Oleh: Herlianto A
Sumber: dutaislam.com |
“Mengapa kecenderungan atas khilafah dan
komunis masih ada dan akan terus ada?” Saya kira ini satu pertanyaan yang menantang
untuk kembali meng-update perbincangan
soal khilafah dan komunis. Dibubarkannya PKI dan HTI tidak lantas ajarannya
ikut karam, sirnanya sebuah organisasi tidak meniscayakan hilangnya ideologi
yang dibawa.
Kita tahu bahwa eksperimentasi
khilafahisme dan komunisme sama-sama pernah dilakukan. Era kerajaan Islam yang
pernah ada dianggap sebagai praktik khilafah yang sukses oleh kalangan HTI.
Begitu juga dengan Uni Soviet dianggap eksperimentasi komunisme yang pernah
dilakukan. Walaupun begitu, keduanya sama-sama mengalami “kegagalan”. Karena
itu, hari ini kita tidak melihat “batang hidung” negara yang murni khilafah dan
komunis.
Namun demikian keduanya sering diajukan
sebagai alternatif untuk mengganti tatanan sosial yang ada. Kok bisa? Dalam buku The Communist Hypothesis, Alain Badiou
memberikan suatu pandangan yang menarik untuk diperbincangkan tentang “kegagalan
komunisme” (bisa juga ke khilafahisme). Memang tak sedikit kalangan menilai
bahwa komunisme sudah gatot alias
gagal total, sebabnya tak lain yaitu runtuhnya Uni Soviet sebagai representasi
komunis.
Akan tetapi bagi Badiou “kegagalan” ini
masih menyimpan tanya dan ada sekian hal yang mesti diurai agar kegagalan
komunisme dapat diletakkan secara adil. Mula-mula, filsuf Prancis itu
mempertanyakan apa yang dimaksud gagal dalam hal itu? Apakah kegagalan komunisme
itu total sehingga kita harus menolak apapun darinya bahkan semua emansipasinya?
Atau hanya kegagalan relatif yaitu kegagalan sebatas pada jalan yang dilaluinya
bukan pada kebenaran gagasannya?[1]
Melalui beberapa tanya ini, Badiou
menilai bahwa kegagalan komunisme sebagaimana dinyatakan oleh banyak orang
dapat diklasifikasi ke dalam dua kategori, yaitu kegagalan negatif dan positif.
Kegagala negatif, adalah kalangan yang menilai dengan bersandar pada fakta
peristiwa kematian dan pemenjaraan agen-agen komunis, aneka pengkhianatan,
hilangnya kekuatan, dan perpecahan atau fragmentasi yang terjadi pada tubuh
gembong komunis.
Sementara, kegagalan positif, adalah
kalangan yang menilai bahwa gagalnya gerakan revolusioner itu hanyalah soal
perhitungan strategi, adanya perubahan model tindakan, dan penemuan model
organisasi yang baru. Sehingga dengan ini, komunisme sebagai cita-cita social manusia
tetap berada pada posisi yang mulia.[2]
Dikaitakan dengan istilah sains, Badiou
menganggap bahwa komunisme adalah sebuah hipotesis. Artinya, kegagalan
penerapan komunisme bukanlah kegagalan total yang berarti tertutupnya segala
kemungkinan terealisasinya di masa akan datang. Justru, sebagaimana hipotesa
itu sendiri, komunisme adalah sebuah kemungkinan yang menjalar dalam ruang dan
waktu dan jika segala prakondisinya memungkinkan maka akan aktual. Memang tidak
mungkin hari ini, tetapi adalah kemungkinan bagi masa yang akan datang.
Kemudian, dilihat dari semangat emansipasinya,
bahwa komunisme merencanakan kehidupan yang setara di mana tak ada penindasan,
maka paham ini jelas menjadi sebuah ide tertinggi bagi semua tatanan masyarakat
yang dibangun di manapun di dunia ini. Karena itu, ide komunisme bagi Badiou
tak ubahnya idea Plato (eidos).[3]
Yaitu suatu dunia yang sempurna di mana segala tindakan manusia mengacu dan mengarah
padanya.
Maka segala kegagalan eksperimentasi
komunisme tidak berarti keadi-duniwiannya terganggu dan gagal. Eksperimentasi
itu hanyalah jalan relatif yang coba terus diupayakan dari waktu ke waktu
hingga prakondisinya terpenuhi. Sebagaiamana kita mengimpikan keadilan lalu
kita memperjuangkannya hingga hari ini. Inilah sikap optimistis Badiou tentang
komunisme.
Menariknya, keyakinan Badiou ini, dengan
porsi ilmiah yang berbeda, dapat kita tangkap dari para PSK (Pengusung Sistem
Khilafah). Mereka juga punya keyakinan akan khilafah yang diturunkan dari
doktrin agamanya, bahwa dalam khilafah ada janji keadilan, janji kesetaraan,
janji tanpa penindasan, dan keindahan imajinatif lainnya.
Karena itu, sistem ini mesti terus
dieksperimentasikan dengan segala cara. Kegagalan Osama Bin Laden, ISIS, dan
agen-agen PSK lainnya tidak lantas membuat hipotesa khilafah gagal total. Justru
berbagai prakondisi harus diupayakan lagi dan lagi, baik melalui pembentukan
organisasi, penyebaran dakwah, hingga transformasi budaya. Artinya, mereka juga
meletakkan khilafahisme sebagaimana Badiou melatakkan komunisme dalam sudut
pandang idea Plato.
Dengan demikian, khilafahisme dan
komunisme berada pada posisi yang sama terhadap tatanan masyarakat yang tak
menerapkan dua sistem ini. Janji keadilan, kesetaraan, kesejahteraan, dan
keindahan lainnya yang terdapat pada dua “isme” tersebut membuat keduanya
selalu hadir dalam setiap ketidak-adilan yang terjadi dalam suatu negara.
Mereka semacam “marketing” mengajukan alternatif kehidupan bermasyarakat yang
menjanjikan sekalipun keduanya memiliki sejarah masalalu yang sama-sama kelam.
Khilafahisme dan komunisme memiliki
titik berangkat yang sama untuk menyusupkan perspektifnya, yaitu ketidakadilan
material. Kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin, imperialisme atas negara-negara
berkembang, kekayaan alam yang diangkut oleh negara-negara maju, dan segala
eksploitasi kemanusiaan.
Kesamaan pada persoalan ini sebetulnya
yang membuat keduanya dapat saja bertemu di jalan, mereka bisa jadi aksi bersama,
walaupun penyelesaian akhirnya berbeda. Khilafah ke sistem Islam sementara
komunis ke sistem komunis yang banyak ditejemahkan menjadi sosialisme.
Namun demikian, mengapa visi emansipasi,
keadilan, dan kesejahteraan dari dua isme sepertinya susah untuk diterima?
Jawabannya temporernya adalah karena memang tidak terlepas dari posisinya
sebagai sebuah hipotesis. Artinya, realitaslah yang membuat suksesi
eksperimentasi dua paham ini tertunda.
Katakanlah keduanya dibenturkan dengan
pancasila, bukan berarti pancasila tidak menerima visi agung dari dua isme
tersebut melainkan pancasila juga punya visi dan janji yang sama dengan mereka.
Dan saat ini, prakondisi yang ada memungkinkan pancasila terealisasi duluan
ketimbang khilafah dan komunis yang membawa derita sejarah itu.
Negara-negara dunia juga cenderung
eklektik dalam membangun tatanan sosialnya, cenderung memadukan berbagai ideologi
dengan mengambil bagian yang tepat bagi negerinya. Misalnya saja, Cina yang
dikenal komunis tetapi praktik ekonomi sangat kapitalis. Alhasil, dilihat dari prakondisi yang ada
sekarang ini khilafah dan komunis masih sebatas imaji bagi masyarakat
nusantara.
[1] Alain Badiou.2010. The Communist Hypothesis (translated by
David Macey dan Steve Corcoran). London: Verso., hal 6
[2] Alain Badiou. The Communist Hypothesis., hal 9
[3] Alain Badoiu. The Communist Hypothesis., hal 229
0 Comments