Oleh: Herlianto A
Sumber: pixabay.com |
Apa yang kita rindukan sebetulnya dari suatu jerih payah berpikir―suatu aktivitas yang
menghabiskan 25 persen dari keseluruhan energi yang kita punya? Aktivitas yang
apabila dikerjakan tentu melelahkan.
Apakah berpikir sebatas menunaikan hakikat kita sebagai animale
rasionale (mahluk rasional) atau lantaran anjuran-anjuran agama? Atau
berpikir sebagai upaya mencari jalan mempertahankan hidup? Dari sekian
tanya ini manakah problem yang paling
hakiki, atau semuanya atribut (aksiden) belaka atau malah semuanya hakiki?
Harari dalam Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia
mengkonfirmasi bahwa revolusi kognitif (berpikir) adalah revolusi pertama yang
dialami oleh umat manusia, sebelum revolusi berikutnya terjadi, yaitu revolusi
pertanian dan sains (industri).
Gerak berpikir berarti mengawali peradaban dan akan meneruskan peradaban manusia.
Ilmuan-ilmuan evolusi turut membuktikan perkembangan kognitif manusia dan pengaruhnya
terhadap kehidupan. Perkembangan itu ditandai dengan semakin membesarnya volume
otak manusia seiring dengan kompleksitas kehidupan dan budaya manusia itu
sendiri.
Bahkan gerak berpikir itu tidak saja horizontal tetapi juga vertikal,
dalam arti bahwa manusia dalam berpikir tidak saja menyentuh yang sosial di
sekitar manusia itu sendiri, tetapi terus berupaya menanjak menuju
kesempurnaan-kesempurnaan, hingga kadang menjelma dalam “kenakalan” yaitu
berpikir menjadi menjadi “Tuhan”. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai Homo
Deus. “Menjadi Tuhan” tidak saja berupaya mewarisi sifat-sifat ketuhanan,
tetapi kadang seolah menjadi pengadil bagi sesama manusia lainnya.
Begitulah dahsyatnya berpikir. Kalangan filosof kemudian memberi
definisi paling esensial yang bisa membedakan manusia dengan benda dan mahluk
lainnya ialah berpikir. Berpikir menjadi identik dengan manusia, konsekuensinya
membonsai pikiran berarti membonsai manusia dan berhenti berpikir berarti
berhenti menjadi manusia.
Untuk menjunjung tinggi hakikat manusia itu, manusia lalu membangun
lembaga-lembaga pendidikan, baik sekolah, kampus, pesantren, hingga
langgar-langgar sebagai tempat menempa pikiran.
Walaupun tak sedikit lembaga-lembaga itu yang kemudian menghianati
esensi manusia itu sendiri, yaitu menjadikan pendidikan barang dagangan dan
pada batas-batas tertentu justru menciptakan pembodohan lantaran mengkerangkeng
kebebasan berpikir para anak didiknya. Sekolah kemudian menjadi penanda formal
belaka bukan penanda bahwa manusia betul-betul berpikir. Tetapi setidaknya
lembaga itu pada awalnya diniatkan sebagai upaya menjunjung tinggi berpikir.
Aktivitas berpikir menemukan bahasa universalnya sebagai “filsafat”.
Berfilsafat kemudian berarti aktivitas berpikir tentang apapun sejauh diniatkan
mencintai kebijaksanaan (sophia). Berpikir berarti usaha mereguk secawan
kebijaksanaan yang kemudian dipegang teguh oleh para filosof. Memikirkan politik,
ekonomi, moralitas, keindahan, kealaman, kebudayaan, kesehatan, dst adalah
termasuk berfilsafat. Ragam ilmu dikandung oleh filsafat tetapi kemudian abad
modern “memaksa” filsafat melahirkan beragam bidang ilmu itu dan lalu
menambahkan sufiks “logi” pada anak-anak filsafat yang terlahir itu.
Lahirnya anak-anak filsafat bukanlah akhir hidup bagi filsafat. Ia
tetap mengembara untuk terus mereguk tuak kebijaksanaan. Canggihnya teknologi
alih-alih menegasikan filsafat, justru membuat filsafat semakain dibutuhkan.
Karena rupanya, teknologi melahirkan sampah sosial dan segudang persoalan
kemanusiaan yang tak bisa dijawab oleh teknologi itu sendiri.
Filsafat harus hadir untuk memberikan “segelas air” pada peradaban
yang terlihat kehausaan oleh teriknya limbah moral yang semakin menggila di
awal abad 21 ini. Dengan demikian, filsafat tetap menjadi satu lengkung oase
yang mesti terus dilestarikan agar peradaban tidak mengalami kegersangan yang
akut yang dapat menyebabkan ambuknya nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
0 Comments