Oleh: Herlianto A
Sumber: atra-abua.blogspot.com |
Modernitas (kemodernan) dan
realitas keberagaman nusantara merupakan satu persinggungan penting yang mesti
dikaji. Pasalnya, di satu sisi, ada spirit yang cukup berkontradiksi
antara modernitas dan keragaman, sementara di sisi lain moderitas tidak bisa
ditolak keberadaannya. Bahkan kini telah benar-benar merasuk ke nadi bumi peritiwi.
Lalu dimana letak kontradiksinya?
Kita akan mulai dengan menarasikan kata kunci modernitas.[1]
Istilah modern mengacu kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
Barat (Eropa) abad 15 M. Perkembangan ini membawa beberapa ekses yaitu
kapitalisasi dan industrialisasi, rasionalisasi dan sekulerisasi, masyarakat
media, dan ideologi yang memisah peradaban tengah.
Kapitalisasi lahir dengan begitu
dahsyat melalui bentuk akumulasi modal yang ditopang oleh insfrastrukturnya berupa
penemuan besar-besaran di bidang teknologi, yang kita kenal dengan revolusi
industri. Kita lihat saja, James Watt menemukan mesin uap, Thomas Alfa Edison
menemukan lampu, Alexander Grahambel menggagas telepon, Benjamin Franklin
menemukan penangkal petir, dst.
Alat-alat yang dapat melipatgandakan
produksi kapitalis itu diciptakan secara masif. Tenaga manusia diganti dengan
mesin-mesin yang dapat bekerja sepanjang waktu tanpa berhenti. Sementara tenaga
buruh dispesifikasi melalui pembagian kerja (division of labour) demi
mencegah agar produksi kapitalis tidak disaingi. Thus, nilai lebih (surplus
value) yang dihasilkan terus meningkat.
Sementara itu, rasionalisasi dan
sekulerisasi juga menjadi dampak yang tak terhindarkan. Peran agama berikut lembaganya
dilucuti sedemikian rupa. Bahkan “Tuhan” pun seakan terus digeser ke belakang. Ada
empat poin sekulerisasi di Eropa yang dicatat oleh Chasles Taylor dalam A
Secular Age. Di antaranya: pertama, agama dikurung di ruang privat
dan agama diatur oleh negara.
Kedua, agama berikut tuhannya
diyakini akan hilang dengan sendirinya seiring dengan kesejahteraan manusia.
Karena agama hanyalah pelarian. Ketiga, ilmu pengetahuan dengan
sendirinya akan menggeser peran agama karena semua yang dianggap peran Tuhan
sudah dapat dijelaskan melalui ilmu pengetahuan. Keempat, filsafat
berkembang untuk menggerogoti metafisika, sehingga berkembanglah materialisme.
Selain itu, modernitas juga
melahirkan objektivisme. Bahwa segala yang disebut pengetahuan haruslah dapat
dibuktikan secara objektif. Objektif dalam artian terukur dengan metode
tertentu yang sangat ketat. Dapat diverifikasi secara empiris pada fakta-fakta
materialnya. Tanpa itu pengetahuan diangap bohong. Diri yang enigmatis menjadi
hilang.
Keterlibatan subjek sebagai
penafsir sebisa mungkin ditiadakan karena subjek berperasaan, memiliki kecenderungan
tertentu yang mengganggu objektivitas. Subjek kadang terikat oleh cinta dan
benci. Dengan kata lain subjek membuat ilmu tidak netral sehingga tidak bisa
diuniversalisasi. Peneliti harus mengambil jarak dari objek yang ditelitinya.
Melalui semangat objektivisme
ini, seolah-seolah ilmu dapat benar-benar netral dan dipisahkan dari subjek
penelitinya. Dogma ini kemudian diratifikasi oleh kampus-kampus nusantara,
sehingga kampuspun terjebak dalam dogma itu. Begitulah, ketunggalan pengetahuan
yang bangun oleh modernitas.
Keragaman Nusantara
Sementara itu, kehidupan
nusantara sangat beragam baik dari suku dan etnis, tradisi, budaya, bahasa,
sikap sosial dalam berpolitik dan berekonomi, bahkan cara mengatasi persoalan
kesehatan yang dialaminya.
Catatannya, Indonesia memiliki
714 suku bangsa (Kompas, 30/3/2019) yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Memiliki
sekitar 2.500 bahasa yang masih hidup. Tak mau ketinggalan, memiliki agama yang
beragam, setidaknya ada enam agama yang diresmikan: Islam, Kristen, Hindu,
Budha, Konghucu, dan Kepercayaan. Agama-agama ini masih memiliki sekte-sekte
dan mazhab-mazhab masing-masing yang
membuatnya semakin beragamnya kehidupan.
Keragaman ini, membuat
universalisasi modernisme menjadi bermasalah. Ada banyak hal yang tidak bisa
dipaksakan pada budaya tertentu untuk diubah menjadi modern. Barat tidak bisa
memaksakan dogmanya pada Timur. Segala pemaksaan akan melahirkan otoritarianisme
dan imperialisme. Sebab itulah, modernitas dikiritk habis-habisan oleh
postmodernisme.
Bahwa modernitas, alih-alih,
mengantisipasi mitos-mitos abad pertengahan atau abad kegelapan, malah justru
menciptakan mitosnya sendiri. Yaitu universalisasi dan objetivisme yang menutup
ruang-ruang kebenaran. Sejak itulah, pasca modern menemukan momen pentingnya
bagi kehidupan yang lebih beragam. Tapi soalnya, apakah modernitas harus dibuang
secara percuma?
Mengadopsi Modernitas
Jawabannya tidak dibuang.
Melainkan diambil sisi-sisi pentingnya untuk diadaptasi dengan realitas
nusantara. Misalnya, sekulerisasi. Gagasan ini tidak salah total, sebagaimana
dijelaskan Nurcholis Majid dalam Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan.
Dia menyatakan bahwa sekulerisasi perlu untuk melakukan pembaharuan di
Indonesia, termasuk pembaharuan dalam beragama.
Tetapi, sekulerisasi harus
dibedakan dengan sekulerisme. Kalau sekulerisme harus ditolak karena menjadi
ajaran yang tertutup, dan bisa membawa pada puncak problemnya yaitu ateisme
yang bertentangan dengan realitas penduduk nusantara yang relijius. Adapun, Gus
Dur sepaham dengan Nurcholis Majid, sebagaimana dituangkan dalam buku Islamku,
Islam Anda, Islam Kita. Poin penting dibuku ini, saat beliau membela Ulil Absor
Abdallah sebagai sosok liberal-sekuler.
Menurut Gus Dur, liberal-sekuler
tidak sepenuhnya salah. Bisa jadi kita yang tidak terlalu memahami dengan
perkembangan pengetahuan. Bahkan, Gur Dur menyebut apa yang dilakukan oleh Ulil
sama dengan yang dilakukan oleh Ibn Rusdy dalam menafsir agama (Islam) di abad
ke 13 lalu.
Berikutnya adalah mengadopsi
modernitas ke kearifan lokal (local wisdom). Bahwa setiap kebudayaan
yang sudah ada pastilah memiliki kearifannya masing-masing dalam menghadapi
setiap tantangan hidup. Mereka teruji oleh masa yang bahkan sudah dilewati
selama ratusan tahun.
Contoh sederhana dalam hal ini,
misalnya, pengembangan obat-obatan yang ditemukan dihampir setiap kebudayaan. Masyarakat
suatu tradisi memiliki caranya sendiri mengatasi penyakit yang dideritanya.
Maka, kearifan lokal ini dapat dipadukan dengan pengembangan ilmu pengetahuan
yang dibawa oleh modernitas.
Demikian, dialog ideal yang bisa kita bangun saat membincang modernitas dan
realitas kebangsaan kita. Modernitas tidak bisa dijejalkan secara begitu saja,
juga tidak bisa dibuang tanpa arti. Melainkan harus didialogkan agar menjadi
pembaharuan yang berarti bagi kebaikan hidup selanjutnya.
[1] Berasal
dari bahasa Latin “modernus” yang berarti baru saja. Spirit modern lahir di
abad 15 M di Eropa yang biasa disebut juga “renaisans” atau kelahiran kembali.
Dalam hal ini Eropa mengkaji kembali khazanah pemikiran Yunani klasik. Tradisi
pemikiran, tradisi sastra, dan bahkan seni.
0 Komentar