Oleh: Herlianto A
Sumber: Dictio.id |
“Mahluk berdebat” adalah satu dari
sekian hakikat manusia yang mesti dikemukakan. Sejarah menunjukkan bahwa betapa
manusia melalui hari-harinya dengan perdebatan-perdebatan. Itu bisa kita lihat
dari kisah-kisah perdebatan atau silang argumen pada beberapa buku yang hadir
untuk mendebat buku sebelumnya yang tidak disepakati.
Hingga hari ini sebagaimana kita
saksikan debat itu terus mengambil panggung baik di dunia nyata mapun dunia
maya. Motif dari tindakan ini ialah kecenderungan manusia untuk mempertahankan
apa yang dianggapnya benar.
Yang menarik dari semua perdebatan itu
ialah bagaimana para pendebat (debater)
dapat memenangkan perdebatan. Atau bahkan membuat lawan bicaranya dipermalukan.
Sanjatanya adalah, tentu saja, retorika, yaitu seni mengolah bahasa. Retorika
berperan penting untuk menyokong kehendak untuk menang manusia.
Mendasarnya retorika dalam debat
ditunjukkan sejak ribuan tahun lalu. Adalah filosof Aristoteles, pemikir Yunani
Kuno hidup sekitar 2400 tahun lalu, yang membahas secara serius tentang
retorika. Dia menulis On Rhetoric, sebuah
buku yang menyingkap hakikat retorika sekaligus bagaimana mempraktikkannya
dengan tanpa menghilangkan wisdom (kebijaksanaan).
Bagi Aristoteles retorika, yang mengolah
kata dan frasa (eloquence),
difungsikan untuk memperkuat daya persuasi dalam suatu perdebatan. Retorika
dibedakan dengan dialektika atau dialogostai
yang biasa digunakan Sokrates saat berdialog one on one dengan kaum sofis. Dialektika diniatkan mencari dan
menemukan kebenaran, sementara retorika untuk menguatkan dan meyakinkan audience pada kebenaran itu.
Para pengguna retorika dibagi dalam tiga
kelompok kala itu: para hakim (courtroom
speaking), politisi (political
speaking), dan publik figur (ceremonial
speaking). Yang pertama adalah perdebatan para hakim untuk membuat suatu
keputusan hukum, yang kedua perdebatan para politisi untuk mempengaruhi para
legislator, dan ketiga perdebatan orang-orang yang ingin dipuji dan
dibangga-banggakan. Bagi Aristoteles, yang ketiga ini menghilang sisi
kebijaksaan dari retorika.
Lalu bagaimana retorika yang baik? Menurut
Aristoteles retorika perlu memenuhi tiga unsur yaitu logika (logos), etika (ethos), dan emosi (pathos).
Logika berkaitan dengan bagaimana proposisi-proposisi digunakan sebagai bahan
argumennya, serta bagaimana menyusun proposisi tersebut menajadi rentetan
argumentasi yang sistematis dan masuk akal. Dalam hal ini sangat terkenal dari
temuan murid Plato itu adalah silogisme.
Sementara etika berkaitan dengan sosok
atau figur pendebatnya, artinya pendebat harus memiliki kredibilitas yang baik,
track recordnya di masyarakat tidak
buruk. Sehingga jangankan pendebat ini berbicara, naik ke atas panggung saja sudah
membuat publik percaya padanya. Jadi ada nilai moral, kejujuran, dan integritas
yang mesti dipenuhi oleh pendebat yang baik.
Untuk membangun elemen etik ini ada tiga
hal mesti terpenuhi, yaitu kecerdasan (intelligence)
berupa luasanya wawasan dan kejelian dalam menangkap argumen lawan serta
kemampuan menganalisasnya. Kemudian pekerti (character) yaitu sikap moral dan respek pada lawan debat, serta
niat baik (good will) yaitu bahwa
perdebatan ditujukan untuk mempetahankan kebenaran bukan justru untuk merusak
kebenaran dengan motif apapun. Di sini
kita temukan komitmen Aristoteles pada filsafat, yang membuatnya berbeda dengan
pendebat bayaran yang mungkin belakangan ini bekeliaran dalam rupa buzzer-buzzer.
Adapun unsur ketiga, emosi, yaitu
pendebat harus mampu mengendalikan keadaan. Mencairkan suasana apabila membeku
dengan kalau perlu menghadirkan nuansa humorikal, dan membelokkan mental publik
sehingga dapat mengarahkan keinginan publik dapat berubah sesuai dengan apa
yang dia inginkan. Jadi, pendebat mesti memahami psikologi massa.
Apa yang diulas Aristoteles ini adalah,
dapat disebut bentuk formal dari kehendak untuk menang. Katakanlah terjadi
berdebatan dalam sebuah forum, maka dengan standar Aristoteles ini mereka dapat
saring serang dan saling tangkis, persis seperti sebuah pertandingan bola volley
atau tenis meja. Ada smash, blok, dan tangkisan pada smash. Semua itu masih
dalam satu lapangan dimana sang pemenang didapatkan.
Namun demikian, kehendak manusia untuk
menang kadang melampaui takaran-takaran retorika yang disuguhkan oleh
Aristoteles itu. Perdebatan-perdebatan kadang dilawan bukan dengan argumen retoris
tetapi dengan mempermainkan psikologis atau bahkan represi.
Perdebatan kadang hanya ingin memancing
emosi lawan dan meciptakan kegaduhan demi agar viral. Karena itu, debat ini
lebih banyak diisi oleh hinaan-hinaan ketimbang adu argumen. Alhasil seringkali
pendebat terjebak pada bukan menyerang argumen lawan tetapi menyerang pribadi
yang biasa disebut ad hominem.
Lebih jauh ada tindak represi untuk
mempertahankan kehendaknya untuk menang. Represi bisa berupa dua hal yaitu
melalui aparat atau mobilisasi massa. Aparat biasanya dilakukan oleh negara untuk
mempertahankan apa yang dianggap benar. Sementara mobilisasi massa adalah upaya
menunjukkan konvensi dalam jumlah besar. Bahwa pandangannya adalah benar dengan
ditunjukkan oleh banyakknya massa yang berada dibarisan itu.
Begitulah cara manusia untuk mempertahankan
kehendaknya untuk menang. Retorika hanya satu senjata saja yang biasa digunakan.
Ada banyak senjata yang digunakan manusia hingga terkadang menyalahi
nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
0 Komentar