang padan dengan istilah-istilah filsafat. Bahasa Indonesia tidak
berkembang dalam suasana ilmu pengetahuan dan filsafat, melainkan lebih pada
tradisionalisme dan agraris. Sehingga lebih kaya kosa kata budaya dan agraris.
Berikutnya, nyinyiran filsafat tak kalah
menyesakkannya. Kalangan tertentu menganggap filsafat tak lebih dari retorika
atau hanya membolak-balik kata dan istilah. Penggunaan nomenklatur yang
terkesan wow agar terlihat mewah, intellek
dan jenius. Padahal sejatinya biasa saja, bahkan yang diomongkan tampak kosong
terlebih obejk bicaranya berupa hal-hal yang sifatnya spekulatif dan metafisik.
Tantangan ini diperkuat oleh pandangan
yang menilai filsafat sebagai rendahan. Rendahan dalam arti, karena filsafat
hanya memutar-mutar kata maka pelajar filsafat ya bisanya hanya itu, tak lebih. Atau paling mentok pelajar
filsafat bisa menulis. Secara praktik pelajar filsafat tidak bisa apa-apa,
karenanya mereka tidak terlalu laku dalam dunia kerja. Kasarnya, jurusan
filsafat adalah jurusan pengangguran.
Jika beberapa tantangan di atas membuat
filsafat dinilai tidak memiliki signifikansi secara praktis, tetapi pada
tantangan tuduhan ateis dan anti agama adalah sangat serius. Mengapa demikian?
Masyarakat Indonesia adalah komunitas yang cara beragamanya sebagian besar totally taklid terutama pada sosok yang
dianggap ustad. Sialnya, ustad-ustad itu tidak pernah belajar filsafat lalu
mengeluarkan dalil mengharamkan filsafat.
Tuduhannya tanpa dasar, filsafat
dianggap membawa orang pada ateisme dan anti agama, yang sebetulnya sama sekali
tidak bisa dibuktikan. Nyatanya tak sedikit kaum agamawan dari berbagai agama
yang mendalami filsafat dengan baik, tetapi alih-alih menjadi ateis, malah
menjadi sosok yang semakin beriman dan matang keyakinannya pada yang ilahi.
Bisa kita lihat dari Kristen dikenal sosok Thomas Aquinas, St. Anselmus, St. Agustinus.
Di Indonesia sendiri ada Romo Magniz Suseno dan Setyo Wibowo. Dari Islam, tentu
saja Al Khindi, Al Farabi, Ibn Sina, Al Ghazali, Ibn Rusdy, dan yang belakangan
Sayyed Hossein Nasr, Al Jabiri, Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, dst, muslim
Indonesia juga tidak kekurangan yang juga ahli filosof.
Tetapi sikap taklid buta masyarakat kita
membuat semuanya serba sulit. Mereka terlanjur mempercayai dengan tidak kritis
opini sosok yang mungkin dalam hidupnya tidak pernah belajar filsafat secara
langsung dan serius. Mereka hanya mendengar saja kalau filsafat begini-begitu,
tidak pernah membuktikan secara langsung.
Sementara itu, kalau kita lihat di
tradisi Barat, di Prancis misalnya. Filsafat sudah diajarkan sejak sekolah menengah
atas, SMA. Meraka sudah diajari bagaimana bersikap kritis dalam berpikir dan
dalam menyikapi kemapanan pengetahuan yang sudah ada. Sehingga kreatifitas
berpikirnya tumbuh dengan sangat baik. Beberapa tantangan itulah, yang mesti
dihadapi oleh para pelajar filsafat di Indonesia.
Namun demikian, kita tidak perlu risau
apalagi gentar dengan tantangan tersebut. Pasalnya, dalam belajar filsafat ada
kenikmatan yang tidak akan pernah didapat oleh mereka yang hanya mengamati
filsafat apalagi yang hanya nyinyir.
Kenikmatan itu adalah membuka semua
cakrawala pengetahuan. Filsafat mebawa kita pada keadaan open minded atau inklusif dalam melihat apapun. Sikap ini tentu
akan memperkaya pengetahuan, memantapkan sikap dalam menentukan mana semestinya
yang perlu disikapi dengan serius dan mana yang seharusnya hanya cukup dengan
ditertawakan saja.
Bahwa dalam belajar filsafat kita dihadapkan
dengan istilah-istilah yang jelimet, itu benar. Tetapi bukan berarti lantas
membuat filsafat tidak penting. Kejelimetan itu karena filsafat mencoba
membongkar akar setiap pengetahuan, berpikir melampaui yang biasa-biasa. Karena
memang suatu kemajuan bermasyarakat dimulai dari keberanian berpikir melampaui
yang biasa-biasa saja.
Dengan demikian, filsafat akan membawa
kita pada sikap kritis yang tidak mudah percaya dengan segala yang ada sebelum
melakukan pembuktian sendiri. Kita menjadi selalu mawas diri, segala yang
dianggap mapan. Pasalnya, tak jaran dari yang dianggap suatu kemapanan itu
lahir penderitaan berupa penindasan, penipuan, dan hoaks.
Terkait pekerjaan, saya kira kalau hanya
ingin bekerja tidak perlu repot-repot. Ada banyak pekerjaan yang bisa kita
pilih. Di kampung halaman kita masing-masing ada banyak pekerjaan yang bias kita
lakukan. Hanya persoalannya kita sering dihadapkan pada gengsi. Nah sikap
gengsi inilah sebetulnya yang mesti dibongkar melalui berpikir kritis yang
menjadi tradisi filsafat.
Akhirnya, tetaplah berfilsafat walaupun
besok langit akan runtuh, walaupun besok ruh kita akan dicabut oleh Tuhan.
Karena hakikatnya manusia adalah berpikir, dan filsafat mengajarkan kita cara
berpikir yang tertata. Singkatnya manusia adalah ahluk filosofis.
0 Comments