Oleh: Herlianto A
Sumber: pixabay.com |
Seorang teman mengeluhkan keadaannya
yang miskin, lalu berkata: “Tuhan tolonglah saya diuji dengan ujian lain. Kalau
hari ini saya diuji dengan kemiskinan, bisakah diganti dengan ujian kekayaan”?
Monolog tanya ini menunjukkan bukan saja
sebuah requets tetapi bagaimana sang
teman mengkonsepsi Tuhannya. Dalam bayangannya Tuhan “dimetaforkan” sebagai
sosok pemberi ujian yang memegang nasibnya, mungkin seperti guru atau dosen.
Konsepsi yang berbeda tentang Tuhan
ditemukan pada teroris. Dalam keyakinan mereka Tuhan laksana algojo yang
menghukum siapapun pelanggar ajaran-Nya. Mungkin Tuhan juga dianggap bercelana
cingkrang. Bagi kaum sufi Tuhan adalah pengasih, pemberi, pecinta, penyayang,
dst.
Bagi para jomblo Tuhan itu sendirian,
tidak beranak dan diperanakkan. Pelaku poligami mengira Tuhan sebagai pemberi
nikmat. Bagi pelacur lain lagi, begitu juga orang lainnya. Bahkan setiap waktu
konsepsi manusia tentang Tuhan bisa terus berubah, seiring dengan pencariannya.
Dalam hal ini, diktum Xenopanes, filsuf
Yunani Klasik, ada benarnya bahwa setiap mahluk memiliki gambarannya
masing-masing tentang Tuhan. Dengan satir dia mengatakan: andaikan sapi, kuda
dan singa bisa menggambar, maka mereka akan menggambar Tuhan mereka mirip
dengan sosok dirinya masing-masing.
Mungkin juga, Feuerbach juga ada
benarnya bahwa kondisi objektif manusia menentukan konsep Tuhannya.
Karena itulah, terkesan filosof memiliki
Tuhan yang berbeda dengan para agamawan. Perbedaan ini yang acap kali
melahirkan stigma sesat (kafir) pada filosof. Sokrates mengalami tragedi
penyesatan ini karena rasionalisasinya dianggap menciptakan Tuhan baru, dia
lalu dihukum mati.
Al Ghazali, pada batas-batas tertentu,
memberi stempel teologi kaum filosof
(terutama Peripatetik macam Al Farabi dan Ibn Sina) juga sesat (rancu).
Sekalipun jalan labelisasi ini dirumuskan dengan cara sangat rasional oleh Al
Ghazali. Namun begitu, tak kurang filosof yang menempuh jalan filosofis tetapi
bertemu dengan konsep doktrin agamanya.
Baiklah, kita akan lihat konsep “Tuhan”
beberapa filosof. Plato, saya kira, adalah yang sangat inspiratif dalam
mengkonsep Tuhannya. Dia menyatakan realitas ultim itu adalah idea (eidos), yaitu realitas adiduniawi yang
maha sempurna. Selainnya, hanyalah tiruan (mimesis)
atau fotokopian yang bersifat fana dan akan hancur.
Aristoteles menyebut energia atau substansi. Realitas ini
terkait erat dengan sebab pertama yang tidak disebabkan tetapi menyebabkan. Ini
yang disebut prima causa. Energia menyelinap atau beyond yang fisika, dialah metafisika.
“Tuhan” baru tersingkap manakala manusia melakukan pencarian berantai dari yang
partikular berupa fakta-fakta material yang dialami manusia, menuju yang
universal yang tunggal.
Plotinus menyebut-Nya To Hen sebagai cahaya yang memancar
(beremanasi) yang memberi wujud pada adaan-adaan di bawahnya. Descartes
mengkonsepnya sebagai substansi, dan selainnya
adalah aksidensi yang keberadaannya bersandar pada substansi. Pandangan
Descartes banyak diikuti pemikir modern di eranya.
Kant, Tuhan merupakan realitas pada
dirinya (the thing in itself) yang
sublim dan tersembunyi. Dia bukan fenomena (imanen) melainkan noumena
(transenden). Manusia tidak akan pernah sampai pada pengetahuan Tuhan sebagai
Tuhan, aksesibilitas intelek manusia berhenti pada rasio murni yang pada
batas-batas tertentu bergantung pada indera dan kateori-kategori akal.
Hegel ngacungkan tangan dan bilang:
Tuhan adalah Roh Absolut. Roh ini berdialektika dengan dirinya sendiri,
sehingga lahir proses menjadi (becoming)
yang terus berlanjut. Dialektikalah yang memungkinkan semua yang partikular walaupun
pada akhirnya akan berpulang pada yang absolut.
Namun, begitu sampai di Nietzsche,
“Tuhan” kurang beruntung. “Si gila” menemukan “Tuhan” telah dibunuh, lagu
kematian pun digemakan. Begitu dicari siapa pembunuhnya? Rupanya, kitalah
pelakunya, manusia-manusia modernlah aktor yang sadis itu.
Heidegger lalu berusaha menghidupkannya
kembali, dia bilang para filosof itu lupa akan Ada, yang itu adalah realitas
ultim yang pernah dibunuh itu. Manusia tak bisa menolaknya. Alih-alih membunuh-Nya
lagi, manusia justru sosok tak berdaya yang terlempar begitu saja ke dalam
dunia-Nya.
Manusia secara fenomenologis adalah
bawang, yang apabila dikuliti dirinya (identitasnya) satu-persatu maka yang
tersisa adalah ketiadaan. Ah, biarin
sajalah mereka cemas dan galau menuju hari kematian yaitu ketiadaannya.
Kemudian, Ibn Sina sambil menggulung
sorbannya, berkata bahwa Tuhan adalah wujud mutlak (wajib), yang mesti
dibedakan dari wujud mungkin (mumkin) dan wujud mustahil (mamnu’al). Al Farabi
sebelumnya sudah bilang Tuhan itu pikiran (akal), yang memikirkan (akil), dan
yang dipikirkan (ma’kul).
Ketiganya berdialog sehingga lahir
rentetan wujud, dari wujud mutlak ke wujud profan. “Iya setidaknya ada sepuluh
rangkaian wujud, hingga menuju akal fa’al,
” serunya.
Ibn ‘Arabi menyebut kita semua adalah
nisbi dan Tuhanlah yang mutlak. Sayangnya, pengetahuan kita tentangnya selalu
negatif. Pendek kata, Tuhan bukanlah manusia, bukan hewan, bukan batu, dan
bukan-bukan yang lainnya. Manusia adalah agnostik tentang-Nya. So, stop talking Him.
Mulla Shadra, memoderasi bahwa Tuhan
adalah fundamentalitas wujud. Ia adalah Ada yang mencakup segalanya atau
dasarnya dasar, atau kesederhanaan yang berada dilevel akhir yang tak mungkin
lagi ada yang lebih sederhana.
Hah, rupanya masih
banyak “Tuhan-Tuhan” filsosof lainnya.
Kira-kira begitulah singkatnya “Tuhan”
para filosof yang entah sampai kapan rumusan yang berbeda itu akan berhenti.
Lalu yang benar-benar Tuhan yang mana? Yang pasti konsepsi tentang Tuhan
bukanlah Tuhan itu sendiri.
Dengan kata lain, cukup sulit menolak
dualisme antara Tuhan sebagai Tuhan dan Tuhan yang dikonsepsikan manusia. Artinya
apa? Artinya konsepsi filosof tentang Tuhan adalah plural se-plural kepala
filosof itu sendiri.
0 Comments