Oleh: Herlianto A
Sumber: pixels.com |
Saling melapor atas tuduhan menista agama, saling
mencaci maki, saling menghina keyakinan mereka dan sejumlah irasionalitas
lainnya adalah satu potret beragama kita di nusantara belakangan ini. Entah
mengapa, agama di tangan mereka menjadi lagu tanpa nada, menjadi biola dengan senar
yang fals. Sungguh sangat kehilangan keindahannya, dan terkadang menjijikkan.
Apa sebetulnya yang mereka perebutkan melalui agama
itu? Kekuasaankah? Kehormatan? Surga? Atau sebetulnya mereka berebut
tulang-belulang dan bangkai saudaranya sendiri? Tampaknya penganut agama mudah sekali tersulut
oleh omongan-omongan para da’i yang sedang mempertahankan panggung wibawanya.
Agama (para penyandang agama), seperti kehilangan imajinasi
untuk menyikapi segala hal yang kontraversi dengan arif. Seperti kehilangan
cara untuk mengkonversi hal-hal yang tak biasa, yang nyeleneh, dan aneka rupa
kesalahan menjadi hikmah. Seperti kehilangan akal untuk menunda amarah menjadi
perang dan kebencian.
Aneka rupa ketidak-mampuan ini, sedikitnya, menyeret agama ke salah satu watak historisnya yaitu perang, yang sebetulnya sudah ingin diakhiri melalui berbagai konvensi nasional dan internasional. Penganut agama, nuraninya, menginginkan tak ada lagi perang Salib, tetapi Israel dan Palestina bergejolak.
Para pemeluk Islam tidak ingin lagi perang saudara
Shiffin melanda umat, tetapi ISIS merambah negara-negara muslim. Berjuta-juta
nyawa melayang tanpa arti, kerusakan terjadi di berbagai tempat, dan jutaan
yang masih hidup lainnya menggelandang tak punya tempat tinggal, kehilangan
keluarga sanak famili.
Agama, sepertinya, selain ditakdirkan sebagai jalan
keselamatan juga dapat dipersalahgunakan untuk kemungkaran oleh mereka yang
menginginkannya. Agama yang mengajarkan ketundukan kadang diartikan sebagai kepatuhan minus
rasionalitas, yang diwujudkan dalam “mengangguk” tanpa kesadaran apapun.
Sisilah lemah yang paling naif inilah yang kemudian dieksploitasi untuk kejahatan.
Maka tak pelak, dimensi rasional keberagamaan ini
mesti yang paling diperhatikan saat ini karena emosi telah mendominasi. Emosi
menggulung kesadaran rasional, sehingga kesadaran praktis yang kita miliki
tidak lagi berdampak pada tingkah laku. Emosi memperlebar jarak antara nalar
praktis dengan prilaku kita. Atau pendeknya epistemologi terputus dengan
aksiologi.
Dengan demikian, kehadiran filsafat menjadi opsi
yang paling mendesak di lingkungan agama. Lalu apa yang bisa digali melalui
filsafat? Sebelum itu, memang filsafat sejauh ini mengalami trauma sejarah dan
sofistikasi.
Dalam sejarah, filsafat selalu diidentikkan dengan
kajian kalam (teologi) yang dianggap dapat meruntuhkan iman. Walaupun kemudian,
dalam evolusinya sejarah juga menunjukkan peran penting filsafat dalam
penguatan keimanan. Kemudian secara sofistikasi ialah lahirnya sosok-sosok yang
mendominankan retorika, sehingga citra filsafat menjadi sebatas onani kata dan
bahasa minus moral.
Tetapi, itu juga tidak sepenuhnya tepat, lantaran
orientasi filsafat bukanlah kepuasan retoris yang hanya berhenti pada dereten
proposisi-proposisi. Melainkan, filsafat, seperti yang dinyatakan para tokoh
besarnya bervisi mencipta sosok-sosok yang bijaksana (sophia), mawas diri, berani (andrea),
saleh, dan kebajikan lainnya.
Untuk mencapai itu, maka manusia perlulah memeriksa
segala yang ada dalam hidupnya. Manusia perlu memeriksa segala seruan para da’i,
ajakan-ajakan yang bernuansa agama, serta seruan-seruan yang berembel-embel
agama. Prinsipnya, keburukan tidak akan berubah menjadi kebakian sekalipun
dibungkus dengan “takbir”, dengan sorban dan dengan daster.
Filsafat senantiasa meragukan segala apa yang
mencurigakan tanpa terjebak menjadi skeptisis. Ini semua mengingat potensi
filsafat yang dapat disalahgunakan dengan mengeksploitasi sisi irasional
manusia dengan menjauhkan rasio terhadap agama. Harapannya adalah lehirnya
kesadaran kritis, sehingga beragama bukan jalan pelarian tetapi pilihan
rasional yang meyakinkan.
Dengan demikian alih-alih filsafat ini berbahaya
bagi agama, malah justru agama adalah “sosok” yang paling membutuhkan filsafat,
agar potensi buruk yang ditutup melalui agama dapat dibongkar, dan pada waktu
yang sama agama menajamkan sisi emansipatifnya.
0 Komentar