Oleh: Herlianto A
Sumber: aremamedia.com |
Takdir yang mesti kita terima
adalah sebagai pelajar filsafat yang lahir terlambat. Lahir di saat mayapada
pemikiran telah dipenuhi oleh gagasan-gagasan besar, teori-teori yang canggih,
pemikiran-pemikiran yang orisinil dan ide-ide emansipatif alias revolusioner.
Buku-buku hebat, magnum opus, bergelimangan di jagad perbukuan yang
ditulis oleh pemikir-pemikir besar.
Realitas ini yang membuat kita
menghabiskan waktu puluhan tahun hanya untuk mempelajari sejarah pemikiran para
tokoh filsafat yang berjumlah ratusan atau ribuan itu. Mengurutkan rangkaian
dan mata rantai pemikiran yang mempengaruhi sebelumnya untuk mengkonstrukti
bangunan ide mereka. Tak heran bila ada pelajar yang kemudian mengabdikan
hidupnya hanya untuk mempelajari sejarah filsafat. Bahkan hanya mempelajari
satu tokoh saja, hidup dan mati hanya untuk sosok dikagumi.
Alhasil begitu liang kubur
memanggil kita, tak ada gagasan orisinil yang lahir selain menulis ulang
sejarah filsafat, atau memprofil satu tokoh saja. Lalu apa yang bisa kita perbuat di tengah himpitan
pemikir-pemikir besar itu? Adakah kemampuan untuk bersaing? Merenungi
pertanyaan ini seakan membawa kita pada psimisme soal berkontribusi dalam dunia
pemikiran. Ada rasa putus asa untuk bersaing.
Namun kabar baiknya ada dua hal. Pertama,
filsafat tidak mengharuskan kita menghafal dan mengutip tokoh-tokoh sebelumnya.
Penanda filsafat bukanlah kutipan yang mensyaratkan frasa “menurut si A, B, C,
dst,”, berfilsafat bukan untuk menjadi “penurut”. Walaupun tetaplah tidak buruk
kita mempelajari berbagai pemikiran filsuf awal.
Toh itu dapat memperlebar
cakrawala, memperkaya wawasan dan agar tidak mengulang-ngulang ide-ide yang
sudah ada. Atau bahkan, pada batas tertentu, itu menjadi keharusan yang mesti
dilakukan untuk memulai mengenal filsafat.
Kedua, fenomena kehidupan
kita terus berubah, peristiwa kebudayaan dinamis, politik berganti-ganti,
ekonomi turun naik-naik, teknologi fluktuatif, fakta-fakta sosial, termasuk
ilmu pengetahuan itu sendiri juga terus bergerak. Gerak perubahan itu selalu
membutuhkan sesuatu yang baru, teori yang baru, paradigma hingga metode juga
baru. Pendeknya, realitas membutuhkan pemikiran (filsafat) yang selalu baru.
Maka tentu saja, dalam hal
kebaruan ini tidak mungkin Sokrates, Plato, Ibnu Sina dan Ibnu Rusdy yang
bangkit lalu memberikan pandangannya. Mereka adalah anak zamannya yang telah
tiada. Walaupun kita bisa membangkitkan melalui reinterpretasi atas gagasan-gagasan
mereka. Dan itu menjadi sumbangsih kita sebagai pembaharu.
Atau yang paling asyik adalah
mengupayakan “poligami”, bukan poligami selangkangan melainkan pemikiran. Bahasa
yang lebih wah ialah “mendialogkan” atau “mendialektikakan” berbagai
ide-ide yang ada untuk kemudian “dikeloni” bersama agar terlahir anak-anak
pemikiran yang cocok dengan realita zamannya.
Poligami pemikiran, saya kira,
agak sedikit berbeda dengan eklektisisme walaupun kesamaanya sangat besar. Eklektik
memiliki kesan sebatas mengumpulkan teori-teori lalu disadur kanan-kiri
kemudian hasil saduran itu dibentuk ulang baik yang dimuat di jurnal atau
dikomposisi dalam bentuk buku sehingga seolah menjadi teori baru.
Sementara poligami pemikiran
selain memang menyadur, juga memiliki spirit pembaharuan yang itu terjadi
karena dibenturkan dengan realitas atau fenomena kekinian yang itu tidak
dialami oleh pemikiran sebelumnya. Sehingga hasil dari poligami ini adalah
tetap membawa ide-ide filosofis ke lapangan realitas. Jadi bukan hanya canggih
secara teoritik tetapi juga merepresentasikan realitas.
Kalau kita amati beberapa
pemikir-pemikir besar kontemporer, rasannya, tidak ada yang tidak berpoligami
dalam arti tersebut di atas. Rata-rata mereka menyusun hipotesa filosofisnya dari
berbagai pemikiran sebelumnya yang kemudian dikreasi sedemikian rupa, atau
melanjutkan dari salah satu tokoh tertentu dengan sudut pandang dan
perangkat-perangkat analisis yang baru.
Sebut saja misalnya Slavoj Žižek yang mempoligami
antara marxisme dan lacanian, antara materialisme dengan psikoanalisa lalu
melahirkan anak filososfis berupa kajian-kajian kritik ideologi atas
kapitalisme yang sublim. Graham Harman mempoligami tool being Heideggerian,
actor network Latourian, dan metafora Jose Ortega. Lalu lahirlah anaknya
bernama Object Oriented Ontology (Filsafat Berorientasi Objek).
Erich Fromm menduakan antara marxisme
dan frudian, antara sosialisme dan psikoanalis. Intercourse antar kedua
dikarunia anak bernama sosialisme humanisnik. Claude Levi Strauss mempoligami
antara marxisme dan de saussurian, melahirkan anak yaitu antropologi
struktural. Empat contoh tokoh ini, menurut saya, sebagian yang paling jelas
poligaminya. Selain itu masih ada banyak yang mempoligami dalam bentuk “nikah
sirri”, alias poligami sembunyi-sembunyi.
Dari kalangan pemikir Poststrukturalis
juga turut mempoligami sekalipun tidak terlalu kasat mata, terutama antara
lingusitik struktural de saussurian dengan beberapa pemikiran lainnya. Anak
yang lahir misalnya yang paling familiar adalah dekonstruksi buah Derrida.
Kalau kita mau tarik ke belakang
lagi, aneka rupa poligami ini, juga tampak pada pemikir-pemikir modern dan
Islam awal. Kant mempoligami cartesian dan humean menjadi filsafat transendal, Marx
sendiri juga tidak terlepas dari menggumulkan antara Prudhon, Hegel, Feuerbach,
dst.
Pemikir Islam macam Ibn Sina dan
Al Farabi tidak bisa mengelak dari “selir-selir” pentingnya macam Aristoteles,
Plotinus dan khazanah pemikiran Islam. Mulla Shadra mensatu-rumahkan Ibn Arabi,
Suhrawardi, Ibn Sina, Mir Damad, anak pentingnya hikmah muta’aliyah.
Melihat pesta persetubuhan ini,
rasa-rasanya, poligami ditakdirkan menjadi satu hal yang mesti dalam mengembangkan filsafat. Lebih-lebih bagi
kita sebagai pelajar filsafat yang lahir ribuan tahun pasca kemunculan filsafat
itu sendiri.
Dengan demikian, soalnya bukan
persaingan pemikiran dengan pemikir terdahulu. Melainkan bagaimana kita dapat
merefleksikan realitas kita saat ini, untuk kemudian dirumuskan menjadi satu
filsafat yang itu bisa jadi berkelindan dengan beberapa pemikiran sebelumnya.
0 Comments