Oleh: Herlianto A
Sumber: pixnio.com |
Terhadap dogma, ortodoksi, fanatisme dan
pengkultusan pada apapun, filsafat laksana cangkul yang bisa digunakan untuk
mengurai sederet jenis kebekuan itu. Seperti palu yang dapat memecah gundukan
es yang memadat agar kembali retak lalu dengan mudah mencair untuk dibentuk
ulang dengan model yang berbeda yang lebih kontekstual dengan realitas.
Cangkul filsafat itu ialah berupa
pertanyaan-pertanyaan yang radikal yang menghujam ke hulu hati suatu pengkultusan.
Berupa keraguan yang dilemparkan pada api dogma yang membara sehingga seketiga
padam.
Dalam sejarah filsafat kita biasa melihat
pemikir-pemikir besar dikiritik oleh generasi berikutnya. Bahkan tak sedikit
gurunya sendiri dikiritik secara terhormat oleh pemikir berikutnya yang hidup
di zaman yang berbeda. Kita tahu betapa besarnya sosok Plato di abad Yunani
klasik tetapi dikritik habis oleh Aristoteles yang tak lain muridnya sendiri
yang pernah belajar padanya selama 20 tahun.
Begitu juga GWF. Hegel, pemikir besar Jerman,
dikritik oleh Karl Marx yang sebelumnya merupakan pengagumnya sendiri.
Diceritakan awalnya, Marx adalah sosok Hegelian fanatis awalnya, tetapi pencariannya
mengubah pandangannya. Hal yang sama terjadi pada Descartes dilibas oleh David
Hume, atau rasionalisme oleh empirisme. Tetapi Hume juga tak dibiarkan tidur
nyenyak oleh Immanuel Kant, melalui filsafat transendentalnya.
Dalam tradisi Islam juga terjadi hal yang sama.
Betapa hebat dan besarnya Al Farabi dan Ibn Sina, karya-karyanya menggugah
perkembangan pengetahuan awal kelahiran filsafat Islam. Bahkan tidak hanya
dalam dunia filsafat, tetapi juga medis. Tetapi Al Ghazali memberikan catatan
yang membuat kita mesti waspada terhadap pemikiran keduanya, lantaran beberapa
gagasan filosofis diekspos kelemahannya oleh Al Ghazali.
Tetapi pandangan Al Ghazali ini juga tidak dibiarkan
tenang oleh Ibn Rusdy, tokoh Islam besar lainnya. Pemikir asal Spanyol itu juga
memberikan bantahan yang tak kalah dahsyatnya terhadap poin-poin kritik Al
Ghazali. Tradisi ini juga terus mengalir dalam sejarah filsafat Islam bahkan
hingga hari ini.
Kisah kritik-mengkritik atau kritik atas kritik ini yang kalau boleh kita bahasakan dengan istilah sederhana yaitu “dialektika” (tesis-antitesis-sintesis) adalah tradisi paten dalam filsafat. Sejarah dialektika filsafat ini menguatkan kita semua bahwa sebetulnya senjata paling ampuh dalam membongkar pembodohan lewat dogma-dogma tertentu adalah filsafat itu sendiri.
Memang dalam sejarah filsafat, kita mungkin melihat
orang-orang tertentu yang mati-matian membela pemikiran suatu tokoh. Katakanlah
sosok yang menjadi Marxis, Nietzschean, Al Farabian, Al Ghazalian, Shadrian,
dst. Pelajar filsafat macam ini biasanya menjadi seperti pengabdi sejati,
sehingga apapun yang dikatakan oleh filosof yang dipujanya maka semacam sudah
otomatis benar atau paling tidak dengan coba ditafsir secara lebih jauh
sehingga dapat lebih diterima. Mereka-mereka ini biasanya acap kali tergelincir
ke dalam pengkultusan, yang sebetulnya tidak diinginkan oleh filsafat itu
sendiri.
Tetapi juga ada pelajar filsafat yang menjadikan
pemikiran filosof tertentu sebagai pijakan awal saja. Artinya, dia mengkaji
secara mendalam pemikiran filosof yang dikaguminya, segala buku-bukunya dibaca
ulang secara lebih kontekstual, tetapi tidak terjebak dalam fanatisme.
Singkatnya, mereka mempelajari filsafat tertentu untuk dikaji ulang atau bahkan
untuk melahirkan corak filsafat yang baru.
Jenis ini biasanya akan memberikan kajian lanjutan
terhadap pimikiran filosof yang digelutinya, bahkan bisa melahirkan pemikiran
yang baru. Mereka menyadari bahwa pemikiran itu selalu terikat dengan konteks
zamannya, sehingga apabila zaman berubah maka perlu kerangka pemikiran yang
berbeda.
Misalnya, beberapa pengikut Marx yang kemudian
memberikan interpretasi dan perkembangan teori, sebut saja Antonio Gramsci,
Louis Althusser, Alain Badiou, dst. Pemikir-pemikir membuat pemikiran Marx
tetap ada tetapi bukan sebagai Marxisme melainkan sudah berkembang dengan
kerangka yang baru.
Jadi sebetulnya proses berfilsafat itu adalah satu
cara yang paling efektif untuk membangun kesadaran terhadap apa yang dianggap
mapan. Filsafat adalah ramuan paling ampuh mengobati penyakit fanatisme.
Karena alasan inilah ciri filsafat acap kali
dimusuhi oleh banyak kalangan yang tidak menyukainya. Bahkan ilmu filsafat juga
dibenci dan coba dibungkam dengan berbagai cara, termasuk dengan membawa fatwa
agama demi menjauhkan filsafat dari kesadaran kita semua. Namun demikian,
kebenaran akan tetap sebagai kebenaran apapun yang terjadi.
0 Komentar